• Buku
  • RESENSI BUKU: Di Tanah Lada, Potret Luka Anak yang Terabaikan

RESENSI BUKU: Di Tanah Lada, Potret Luka Anak yang Terabaikan

Buku Di Tanah Lada karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie menjadi pengingat halus namun tajam bahwa banyak anak tumbuh tanpa benar-benar didengar.

Buku Di Tanah Lada karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. (Foto: Noval Azmi Fakhreza)

Penulis Noval Azmi Fakhreza28 September 2025


BandungBergerak.id – Buku Di Tanah Lada karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie hadir kembali dalam cetakan kedua, menegaskan posisinya sebagai karya sastra yang lekat dengan realitas sosial dan psikologis anak-anak. Diterbitkan oleh Grasindo pada tahun 2017, novel ini mengangkat tema kekerasan dalam rumah tangga dan trauma masa kecil, dibalut dalam narasi puitis, simbolik, dan menyentuh.

Buku ini menelanjangi kenyataan pahit bahwa tidak semua anak tumbuh dalam kasih sayang. Suara mereka kerap diabaikan oleh orang dewasa karena dianggap "belum tahu apa-apa". Seperti kutipan harapan Ziggy dalam novel ini, “Semoga semua anak hidup bahagia,” cerita ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan anak bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh, apalagi diasumsikan begitu saja.

Lebih dari sekadar kisah tentang kekerasan dan trauma, Di Tanah Lada juga berbicara tentang keberanian anak-anak untuk bertahan, dengan imajinasi sebagai satu-satunya ruang aman yang tersisa.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Krisis Identitas dan Beban Pilihan Perempuan di Tengah Realitas Sosial dalam Novel The Midnight Library
RESENSI BUKU: Resep Gerakan yang Matang itu Bernama Pendidikan Politik
RESENSI BUKU: Sastra Gotik Feminisme, Membaca Écriture Féminine dalam Sihir Perempuan

Rumah Menjadi Sumber Luka dan Ketakutan

Ziggy menyampaikan kisah ini melalui tokoh utama bernama Salva yang juga dipanggil Ava seorang anak perempuan berusia lima tahun yang hidupnya berubah drastis setelah kakek tercintanya meninggal dunia. Kehilangan itu menjadi awal dari penderitaan yang lebih dalam. Ava dan keluarganya pindah dari rumah lama ke sebuah tempat baru yang bahkan tak layak disebut “rumah”.

Ayah Ava digambarkan sebagai pria temperamental dan kasar. Ia tidak segan melukai siapa pun yang menentangnya, termasuk istrinya sendiri. Ibu Ava, dalam keterpurukan dan ketidakberdayaannya, memilih diam dan menerima kekerasan itu tanpa perlawanan. Dalam situasi tersebut, Ava tak hanya menjadi saksi, tetapi juga kerap menjadi korban kemarahan ayahnya.

Lingkungan baru yang asing, kehilangan kakek yang selama ini menjadi sumber kasih sayang, dan suasana rumah yang mencekam membuat Ava terjebak dalam dunia yang sunyi. Ia tidak punya tempat berlindung, tidak ada pelukan, tidak ada ruang aman untuk sekadar bicara atau menangis. Dunia yang ia kenal perlahan berubah menjadi tempat yang dingin, gelap, dan menakutkan.

Namun di tengah kesunyian itu, Ava bertemu dengan P, seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun yang tinggal di sekitar rumahnya. P selalu membawa gitar, berpakaian lusuh, dan tampak seperti anak yang terbiasa hidup di jalanan. Meski tampak keras dari luar, P memiliki kelembutan yang hanya bisa dikenali oleh mereka yang cukup dekat dengannya.

Dari percakapan-percakapan kecil mereka, Ava mulai memahami bahwa P pun menyimpan luka yang tak kalah dalam. Ia tumbuh tanpa sosok ibu, dalam lingkungan yang memaksanya memahami lebih banyak hal sebelum waktunya. Dunia memaksa mereka untuk tumbuh bukan sebagai anak-anak, tetapi sebagai manusia kecil yang harus bertahan.

Persahabatan antara Ava dan P tumbuh alami. Mereka sama-sama kesepian dan sama-sama terluka. Di antara tembok rumah yang dingin dan jalanan yang sunyi, mereka saling menemukan. P mengenalkan Ava pada hal-hal baru: pada lagu, pada makna kebebasan, pada keberanian untuk merasakan, dan pada kekuatan untuk bermimpi meski hanya dalam diam.

Suara Anak yang Selalu Dipinggirkan

Salah satu pesan paling kuat dalam Di Tanah Lada adalah tentang suara anak-anak yang tidak pernah benar-benar didengar. Dalam dunia yang ideal, rumah seharusnya menjadi tempat paling aman. Tempat di mana anak-anak bisa bertanya, marah, takut, dan menangis tanpa takut disakiti atau diabaikan. Namun dalam cerita ini, rumah justru menjadi sumber luka paling dalam.

Ava tidak bisa berbicara kepada ibunya, karena ibunya sendiri adalah korban yang terus membungkam rasa sakitnya. Ayahnya menjadi sosok penuh ancaman yang tidak bisa dijangkau. Demikian pula dengan P, yang tumbuh tanpa bimbingan, tanpa pengasuhan yang hangat. Mereka belajar menyimpan semua rasa takut dan luka itu sendiri dalam diam.

Fenomena ini terasa begitu dekat dengan kenyataan kita. Terlalu sering, orang dewasa mengabaikan suara anak-anak, menganggap mereka belum mengerti, belum cukup penting, atau belum perlu didengarkan. Padahal, anak-anak punya perasaan, observasi, dan pemahaman yang nyata tentang dunia di sekitar mereka. Mereka mungkin tidak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata rumit, tapi bukan berarti mereka tidak merasa sakit.

Ironisnya, dalam banyak kasus, orang dewasa bukan hanya mengabaikan, tapi juga menjadi pelaku luka itu sendiri baik secara fisik, emosional, maupun simbolik. Ayah yang kasar, ibu yang memilih diam, guru yang sibuk, tetangga yang tidak peduli semua menjadi bagian dari sistem yang membuat anak-anak kehilangan tempat bicara.

Ziggy menyampaikan kritik sosial ini dengan cara yang sangat lembut tapi menghunjam. Ia tidak berteriak, tidak menyudutkan, tetapi melalui sudut pandang Ava dan P, pembaca bisa merasakan betapa sunyinya dunia anak-anak yang tak diberi ruang untuk bersuara. Mereka belajar menahan tangis, menyembunyikan trauma, dan menyusun kepingan hidupnya seorang diri.

Di Tanah Lada adalah pengingat yang halus namun tajam bahwa banyak anak tumbuh tanpa benar-benar didengar. Ziggy tidak hanya menulis cerita, tapi juga menyampaikan pesan: bahwa kekerasan, diam, dan pengabaian bisa meninggalkan luka yang membekas seumur hidup terutama bagi mereka yang paling rentan, yaitu anak-anak.

Lewat kisah Ava dan P, kita diajak melihat dunia dari sudut pandang mereka yang jarang dipertimbangkan: dunia anak-anak yang penuh tanya, takut, dan harapan kecil yang sering kali padam sebelum sempat menyala. Buku ini tidak menyalahkan siapa pun secara langsung, tapi dengan perlahan membuka mata kita bahwa mendengarkan adalah bentuk kasih paling sederhana, tapi juga paling sering terlupakan.

Pada akhirnya, Di Tanah Lada bukan hanya buku tentang anak-anak. Ia adalah cermin bagi orang dewasa apakah sudah cukup hadir, cukup peka, dan cukup peduli untuk sekadar mendengarkan anak-anak.

Informasi Buku

Judul: Di Tanah Lada

Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Edisi Kedua: Maret 2021

Perbedaan: Edisi kedua memiliki perubahan pada sampul buku.

***

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//