• Literasi
  • ULAS FILM: Kekerasan yang Tak Diperlihatkan, Pemanfaatan Off-Screen Violence dalam Film Babon

ULAS FILM: Kekerasan yang Tak Diperlihatkan, Pemanfaatan Off-Screen Violence dalam Film Babon

Sinung Winahyoko mengaplikasikan teknik off-screen violence dalam film pendek garapannya bertajuk Babon (2024) berdurasi 13 menit.

Poster film Babon karya sutradara Sinung Winahyoko. (Foto Sumber: jaff-filmfest.org/id/hen/)

Penulis Lisa Nurjanah7 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Film dengan adegan kekerasan yang ekstrem sering kali menyisakan emosi negatif di benak penonton. Perasaan ngilu, ngeri, serta pengalaman traumatis seolah berkumpul menjadi satu saat adegan itu diperlihatkan. Sebut saja, contohnya, seperti film Scream yang menampilkan adegan pembunuhan secara sadis ataupun Final Destination di mana karakter-karakternya mati dengan mengenaskan. Namun, sebagian film ada pula yang menyoroti arah lain ketika kekerasan berlangsung. Dalam artian, kamera menarik diri agar visual tidak menampilkan adegan kekerasan tersebut. Justru, kekerasan seperti pembunuhan ataupun kekerasan seksual bisa di-highlight melalui medium lain, seperti audio.

Teknik ini disebut sebagai off-screen violence, yang bisa memancing imajinasi penonton terkait apa yang sedang terjadi. Dikarenakan dikembalikan ke penonton, tingkat kengerian yang dirasakan pun bisa berbeda-beda tergantung imajinasinya. Walakin alasan pemanfaatan teknik tersebut bisa dikarenakan untuk “memperingan” penyajian kekerasan, penelitian menunjukkan bahwa teknik ini bisa membuat suasana lebih mencekam dengan memanfaatkan sugesti penonton. Sinung Winahyoko mengaplikasikan teknik ini ke dalam film pendek garapannya bertajuk Babon (2024) berdurasi 13 menit.

Babon menceritakan Maria, seorang ibu yang harus mencari uang tebusan akibat suaminya yang dipenjara karena kasus narkoba, tetapi juga melibatkan tetangganya. Rara, anaknya, dibawa pergi sampai Maria bisa membayar tebusan itu pada pukul 12 malam. Hanya saja, besar uang yang didapat tidak sesuai dengan kesepakatan, membawa Maria ke dalam nasib buruk mencekam.

Salah satu adegan film Babon karya sutradara Sinung Winahyoko. (Foto Sumber: jaff-filmfest.org/id/hen/)
Salah satu adegan film Babon karya sutradara Sinung Winahyoko. (Foto Sumber: jaff-filmfest.org/id/hen/)

Pemanfaatan Off-Screen Violence dalam Film Indonesia

Sering kali, seorang anak yang ada dalam film, khususnya dengan cerita kesulitan finansial, hanya menjadi “tempelan” untuk menekankan kesengsaraan. Bisa melalui narasi permintaan uang sekolah, SPP yang belum dibayar, atau mainan yang tak mampu dibelikan. Awalnya, saya pun berpikir demikian saat melihat Rara, yang kemudian dibawa pergi. Saya mengira apakah cerita ini akan dibuat seperti Panggil Aku Ayah (2025) yang menjadikan anak sebagai jaminan. Rupanya, saya salah. Cara lain pun ditempuh melalui Maria.

Saya tidak mengira, adegan awal di mana Maria mengeluarkan isi perut ayam yang dijualnya di pasar menjadi metafora akan nasibnya ke depannya. Saat adegan kekerasan terjadi, alih-alih menyoroti pelaku ataupun Maria selaku korban, kamera terus bergerak mengikuti Rara, membuat penonton seolah ikut menjadi saksinya.

“Potong! Potong! Potong! Perutnya dipotong! Udah, ambil aja!”

Seruan perintah ini dikombinasikan dengan Maria yang kerap merintih kesakitan. Akibat kamera yang terus mengikuti Rara dan berarti penonton diposisikan sama, kemungkinan besar pertanyaan di benak Rara dan penonton adalah sama: Apa yang terjadi? Maria mau diapakan? Sesadis apa hal yang dilakukan si pelaku? Apa yang diambil? Rintihan Maria menjadi suara diagetic yang mepertegang situasi.

Kita tidak pernah tahu, sebab semuanya bergantung pada imajinasi kita, yang bisa saja lebih menyeramkan dari apa yang terjadi sebenarnya. Off-screen violence sendiri pertama kali saya sadari saat menonton Kembang Api (2023) garapan Herwin Novianto. Pada film tersebut, ketika Sukma (Marsha Timothy) mengalami kecelakaan bersama anaknya, kamera hanya menyoroti Sukma yang tengah berteriak, dengan darah yang terus menetes ke bawah mengenai wajahnya. Darah sang anak, membuat saya berimajinasi seberapa parah kecelakaan yang dialaminya. Dan saya sendiri tidak pernah tahu, karena dalam ceritanya, anak itu meninggal dunia sehingga membuat hidup Sukma tertekan.

Teknik off-screen juga dimanfaatkan dalam film pendek Indonesia lainnya bertajuk Lakuna (2023) untuk adegan kekerasan seksual. Film ini memanfaatkan cermin untuk memperlihatkan ruang yang ada di luar layar, membuat penonton hanya bisa menangkap bayangan di cermin dan membayangkan sendiri apa yang terjadi di luar layar. Efek suara diagetic juga turut dimanfaatkan, sehingga membangun ketegangan dan mendramatisasi situasi tanpa harus memperlihatkan secara langsung adegan kekerasan di layar.

Baca Juga: Belajar Menikmati Hidup dari Hirayama di Film Perfect Days
Distopia dalam Trigger (2025), Ketika Senapan sebagai Macis Pembalasan Dendam
ULAS FILM: Panggil Aku Ayah, Film Adaptasi yang Membumi

Pemanfaatan Off-Screen Violence dalam Film Hollywood

Meski film Hollywood memiliki stereotip kerap berisikan adegan vulgar, pada masanya, terdapat Hays Code yang wajib dipatuhi setiap pembuat film. Hays Code merupakan seperangkat aturan moral yang wajib diterapkan dalam pembuatan film dengan tujuan melarang munculnya adegan atau gambaran yang dianggap sebagai penyimpangan dalam bentuk apa pun di layar. Berakhirnya Hays Code pada 1968 dimanfaatkan bagi film-film pasca 1970 demi mengeksplorasi adegan kekerasan. Kendati demikian, teknik off-screen violence tetap dimanfaatkan oleh banyak sutradara, seperti Alfred Hitchcock. Ahli sejarah film, Adam Lowenstein, mengatakan bahwa kesuksesan Hitchcock sebagai “auteur horor” berada pada kemampuannya dalam menyiratkan, bukan memperlihatkan.

Psycho (1960) misalnya, di mana adegan pisau menusuk tubuh tidak benar-benar diperlihatkan. Sebaliknya, Frenzy (1972), untuk pertama kalinya, menjadi film pertama Hitchcock menampilkan pembunuhan secara langsung dari awal sampai akhir. Namun, terdapat adegan di mana kamera menjauh, membiarkan imajinasi penonton bekerja terkait apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jaws (1975) garapan Steven Spielberg, memanfaatkan off-screen violence akibat kendala teknis, di mana hiu animatorik untuk film tersebut sering rusak dan berakhir tidak bisa dipakai. Akibatnya, Spielberg tidak bisa memperlihatkan hiu secara langsung untuk banyak adegan. Pada wawancaranya, Spielberg mengatakan, “Kira-kira apa yang akan dilakukan Alfred Hitchcock dalam situasi seperti ini?” Pada akhirnya, Spielberg memanfaatkan offscreen violence saat “melenyapkan” karakter. Sebagaimana saat salah satu karakternya, Chrissie, berenang dan tiba-tiba tubuhnya terseret ke dalam air. Penonton tidak tahu apakah itu memang hiu atau sesuatu yang lain. Spielberg juga menegaskan, “Justru apa yang tidak kita lihatlah yang benar-benar menakutkan.”

Pendapat ini didukung oleh Vartan P. Messier, yang mengatakan bahwa pada off-screen violence, penonton tidak hanya menjadi saksi, tetapi ikut merasa menjadi bagian dari kekerasan. Penderitaan terasa lebih personal karena itu bukan hanya menjadi milik karakter, tetapi juga menjadi milik kita sebagai penonton. Sebaliknya, pada teknik on-screen, penonton melihat jelas siapa yang menjadi korban. Perasaan takut, ngeri, bahkan puas bisa dibuang melalui karakter fiksi pada layar. Inilah mengapa film dengan teknik off-screen menuntut partisipasi lebih dari penonton dalam ranah kognitif, dengan menekankan ambiguitas dan imajinasi. Seperti yang dikatakan Siobhan Lyons, teknik off-screen violence menjadi hasil karya kolaboratif antara sutradara dan penontonnya.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//