• Buku
  • RESENSI BUKU: Malice, Misteri yang Membongkar Kedalaman Jiwa

RESENSI BUKU: Malice, Misteri yang Membongkar Kedalaman Jiwa

Novel Malice karya Keigo Higashino bukan hanya bercerita tentang pembunuhan, tetapi juga tentang kehidupan itu sendiri.

Sampul buku Malice karya Keigo Higashino. (Foto Sumber: gramedia.com)

Penulis Kanaya Puspa14 September 2025


BandungBergerak.id – Malice karya Keigo Higashino bukan hanya novel detektif tentang siapa pelakunya, melainkan sebuah perjalanan menyingkap gelapnya hati manusia, tentang kebencian, iri, dan ambisi yang dapat mengubah sahabat menjadi musuh. Membacanya, kita seperti dituntun menyelami lorong-lorong jiwa yang remang, di mana cahaya dan kegelapan bercampur, sulit dibedakan, hingga akhirnya kita sadar bahwa kejahatan sering kali tidak sesederhana motif uang atau dendam, melainkan luka batin yang telah berakar terlalu dalam.

Ada satu kalimat yang terus menggema setelah menutup buku ini, “Tidak ada misteri yang lebih rumit daripada hati manusia.” Kalimat itu terasa tepat, sebab setiap halaman seolah menjadi kaca retak yang memantulkan wajah berbeda pada tiap sudutnya. Dari luar tampak sederhana, namun semakin diamati, semakin sulit ditebak arah pecahannya.

Kisahnya berpusat pada pembunuhan Kunihiko Hidaka, seorang novelis terkenal, tepat sehari sebelum ia berencana pindah ke Kanada bersama istrinya. Pada permukaan, kasus ini seolah mudah: ada saksi, ada kesempatan, dan ada tersangka yang jelas. Namun di balik itu semua, Detektif Kyoichiro Kaga merasakan kejanggalan. Bagi seorang penyelidik biasa, bukti yang ada mungkin sudah cukup untuk menutup kasus. Tetapi Kaga, dengan kepekaannya, justru melihat bahwa segala sesuatu yang “terlalu jelas” sering kali menyimpan kebohongan yang lebih dalam. Dari sinilah ketegangan dibangun. Bukan sekadar siapa pelaku, melainkan mengapa ia melakukan itu. Pertanyaan inilah yang menjadikan Malice lebih dari sekadar novel detektif biasa, tetapi juga sebuah studi psikologis yang menusuk.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Upaya Memahami Peran Siauw Giok Tjhan dan Baperki
RESENSI BUKU: Paulo Freire dan Guru sebagai Pekerja Budaya
RESENSI BUKU: Menjadi Intelektual yang Diimpikan Edward Said

Gaya Keigo Higashino yang Memikat

Keigo Higashino menghadirkan kisah ini dengan struktur yang rapi dan berbeda dari kebanyakan novel misteri. Alih-alih menempatkan pembaca semata-mata pada sudut pandang detektif, ia menggunakan narasi bergantian, catatan Nonoguchi, sahabat sekaligus tersangka, dan penyelidikan Kaga yang dingin dan metodis. Perpaduan ini menciptakan sensasi ganda, seolah kita diajak masuk ke dalam pikiran pelaku sekaligus berada di sisi seorang detektif. Membaca bagian catatan Nonoguchi, kita dibuai oleh narasi yang tenang, bahkan simpatik. Namun perlahan-lahan, ketika kebenaran terkuak lewat investigasi Kaga, catatan itu tampak seperti topeng rapuh yang menyembunyikan wajah gelap penuh kebencian dan iri hati. Sensasi ini membuat pembaca tidak sekadar menyaksikan cerita, tetapi seolah ikut terperangkap dalam jaring kebohongan yang pelan-pelan terurai.

Yang paling mengejutkan bukanlah pengakuan Nonoguchi sebagai pembunuh, melainkan alasan di balik tindakannya. Bukan dendam besar, bukan pula konflik berdarah, melainkan sesuatu yang jauh lebih sederhana tetapi juga lebih mematikan: iri hati dan perasaan terpinggirkan. Nonoguchi adalah sosok yang selalu berada di bayang-bayang Hidaka. Ia menulis, ia berkarya, tetapi tidak pernah mendapat pengakuan sebesar sahabatnya. Perasaan itu, alih-alih dilepas, justru ia simpan, ia rawat, hingga berubah menjadi racun yang menggerogoti jiwanya.

Bagi saya pribadi, bagian yang paling memikat dari novel ini adalah cara Higashino membangun lapisan-lapisan kebenaran. Setiap kali pembaca merasa sudah menemukan jawaban, ia menambahkan detail baru yang membalikkan pemahaman. Rasanya seperti permainan catur, di mana setiap langkah terlihat sederhana, tetapi selalu menyimpan strategi tersembunyi. Gaya penulisannya jernih, tidak berbelit, tetapi di balik kesederhanaannya itu ada ketegangan yang terus menekan. Higashino tidak perlu menggunakan deskripsi panjang atau adegan penuh darah untuk menciptakan horor. Ia justru menghadirkan horor psikologis: kesadaran bahwa kebencian bisa tumbuh dari hal kecil, dan bahwa orang yang kita percaya bisa menjadi musuh paling berbahaya.

Salah satu kekuatan Malice adalah kemampuannya membuat pembaca merasa dekat dengan karakter-karakternya, bahkan ketika mereka menunjukkan sisi tergelapnya. Nonoguchi, misalnya, bukanlah sosok hitam putih. Ia bukan hanya pembunuh dingin tanpa hati, melainkan manusia yang pernah merasa gagal, tertolak, dan tidak diakui. Kita mungkin membenci tindakannya, tetapi sebagian dari kita bisa mengerti rasa sakit yang ia simpan. Itulah kehebatan Higashino: ia membuat kita menyadari bahwa kegelapan tidak pernah sepenuhnya asing. Ia bisa ada di dalam diri siapa pun.

Novel ini juga berbicara tentang kesepian dan pengakuan. Hidaka, meski sukses, tetap tidak bisa lepas dari lingkaran iri hati orang terdekatnya. Nonoguchi, meski seolah tenang, terus dihantui keinginan untuk diakui yang tak pernah terpenuhi. Pertemuan dua karakter ini, pada akhirnya, menjadi titik ledakan. Dari sini, kita melihat bagaimana dalam kehidupan nyata pun, kejayaan sering berdampingan dengan kehancuran batin. Kebenaran bisa tertutup rapat oleh narasi yang diciptakan, dan persahabatan bisa runtuh hanya karena ambisi yang tak terkendali.

Memikat Sekaligus Menyesakkan

Membaca Malice adalah pengalaman yang memikat sekaligus menyesakkan. Ia membuat saya bertanya-tanya: seberapa jauh sebenarnya kita mengenal orang terdekat kita? Apakah persahabatan benar-benar tulus, atau hanya jembatan rapuh yang bisa runtuh sewaktu-waktu? Pertanyaan ini terus bergema bahkan setelah buku selesai. Saya merasa Higashino bukan hanya bercerita tentang pembunuhan, tetapi juga tentang kehidupan itu sendiri, tentang bagaimana rasa sakit yang disembunyikan bisa lebih berbahaya daripada kebencian yang diungkapkan.

Hal lain yang menarik perhatian saya adalah betapa “sunyi” nya novel ini. Tidak ada adegan kejar-kejaran dramatis, tidak ada ledakan emosi besar. Semuanya berlangsung dengan tenang, bahkan datar. Namun justru dalam kesunyian itulah ketegangan lahir. Higashino berhasil membuktikan bahwa keheningan bisa lebih mencekam daripada keributan. Ia tahu kapan harus memberi ruang, kapan harus menahan, dan kapan harus melepaskan kejutan. Membaca Malice membuat saya merasa seperti berjalan di atas es tipis: permukaan terlihat tenang, tetapi di bawahnya mengintai kedalaman yang bisa menelan kapan saja.

Pada akhirnya, Malice bukan hanya novel detektif yang brilian, tetapi juga renungan tentang sisi tergelap manusia. Ia menunjukkan bahwa musuh terbesar sering kali bukan orang asing, melainkan seseorang yang pernah kita sebut sahabat. Ia juga mengingatkan kita bahwa kebohongan, betapapun rapinya disusun, akan selalu runtuh di hadapan kebenaran. Higashino menulis dengan presisi, menghadirkan cerita yang sederhana di luar, namun menyimpan kompleksitas psikologis yang begitu kaya di dalam. Dan bagi saya, inilah yang membuat Malice begitu istimewa: ia tidak hanya membuat kita penasaran, tetapi juga membuat kita merenung tentang arti iri hati, persahabatan, dan kesepian.

Membaca Malice seperti bercermin pada sisi gelap diri kita sendiri, sisi yang jarang kita akui tetapi ada di sana, diam-diam menunggu untuk dihadapkan pada cahaya.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//