• Buku
  • RESENSI BUKU: Resep Gerakan yang Matang itu Bernama Pendidikan Politik

RESENSI BUKU: Resep Gerakan yang Matang itu Bernama Pendidikan Politik

Muridan S. Widjojo dalam bukunya Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ’98 menggambarkan jatuh bangunnya gerakan mahasiswa di masa Orde Baru.

Buku Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ‘98 karya Muridan S. Widjojo. (Foto Sumber: lazada.co.id)

Penulis Fadil Budi Ardian 24 September 2025


BandungBergerak.id – Gerakan mahasiswa tampaknya kini dalam situasi yang terimpit. Selain risiko represifitas aparat, mahasiswa pun memiliki segudang masalah strukturalnya sendiri. Biaya kuliah mahal hingga program magang membuat mahasiswa harus berpikir ribuan kali sebelum sampai pada penciptaan gerakan yang terkonsolidasi.

Beberapa aksi demonstrasi yang bertajuk “Indonesia Gelap” atau “Peringatan Darurat” memang sempat menyita perhatian publik. Masalah belum selesai namun isunya sudah redup. Pemerintah pun tetap tak menggubris. Ironisnya, aksi “Indonesia Gelap” tanggal 20 Maret 2025 sebagai penolakan UU TNI, justru UU tersebut disahkan DPR jam sembilan pagi hari itu –tepat sebelum massa aksi berkumpul di depan gedung DPR.

Menciptakan gerakan berkelanjutan memang tak seinstan cerita Bandung Bondowoso yang membangun candi Prambanan dalam semalam. Mahasiswa sebagai agent of change perlu beraliansi dengan berbagai elemen rakyat seperti buruh atau tani sebagai satu kekuatan. Maka di sini diperlukan pendidikan yang bisa menyadarkan rakyat akan ketertindasannya.

Muridan S. Widjojo dalam bukunya Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ‘98 menulis, pendidikan adalah sebuah prasyarat dalam membuat gerakan massa. Pendidikan yang dimaksud Muridan tidaklah dapat diharapkan datang dari pemerintah misal seperti perubahan kurikulum. Diperlukan orang-orang yang memiliki akses ilmu pengetahuan untuk menumbuhkan semangat gerakan rakyat.

Gerakan yang dibersamai dan dipercaya rakyat menjadi penting karena memiliki daya tawar di hadapan pemerintah. Pembangunan massa rakyat di masa Orde Baru sudah dimulai dari tahun 1989. Pemantiknya, konflik agraria yang membuat rakyat tergusur paksa di Kedung Ombo dan Kacapiring.

Dalam kasus Kacapiring, Bandung 1989, mahasiswa dan rakyat melakukan demonstrasi di depan kantor wali kota Bandung.  Aktivis mahasiswa tergabung dalam organisasi Kelompok Mahasiswa Jakarta (KMJ) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Bandung (BKMB).

Mengenai dengan siapa mahasiswa harus beraliansi, ini pun menimbulkan perbedaan pendapat para aktivisnya. Seorang aktivis Komunitas Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) menolak untuk beraliansi dengan rakyat. Alasannya, gerakan rakyat bukan gerakan yang kuat untuk mengubah permasalahan struktural.

Namun Muridan mencatat, di beberapa kasus rakyat tidak berani bergerak atau bahkan melapor ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Baru setelah didampingi mahasiswa, mereka berani bergerak. Seperti yang terjadi pada buruh pabrik tekstil Batamtex awal 1990-an.

Muridan menyadari konsekuensi ketika terjadi aliansi antara mahasiswa dan rakyat. Yaitu represifitas dari aparat. Ia pun mengutip keterangan seorang aktivis yang pernah mengalami represifitas, baginya akan melelahkan bila mahasiswa tidak beraliansi dengan rakyat. Karena itu artinya, gerakan mahasiswa mengalami kemunduran. Saat di mana  tidak ada simpul-simpul aliansi antara mahasiswa dan rakyat. Sehingga membuat mahasiswa bergerak sendiri tanpa unsur lain.

“Dalam paradigma baru ini, buruh, tani kaum miskin kota, bukan lagi kekuatan tunggal, melainkan secara pasti semua lapisan masyarakat harus diorganisir sebagai kekuatan pengubah.” (hlm 113)

Aliansi mahasiswa pada rakyat selanjutnya bereskalasi pada tahun 1998. Berujung pelengseran Presiden Soeharto yang telah memimpin selama 32 tahun secara otoriter. Momentum krisis ekonomi yang mencekik, membuat mahasiswa dan rakyat mau tak mau harus bergerak.

Nilai rupiah anjlok dari  4 ribu rupiah ke 11 ribu rupiah per 1 dolar AS, membuat pasar dalam negeri gonjang-ganjing. Masyarakat kelas menengah atas melakukan panic buying, menyebabkan harga bahan pangan hingga 100 persen. Ditaksir, jumlah orang miskin pada 1998 membengkak di angka 118,5 juta. Sedangkan pada tahun 1996, jumlahnya hanya 22,3 juta jiwa.

Biaya kuliah juga naik. Di Universitas Pattimura (Unpatti), 300 dari 8600 mahasiswa tidak mendaftar ulang karena tidak bisa membayar SPP. Ancaman putus kuliah ada di depan mata. Bentuk kekecewaan dan amarah mengkristal oleh intensnya demonstrasi di seluruh Indonesia. Terjadi sebanyak 445 aksi demonstrasi di bulan Mei 1998.

Di daerah-daerah, organisasi-organisasi gerakan mahasiswa –yang digolongkan oleh Muridan sebagai Gerakan Anti Orde Baru (GAOB)– melakukan pendidikan dan membangun basis massa. Sebagai buah dari kesabaran, muncul komite dan dewan reformasi tingkat desa atau kabupaten yang dipimpin sendiri oleh kalangan rakyat. Aktivis GAOB memiliki kepercayaan yang besar bahwa rakyat memiliki potensi kekuatan politik.

Mendekati lengsernya Presiden Soeharto, saat situasi sudah di ujung tanduk, GAOB maupun organisasi-organisasi yang lebih moderat, sepakat pada satu tuntutan. Turunkan Soeharto.

“Perubahan politik tidak pernah dihasilkan oleh karena kesadaran baru atau kesukarelaan penguasa untuk melakukan perubahan.” (hlm 297)

Baca Juga: RESENSI BUKU: Malice, Misteri yang Membongkar Kedalaman Jiwa
RESENSI BUKU: Kapitalisme, Kelas, dan Perubahan Agraria di Perdesaan
RESENSI BUKU: Krisis Identitas dan Beban Pilihan Perempuan di Tengah Realitas Sosial dalam Novel The Midnight Library

Beranjak dari Kelesuan

Gerakan mahasiswa pada masa Orde Baru bukan tanpa pasang surut. Beberapa upaya dilakukan pemerintah untuk menahan laju perkembangan gerakan mahasiswa. Pertama, pada tahun 1973 dibentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Isinya adalah kelompok Cipayungan serta organ ekstra mahasiswa lainnya. Lewat KNPI, pemerintah bisa mengooptasi organ ekstra mahasiswa, karena dibina langsung Menteri Pemuda dan Olahraga. Serta, pemerintah menyediakan dana ratusan juta rupiah pada komite itu untuk melakukan kegiatan.

Akhirnya wadah mahasiswa untuk bergerak hanya melalui organisasi intra kampus, yakni Dewan Mahasiswa (DM) Senat Mahasiswa (SM). Keduanya menjadi organisasi eksekutif mahasiswa tingkat universitas dan fakultas. Di samping itu juga ada organisasi legislatif mahasiswa. Pada tahun 1978, empat tahun setelah tragedi Malari, mereka pun “dibekukan”. Karena lewat cara kedua, pemerintah mencanangkan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK).

NKK berarti penataan ulang dan redefinisi kehidupan kampus, agar mahasiswa fokus belajar dan melupakan politik praktis. Sedangkan BKK adalah badan non struktural di kampus yang bertugas membantu rektor untuk merencanakan kegiatan mahasiswa. Dengan begitu, semua kegiatan mahasiswa baik kurikuler atau non kurikuler dikontrol pimpinan kampus.

“Berlakunya konsep NKK/BKK lebih banyak bermuatan politis daripada edukatif.” (hlm. 69)

Ini membuat mahasiswa tidak mempercayai organisasi kemahasiswaan di kampus, dan memilih untuk melakukan aktivitas politiknya secara sembunyi-sembunyi di luar kampus. Maka sejak paruh pertama dekade 1980-an hingga awal 1990-an, bermunculan kelompok diskusi dari kampus ternama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

Mereka mendidik diri mereka sendiri dengan tema-tema ilmu sosial seperti Marxisme, hingga buku-buku pendidikan kritis Paulo Freire. Dalam perkembangannya, sebagian aktivis mahasiswa memandang kelompok diskusi ini adalah elitis, karena hanya berkutat pada kajian teoritis saja. Maka aktivis mahasiswa membutuhkan wadah kritis baru yang lebih konkret. Banyak dari mereka memilih bergabung organisasi pers mahasiswa atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Aktivis mahasiswa periode 1987–1989 ini rata-rata lahir dan berproses dalam jalur ‘tri-tradisi’: jurnalistik, diskusi, aksi.” (hlm. 81)

Tanpa percuma, mereka kemudian menggunakan ide dan gagasan yang sudah diasah ke dalam bentuk politik praktis. Yaitu dengan membentuk komite aksi dan mengorganisir elemen rakyat.

Akhir kata, buku ini dapat menjadi pelajaran bagi gerakan mahasiswa hari ini. Jatuh bangunnya gerakan mahasiswa pada masa Orde Baru dijabarkan secara runut dalam buku ini. Di tengah lesunya gerakan mahasiswa, mereka dapat memulai dari mendidik diri sendiri. Agar nantinya, ide dan gagasan yang sudah diasah bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah yang menyelimuti mahasiswa.

Namun mungkin karena keterbatasan buku atau kekurangan bahan literatur, gerakan mahasiswa di luar pulau Jawa kurang mendapat sorotan di sini. Sehingga menjadikan salah satu kekurangan buku ini.

Informasi Buku

Judul Buku: Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa '98

Penulis: Muridan S. Widjojo et al.

Jumlah Halaman: 412

Tahun Terbit: 1999

ISBN: 979-416-626-x

***

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//