RESENSI BUKU: Upaya Memahami Peran Siauw Giok Tjhan dan Baperki
Lebih dari sekadar sejarah, buku ini merekam bentuk pergulatan eksistensial yang mengajak pembaca untuk merefleksikan soal identitas, keragaman, dan keadilan.
Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha24 Agustus 2025
BandungBergerak - Indonesia dihuni masyarakat majemuk. Sejumlah catatan sejarah menunjukkan bahwa Republik memiliki punya banyak keragaman dalam hal keturunan, suku, golongan, tradisi, dan agama. Untuk menangkap kenyataan ini, para pemikir pergerakan merumuskan semboyan yang sedap didengar: Bhinneka Tunggal Ika.
Ironisnya, tak jarang pula kita menemui kenyataan pahit. Misalnya ketika tirani mayoritas melakukan diskriminasi. Dalam konteks ini, saya kira nama Siauw Giok Tjhan dan Baperki penting dipelajari secara kolektif. Ia merupakan seorang Tionghoa-Indonesia yang mempunyai rekam jejak cukup panjang dalam upaya melawan arus diskriminasi dan menyemai gagasan inklusif.
Sedikitnya, bentuk ikhtiar Siauw terekam pada sebuah buku yang berjudul Sumbangsih Pikiran Siauw Giok Tjhan dan Baperki dalam Sejarah Indonesia. Buku ini disunting oleh Siauw Tiong Djin dan Oey Hay Djoen, dan pertama kali terbit pada tahun 2000, kemudian diterbitkan ulang 12 tahun kemudian.
Jika merujuk penjelasan penyunting, buku ini diharap bisa menjadi langkah "untuk membangkitkan animo masyarakat dan memikirkan jalan keluar yang bersifat jangka panjang bagi komunitas Tionghoa." Lembaga Kajian Sinergi Indonesia, selaku penerbit, dalam kata pengantarnya, mengatakan bahwa buku ini merupakan "langkah pertama dalam membahas pengalaman komunitas Tionghoa yang tidak terpisahkan dari tubuh bangsa Indonesia berdasarkan perspektif sejarah yang tidak dinodai campur tangan penguasa".
Buku ini memang bukan sekadar tilikan atas kiprah pelaku sejarah. Bisa dibilang ia merupakan suatu bentuk ikhtiar untuk mengkaji dan memperdalam makna kemajemukan. Tulisan ini berupaya menggarisbawahi beberapa hal penting dari buku yang mencatat bagaimana Siauw dan Baperki menghadapi pergulatan di kancah politik.
Akan tetapi tulisan ini tidak berpretensi menyajikan secara rinci semua segi yang ditulis oleh sejumlah ahli. Paling tidak sekadar menunjukkan bahwa buku ini mampu mengisi pemahaman publik mengenai golongan yang, bisa dibilang, penting dalam sejarah kehidupan umat manusia, tetapi kerap menjadi kambing hitam atas sejumlah persoalan, terutama yang ada kaitannya dengan ekonomi.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Membaca (Kembali) G30S dari Tilikan Siauw Giok Tjhan
Memetik Makna Tionghoa dalam Diskusi Buku Cilik-cilik Cina
Melawan Lupa
Buku Sumbangsih Pikiran Siauw Giok Tjhan dan Baperki dalam Sejarah Indonesia merupakan kumpulan esai setebal 171 halaman. Diawali dengan memuat pidato Soekarno pada Kongres Baperki yang ke-8, yang berlangsung pada Maret 1963, ia semacam refleksi atas eksistensi dan kiprah Siauw Giok Tjhan serta Baperki, dan represi yang menimpa golongan Tionghoa di era Orde Baru. Namun, apa yang membuat buku ini menarik adalah tilikannya yang tajam, tidak hanya memberi tempat yang layak pada Siauw, tetapi juga perbedaan dalam kelompoknya sendiri.
Masyarakat Tionghoa di Indonesia masa itu dihadapkan pada perdebatan serius: apakah asimilasi atau integrasi?
Siauw merumuskan konsep integrasi secara wajar. Dan itu tercatat dalam buku yang terbagi menjadi lima bagian. Pertama, konteks sejarah yang mengulas ketokohan dan sumbangsih Siauw. Kedua, analisis mendalam tentang perdebatan antara asimilasi dan integrasi. Ketiga, refleksi tentang kesan pribadi para penulis terhadap Siauw. Keempat, sambutan yang diulas dalam acara bedah buku Siauw. Kelima, kumpulan artikel mengenai buku Siauw yang pernah diterbitkan sejumlah media di Indonesia.
Beberapa esai dalam buku ini ditulis oleh sejarawan, filsuf, dan aktivis. Ada beberapa nama-nama yang tentunya tidak asing bagi publik. Dari Hardoyo, Arief Budiman, Joesoef Isak, Karlina Supelli, hingga Franz Magnis Suseno. Semua berupaya memberi pandangan dan interpretasi bagaimana kiprah Siauw bersama Baperki dalam menghadapi ketidakadilan yang dialami komunitas Tionghoa melalui pendidikan, advokasi hukum, dan partisipasi politik.
Ini merupakan satu topik yang mungkin cukup jarang dibahas dalam wacana sejarah populer. Dan buku ini berhasil menghidupkan kembali satu kelompok intelektual peranakan Tionghoa. Yang menarik adalah penalaran, kesan, dan cara penulis menangkap esensi persoalan yang dihadapi Siauw. Selain itu, sedikit banyak buku ini juga merekam sejarah Indonesia era 1950-an yang banyak di antaranya relevan dengan Indonesia era sekarang.
Salah satu aspek yang masih jarang diketahui publik luas adalah bagaimana pemikiran Siauw tentang pendidikan. Ini segendang sepenarian dengan pikirannya yang beririsan dengan keadilan sosial. Memang di bawah kepemimpinan Siauw, Baperki mendirikan beberapa sekolah yang tidak terbatas hanya untuk sebagian kalangan, tetapi juga bagi yang memiliki keterbatasan. Sekolah yang dicanangkan Siauw pun menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan keberagaman.
Universitas Res Publica, yang kini menjadi Trisakti, adalah salah satunya. Ia lahir dari semangat bahwa pendidikan adalah hak, bukan privilese. Dalam konteks kiwari, ketika akses pendidikan masih sulit dijangkau kalangan miskin, gagasan Siauw terasa relevan.
Namun, buku ini juga bukannya tanpa kekurangan. Beberapa esai cenderung dominan membahas konsepsi Siauw tentang integrasi tanpa memberi ruang yang proposional pada kalangan asimilasi (kabarnya, Ong Hok Ham dan Sindhunata ada di barisan ini). Namun itu mudah dimaafkan jika mengingat keterbatasan ruang yang dimiliki para penulis –dan tentunya, penerbit. Yang membuat penasaran, mungkin, bagaimana Baperki menghadapi friksi internal, yang mewujud pada perbedaan pendapat dengan kelompok Tionghoa lain yang menolak masuk pada ruang politik formal?
Minimnya penjelasan mengenai hal ini membuat buku terasa kurang lengkap. Jelas buku ini kaya akan penjelasan sejarah yang dipaparkan para ahli. Namun penyusunan beberapa bab juga terasa kurang terstruktur, sehingga pembaca harus berusaha bolak-balik untuk menyusun benang merahnya.
Syukurnya, para penulis tidak hanya menyampaikan fakta kering, tetapi juga menyajikan penalaran sangat masuk akal. Misalnya, tulisan Daniel S. Lev, yang memberikan analisis jitu mengenai akar sejarah yang melibatkan Siauw berserta Baperki. Pemilihan kata yang ia gunakan pun cenderung mudah dicerna.
Salah satu bagian yang mencuri perhatian saya adalah adanya perbedaan pandangan yang sengit antara dua penulis esai. Dalam hal ini, Xu Ren (mantan Konsul jenderal Dubes RRT di Indonesia, yang konon mengenali Siauw secara personal) dan Zhou Nan Jing (ahli sejarah di Universitas Beijing, yang tercatat kelahiran Indonesia). Menurut Xu Ren, meski artikel Zhou berisi pujian positif, tetapi tema pokoknya menegasi dan merendahkan Siauw Giok Tjhan.
Di era post-truth seperti saat ini, pemikiran Siauw begitu relevan. Publik Indonesia masih bergulat dengan isu intoleransi. Kecenderungan narasi anti-Tionghoa hingga ketegangan antarkelompok agama, masih saja terjadi. Buku ini mengingatkan kita bahwa ikhtiar untuk merajut keharmonisan bukanlah sesuatu hal yang hanya ada di masa lalu, tetapi sebuah ikhtiar yang terus diusahakan.
Lebih jauhnya lagi, buku ini juga menjadi alarm mengenai bahaya penyingkiran sejarah. Kita tahu kala itu Orde Baru secara sistematis menghapus nama Siauw dan Baperki dari wacana publik, dan menuding mereka sebagai komunis. Membaca kembali kisah mereka adalah usaha melawan lupa terhadap dosa yang pernah dilakukan penguasa.

Sekilas tentang Siauw Giok Tjhan
Siauw Giok Tjhan lahir pada tahun 1914. Ia tumbuh dan berkembang di daerah Kapasan, Surabaya, Jawa Timur. Itu barangkali yang menjelaskan mengapa Bung Karno memanggilnya dengan sapaan hangat, dan khas: Cak Siauw.
Siauw kecil menerima pendidikan Belanda. Semasa belajar di sekolah ia kerap mendapat hinaan dan diskriminasi, sehingga antipati terhadapnya timbul. Sebelum menyelesaikan sekolah menengahnya, Siauw juga harus menghadapi kesulitan ekonomi. Situasi inilah yang kemudian membuat guru-guru sekolahnya berinisiatif mengumpulkan dana untuk menunjang aktivitas pendidikan Siauw hingga berhasil lulus SMA pada tahun 1933 (lihat halaman 57).
Sejumlah ahli berpendapat bahwa kebangkrutan keluarga dan kebenciannya terhadap kolonialisme Belanda membuat Siauw bersimpati pada pergerakan Indonesia, dan punya kepekaan yang tinggi terhadap kaum miskin. Sejak muda ia mencanangkan social-club untuk membantu orang Tionghoa yang ada di lapisan bawah. Bersama para pemuda Tionghoa lainnya, Siauw mengusahakan sekolah gratis, dan ia beserta teman-temannya sendiri yang menjadi gurunya.
Seiring waktu, Siauw semakin menaruh perhatian kepada soal-soal pergerakan. Ia menekuni pikiran-pikiran Sun Yat Sen, Sukarno, Hatta, Mao Tse Tung, dan aktivis pemikir lainnya. Ia juga semakin terhubung dengan sejumlah pejuang kemerdekaan. Mempelajari marxisme —suatu hal yang lumrah bagi intelektual masa itu— dari Tan Ling Djie, dan setelah Republik Indonesia berdiri Siauw kemudian dikenal sebagai tokoh Tionghoa, yang segala bentuk pergerakannya, kerap didasarkan pada kepentingan nasional.
Salah satu program perjuangan utama Siauw berkaitan dengan Nation-Building, suatu perjuangan mewujudkan 'Nasion' Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, termasuk suku Tionghoa. Begitu kira-kira penjelasan Siauw Tiong Djin (lihat halaman 30). Sebagai keturunan Tionghoa, ia jelas menghadapi stigma yang diperoleh dari warisan kolonial.
Begini sejarah singkatnya. Pada tahun 1740, VOC sebagai penguasa menggolongkan berbagai jenis penduduk. Menurut penjelasan Ong Hok Ham, dalam buku Dari soal Priyayi sampai Nyi Blorong (2002, hlm. 85), kenyataan ini dimungkinkan setelah pembantaian massal orang-orang Cina di Batavia oleh Eropa, atau yang dikenal dengan Geger Pecinan (Chinezenmoord).
Ada beberapa faktor yang memicu kemunculan masalah ini, yang besar kemungkinan didasari perkara ekonomi. Benedict Anderson, dalam studi komparatif tentang Tionghoa di Indonesia dan Filipina, menyebut bahwa faktor selain ekonomi, disebabkan oleh ketakutan dan paranoia di kalangan bule sendiri, yang jumlahnya sangat terbatas, dan hidupnya puluhan ribu kilometer dari tanah airnya. Pada pertengahan abad ke-17 kekuatan si Kumpeni alias VOC sedang merosot dengan cepat (paralel dengan anjloknya kedudukan Belanda sendiri di percaturan politik di Eropa). Namun yang terpenting adalah dampak dari serangan brutal itu (bisa dilihat dari esai Daniel S. Lev yang berjudul Minoritas atau Warga Negara, halaman 40-54).
Pembunuhan massal terhadap puluhan ribu orang Tionghoa mempercepat proses yang menciptakan konsep "minoritas" dalam bentuknya sekarang. Penjelasannya begini. Dari sudut administrasi VOC hingga sesudahnya, yang dikenal dengan masa kolonial modern atau pemerintah Hindia-Belanda, adanya minoritas selalu berguna untuk dominasi militer dan ekonomi, untuk memperkecil kemungkinan mayoritas mengumpulkan kekuatan. Tahun-tahun ini juga konsep pemisahan penduduk dibenarkan dalam regulasi yang membagi penduduk Hindia-Belanda dalam tiga kelompok: Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Padahal, saya ulang sekali lagi, kemungkinan besar ini semata-mata berakar pada kepentingan ekonomi.
Bahkan pada abad-19 orang-orang Tionghoa terpaksa tinggal di daerah tertentu, atau yang dikenal dengan Pecinan, dan harus minta izin dari penguasa setempat jika hendak bepergian. Keadaan ini membuat mereka terisolasi. Lebih parahnya lagi, politik isolasi juga diberlakukan di bidang pendidikan dengan dibentuknya ELS (Europese Lagere School), HCS (Hollandsch Chinnese School), dan HIS (Hollandsch Inlandsche School).
Dampak buruknya adalah ketika amarah rakyat semakin meluap, yang kerap disalahkan atas keadaan itu bukan struktur kekuasaan yang gagal, tetapi kalangan Tionghoa. Menariknya, Siauw menolak untuk terjebak dalam dikotomi ini. Melalui Baperki, organisasi yang ia dirikan pada 1954, Siauw mengusung visi integrasi secara wajar —sebuah gagasan yang menolak asimilasi total.
Ini merupakan momen terpenting Siauw dalam kiprahnya di kancah politik. Di bawah pimpinannya, Baperki menjelma menjadi organisasi massa yang secara efektif mampu mengikis diskriminasi rasial. Uniknya, dalam nama Baperki itu sendiri tidak ada kata Tionghoa.
Siauw memiliki kehendak menipiskan konsepsi 'minoritas' dan menarik perhatian teman-temannya sesama anti rasis yang ada dari kalangan mayoritas, serta menganjurkan supaya keanggotaan Baperki tidak terbatas pada orang Tionghoa. Namun hasilnya nihil. Baperki tetap dianggap sebagai organisasi Tionghoa.

Mengenai Baperki
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia atau Baperki didirikan pada tahun 1954. Saat itu, tepat pada 11-13 Maret 1954, masyarakat peranakan Tionghoa dari berbagai daerah berkumpul di Jakarta. Mereka merancang pendirian Baperki.
Ada berbagai macam alasan untuk bergabung dengan Baperki, organisasi yang dipimpin Siauw Giok Tjhan. Menurut Daniel Lev (lihat halaman 47), ada yang ikut karena ketokohan Siauw, dan percaya bahwa dia bisa menemukan jalan keluar atas persoalan yang dihadapi etnis Tionghoa. Ada juga yang sekadar gabung karena ambisi sendiri, dan segera keluar ketika ambisinya itu tidak terpenuhi.
Yang pasti, tujuan utama Baperki adalah (1) Memperjuangkan perwujudan cita-cita nasional, dimana setiap orang menjadi WNI dalam arti sesungguhnya, (2) Memperjuangkan pelaksanaan prinsip demokrasi dan prinsip perikemanusiaan, serta (3) Memperjuangkan perwujudan persamaan gak dan kewajiban, perlakuan yang sama dan adil bagi setiap warganegara, tanpa perbedaan yang didasari atas suku, kebudayaan, adat-istiadat, dan agama.
Baperki menyatakan dirinya sebagai sebuah organisasi yang terbuka lebar untuk setiap WNI. Namun, oleh karena rapat pendirian organisasi itu tidak mengundang tokoh-tokoh dari suku bangsa lainnya, pengurus pertama yang terbentuk terdiri hanya dari peranakan Tionghoa. Pada praktik selanjutnya, Baperki memusatkan perhatiannya pada usaha melindungi hak-hak dan kepentingan warga peranakan Tionghoa. Ini kemudian menimbulkan kesan seolah-olah Baperki merupakan organisasi peranakan Tionghoa.
Untuk mengubah kesan ini, sekitar Pemilu 1955, Baperki menegaskan bahwa:
- Baperki adalah organisasi massa. Siapa saja yang setuju dengan azas organisasi dan program kerjanya boleh ikut serta. Baperki bukan organisasi suku minoritas. Keanggotaannya tidak terbatas pada suku minoritas.
- Baperki adalah alat perjuangan bangsa Indonesia untuk mempercepat terbentuknya Nasion Indonesia yang tidak mengenal diskriminasi rasial.
- Republik Indonesia bukanlah nasion yang hanya mengenal satu bangsa dengan warna kulit, nama-marga, agama, dan selera makan. Ia adalah negara di mana setiap warganya bisa menikmati perlakuan yang adil dan memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Menjelang akhir tahun 1950-an, muncul berbagai ancaman terhadap Tionghoa. Kala itu, ada larangan pendidikan di sekolah negeri, larangan koran berbahasa Tionghoa, dan yang fenomenal, adalah PP/10 1959, sebuah regulasi yang dikeluarkan Menteri Asaat, yang berupaya menyingkirkan Tionghoa dari desa-desa dan menggeser warung-warung yang dipunyai mereka dengan koperasi-koperasi pribumi.
Situasi kian rumit tatkala polarisasi politik kiri-kanan semakin tajam. Opini masyarakat terbelah, termasuk di internal Tionghoa. Banyak yang menganggap bahwa wacana integrasi itu representasi kelompok progresif, sementara asimilasi itu kelompok konservatif. Sesudah Peristiwa 1 Oktober 1965, Baperki dihantam kelompok kanan. Beberapa anggotanya hilang, dijebloskan ke penjara, atau dikirim ke Pulau Buru.
Saya kira Sumbangsih Pikiran Siauw Giok Tjhan dan Baperki dalam Sejarah Indonesia lebih dari sekadar buku sejarah. Ia merekam bentuk pergulatan eksistensial yang mengajak pembaca untuk merefleksikan soal identitas, keragaman, dan keadilan. Dengan berbagai perspektif dari para ahli yang menyoroti pergulatan batin masyarakat Tionghoa dan kiprahnya di era Orde Baru, buku ini menawarkan analisis yang tidak hanya memuaskan secara akademik, tetapi juga ditopang data yang solid.
Bagi siapa-siapa yang hendak menelusuri akar historis mengenai wacana inklusif, buku ini menjadi bacaan wajib dimiliki. Ia menjadi semacam ode untuk Siauw, untuk Baperki, dan juga harapan publik yang masih dihadapi dengan masalah sama: rasisme.
Informasi Buku
Judul: Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan Baperki dalam Sejarah Indonesia
Penulis: Siauw Tiong Djin, Daniel Lev, Joesoef Isak, Zhou Nan Jing, Xu Ren, Benny G. Setiono, Chan Chung Tak, J. Sahetapy, Franz Magnis Suseno, Karlina Supelli, A.S Hikam, Daniel Sparingga, Tan Swie Ling, Stanley J.A Prasetya, Mary Somers Heidhues, Charles A. Coppel, Arief Budiman, Hardoyo, Ferry Sonneville, Moh. Sobari, Go Gien Tjwan, Ibrahim Isa,
Penyunting: Siauw Tiong Djin, Oey Hay Djoen
Penerbit: Lembaga Kajian Sinergi Indonesia
Cetakan kedua: Mei, 2012
Tebal: 171 halaman
ISBN: 978-602-96260-4-9
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB