RESENSI BUKU: Bagaimana Neoliberalisme Menancapkan Pengaruhnya Melalui Media Sosial?
Kekuasaan tidak lagi menekan dengan larangan, tetapi mendorong untuk berusaha menjadi lebih baik. Individu secara sukarela untuk mengeksploitasi dirinya sendiri.
Penulis Nabilah Ayu Lestari19 Oktober 2025
BandungBergerak - Akhir-akhir ini saya sering kali merasa lelah secara fisik dan mental (burnout) saat menghadapi ribuan informasi dan perkembangan yang terjadi setiap hari. Ketika saya tidak membuka ponsel dan media sosial seharian, saya merasa seperti menjadi manusia tertinggal.
Sebagai manusia yang hidup di dunia digital saat ini, sebagai mahasiswi ilmu komunikasi dan memiliki pekerjaan di bidang digital media sosial, saya diharuskan terus update terhadap perkembangan “Apa yang sedang terjadi saat ini” dan “Apa yang sedang dibicarakan orang-orang saat ini”.
Saya mau tidak mau harus mengikuti dan memaksakan diri untuk terus mengikuti perkembangan zaman. Ini membuat saya berpikir, “Kapan ini semua selesai?” dan “Akankah kita merasa bahagia dan tenang jika kita tidak mengetahui tentang apa pun yang terjadi saat ini?”
Pada awalnya saya berpikir media sosial membantu saya menjalankan kehidupan, pekerjaan, tugas kuliah, dan lainnya. Kenyataanya media sosial membuat saya merasa tidak tenang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Di tengah riuh rendah gawai yang seolah menjanjikan koneksi tak terbatas, kita terseret dalam fenomena kelelahan psikis massal. Depresi, kecemasan, dan burnout bukan lagi kasus individu, melainkan epidemi yang melanda masyarakat yang konon paling ‘bebas’ dan ‘maju’ ini.
Suatu hari saya berkesempatan mendapatkan sebuah buku dalam kegiatan Kelas Liar #6: Kesehatan Mental, berjudul Psikopolitik: Neoliberalisme dan Teknologi Kekuasaan Mutakhir, karya filsuf Korea Selatan Byung-Chul Han.
Dalam buku ini, Han tidak membahas bagaimana teknologi memudahkan hidup kita. Sebaliknya, ia mengajukan pertanyaan tajam: bagaimana teknologi dan sistem ekonomi-politik justru bekerja sama untuk mengeksploitasi jiwa kita?
Kekuasaan Beralih Rupa: dari Disiplin ke Self-Exploitation
Byung-Chul Han melancarkan kritik dengan membedah ulang tesis Michel Foucault. Jika Foucault melihat kekuasaan bekerja melalui biopolitik, yaitu sistem yang mendisiplinkan tubuh di pabrik, penjara, dan rumah sakit, Han menyatakan bahwa di bawah neoliberalisme, sistem itu telah bermutasi menjadi psikopolitik.
Han menjelaskan bahwa kekuasaan hari ini tidak lagi bekerja dengan ‘melarang’ (Thou shalt not), melainkan dengan ‘mengharuskan’ (You must). Ia merangkul kita dengan janji self-help dan optimasi diri. Rezim neoliberal tidak lagi membutuhkan buruh yang patuh pada perintah, melainkan wirausahawan diri sendiri (self-entrepreneurs) yang secara sukarela dan gembira mengeksploitasi dirinya sendiri (self-exploitation) demi mencapai kinerja maksimal.
“Kini, kita sukarela memamerkan diri kita tanpa ada paksaan eksternal sama sekali — tanpa ada perintah resmi yang menyuruh kita melakukanya” (halaman 15).
Setelah saya membaca buku ini beberapa lembar saja, saya langsung menyadari bahwa media sosial adalah perayaan self-exploitation ini. Kita dipaksa menampilkan citra diri yang optimal, menjadikannya sebuah brand yang harus dikelola dan terus menerus dipromosikan. Tekanan untuk hustle, flexing, dan achieve bukanlah dorongan moral, melainkan permintaan sistem kapitalisme politik yang telah menginternalisasi diri untuk menjadi paksaan psikologis.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Di Tanah Lada, Potret Luka Anak yang Terabaikan
RESENSI BUKU: Sastra Gotik Feminisme, Membaca Écriture Féminine dalam Sihir Perempuan
Tirani Keterbukaan dan Panoptikon Digital
Buku ini dengan tajam mengungkap bagaimana tirani keterbukaan bukanlah kemerdekaan, melainkan bentuk panoptikon modern di bawah hegemoni kekuasaan psikologis. Konsep panoptikon yang awalnya berupa model pengawasan fisik menjadi metafora teknologi digital yang merekam dan mengarahkan perilaku penggunanya dengan cara yang tak terlihat.
Media sosial, yang semula saya anggap sebagai ruang aman untuk berbagi kehidupan pribadi, justru menjelma menjadi instrumen psikopolitik. Instrumen ini secara pra-refleksif menguasai emosi, keinginan, dan hasrat pengguna, mendorong kedisiplinan diri (self-disciplining) tanpa disadari. Algoritma dan big data telah menjadi senjata neoliberalisme untuk menanamkan ideologi dominan, membentuk mentalitas serba produktif dan kompetitif yang mengekang kebebasan sejati, serta membangun tirani keterbukaan di mana setiap interaksi menjadi bahan kontrol.
Saya rasa, Han secara kritis menelusuri bagaimana ruang digital yang tampak terbuka itu justru menjadi medan perang budaya dan dominasi kekuasaan yang terselubung. Keterbukaan yang ditawarkan media sosial merupakan ilusi kendali karena masyarakat digital berubah menjadi objek eksploitasi psikologis dan ekonomi neoliberalisme secara permanen. Hadirnya tirani ini mengaburkan garis antara kebebasan individu dan kontrol kolektif yang dilakukan melalui teknologi digital.
Buku ini mengajak pembaca untuk mempertanyakan ulang narasi bahwa media sosial memberikan kebebasan mutlak. Melalui kerangka psikopolitik, pembaca diajak menyadari bahwa di bawah permukaan kemudahan digital, terdapat struktur kekuasaan yang memaksa individu untuk mengoptimalkan dirinya sesuai tuntutan neoliberalisme, hingga berujung pada burnout mental dan alienasi sosial.
Dengan bahasa yang kritis dan analisis mendalam berbasis teori filsafat kontemporer, buku ini wajib dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami permainan kekuasaan di era digital dan berjuang meraih otonomi di dunia yang kian terkendali oleh algoritma dan kapitalisme psikologis.
Informasi Buku
Judul Buku: Psikopolitik: Neoliberalisme dan Teknologi Kekuasaan Mutakhir
Penulis: Byung-Chul Han
Penerbit: Literatus Pustaka
Terbit: 2017 (Edisi Bahasa Indonesia)
Tebal Buku: 111 halaman.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB