• Berita
  • Memetik Makna Tionghoa dalam Diskusi Buku Cilik-cilik Cina

Memetik Makna Tionghoa dalam Diskusi Buku Cilik-cilik Cina

Buku Cilik-cilik Cina ditulis Anne Shakka dari tesisnya. Buku ini dibedah di Toko Buku Pelagia, Bandung.

Diskusi Autoetnografi antara Penulisan Sejarah (Personal) dan Fiksi dalam Buku Cilik-Cilik Cina dan Gajah dalam Ingatan, Rabu 25 Juni 2025, di Toko Buku Pelagia, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 26 Juni 2025


BandungBergerak.id - Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, seorang anak perempuan keturunan Tionghoa tumbuh di tengah candaan berbau ejekan: “Cilik-cilik cino, suk gedhe meh dadi apa? (kecil-kecil Cina, besok besar mau jadi apa?)”. Sepintas, kalimat ini seperti ejekan biasa. Tetapi bagi Anne Shakka, bocah cilik tersebut, tidak. Peristiwa di masa lalu itu menjadi awal keterasingan di lingkungan sendiri. Canda itu tumbuh menjadi luka dan menempel pada identitasnya hingga dewasa.

Di masa kecilnya, Anne tidak tahu mengapa teman-temannya memanggil kakak laki-lakinya dengan sebutan “mas”, sementara dirinya menyebut “koh”, yang kemudian ditertawakan oleh beberapa kawannya. Ia sadar, menjadi Cina di Indonesia adalah menjadi berbeda.

Bayangan masa kecil tumbuh menjadi kegelisahan yang membawanya pada autoetnografi, sebuah metode penulisan akademik yang menjadikan pengalaman pribadi sebagai topik untuk memahami kondisi sosial, budaya, hingga sejarah. Dari sana lahir buku Cilik-Cilik Cina, adaptasi dari tesis magister Anne. Di buku ini ia tidak hanya bercerita mengenai dirinya sebagai orang Tionghoa, tetapi juga mengenai warisan kolektif yang diam-diam dibawa begitu banyak orang-orang Tionghoa di Indonesia.

Buku Cilik-Cilik Cina dan perjalanannya sebagai seorang Tionghoa ia ceritakan dalam diskusi Autoetnografi antara Penulisan Sejarah (Personal) dan Fiksi dalam Buku Cilik-Cilik Cina dan Gajah dalam Ingatan, Rabu 25 Juni 2025, di Toko Buku Pelagia, Bandung.

Diskusi dimulai dengan cerita Anne mengenal metode autoetnografi sebagai pendekatan penelitian pada saat ia kuliah. Baginya, autoetnografi menawarkan jalan yang sangat personal dalam memahami suatu budaya, khususnya budaya dari etnisnya sendiri.

Autoetnografi sendiri berasal dari kata “auto” yang artinya adalah diri dan “etnografi” yang artinya penulisan tentang kebudayaan. Maka, autoetnografi merupakan penulisan budaya melalui pengalaman pribadi.

Anne menggunakan autoetnografi sebagai cara untuk memahami dirinya dan sejarah etnisnya, memahami kenapa menjadi keturunan Tionghoa bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan. Dengan pendekatan penelitian ini, ia menemukan cara untuk menulis bukan hanya tentang pengalaman diri, melainkan juga tentang bagaimana lingkungan, masyarakat, dan sejarah membentuk pengalaman itu.

Dalam penelitiannya, ia lebih berfokus pada pengalaman orang tuanya sebagai Tionghoa di masa Orde Baru. Dari sana ia menyadari bahwa meskipun secara pribadi ia tidak mengalami diskriminasi yang begitu keras seperti yang orang tuanya alami, ternyata masih ada warisan yang menempel: jejak trauma.

Saat beranjak dewasa, Anne sudah hidup di era reformasi. negara sudah mencabut berbagai kebijakan yang mendiskriminasi. Zaman sudah lebih terbuka terhadap orang Tionghoa. Namun, zaman tak serta merta menghapus trauma.

“Ternyata di rumah itu saya dididik untuk menjadi takut. Takut untuk berbicara, takut untuk bersuara,” ucap Anne.

Anne juga menyebutkan pengalaman sang ayah yang harus mengganti nama dan agama demi bisa menyelesaikan sekolah. Keimanan masa itu bukan soal keyakinan, tetapi soal kepentingan administrasi. Agar dapat menempuh pendidikan, ayahnya harus menggunakan agama yang “diakui” oleh negara. Ketika Anne mendaftar sekolah, ia diminta memiliki surat bukti kewarganegaraan. Padahal keluarganya sudah tiga generasi lahir di Indonesia.

“Jadi keturunan Cina itu nggak enak,” ucapnya.

Baca Juga: Para Gen Z di Bandung Membicarakan Temuan TGPF Tragedi 1998, Mendengarkan Cerita yang Tak Pernah Diceritakan
Mengurai Kontroversi Penyangkalan Menteri Fadli Zon Soal Kekerasan Seksual di Peristiwa Reformasi 1998

Pergulatan Istilah ‘Cina’ dan Identitas Etnis di Indonesia

Anne Shakka menyampaikan alasan mengapa memilih kata “Cina” dalam bukunya, alih-alih mengikuti aturan resmi yang menggantinya dengan kata “Tionghoa”. Ia lahir dan besar di Temanggung. Ia dan keluarganya tidak tinggal di sekitar lingkungan Pecinan sehingga ia tidak memiliki banyak relasi dengan komunitas keturunan Tionghoa lainnya di sana. Karena itulah, ia merasa bahwa penggunaan kata “Tionghoa” terasa asing baginya dan membuatnya merasa kata tersebut memberikan kesan dalam mempertegas jarak dan seolah-olah memposisikan diri sebagai yang berbeda.

Anne menyadari, sebagian orang Tionghoa merasa kata “Cina” adalah istilah kasar nan menyakitkan. Tetapi justru karena itu ia memilih menggunakannya. Ia yakin, luka tidak dapat sembuh dengan cara menghindar. Ketika sebuah kata melukai, masalahnya bukan berada pada kata itu sendiri, melainkan pada kondisi sosial yang mengepungnya.

“Harusnya bukan katanya yang diganti, tetapi kondisinya. Dan untukku penggunaan kata Tionghoa malah jadi kayak membedakan diri lagi,” jelas Anne.

Salah satu peserta diskusi, Sylvie Tanaga, merefleksikan keragaman pengalaman sebagai Tionghoa di Indonesia. Ia menyadari bahwa pengalamannya sebagai seorang Tionghoa berbeda dengan Anne karena perbedaan latar belakang.

Sylvie berasal dari Bandung. Dari buku Anne, Sylvie mendapatkan perspektif baru tentang bagaimana identitas etnis dibentuk oleh konteks geografis dan sosial. Meskipun sama-sama di Pulau Jawa, Sylvie merasa bahwa menjadi seorang Tionghoa di Bandung tidak akan pernah benar-benar identik dengan pengalaman yang lain di kota lain.

Sylvie menyoroti betapa beraninya Anne menyebut dirinya dengan kata ‘Cina’ sesecara gamblang, sedangkan menurutnya kata itu dulu sangatlah sensitif dan mengaku lingkungannya bahkan sering mengoreksinya ketika ia menggunakan istilah ‘Cina’

“Begitu ngomong ‘Cina’ biasanya orang tua atau keluarga akan ngomong ‘kok kamu ngomongnya Cina?’ gitu. Nah, pas baca (tulisan) Anne wah dengan santai ngomong Cina,” ucap Sylvie.

Istilah Cina sendiri memang secara resmi telah diatur negara. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2024 mengganti penggunaan istilah ‘Cina’ menjadi ‘Tionghoa’ untuk merujuk pada orang dan komunitas keturunan Tionghoa. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah untuk memperbaiki representasi etnis Tionghoa di Indonesia. Banyak pihak menilai keputusan ini sebagai bentuk pengakuan resmi terhadap identitas budaya Tionghoa, mengingat istilah ‘Cina’ selama ini sering diasosiasikan dengan makna negatif atau merendahkan.

Sebagian besar masyarakat Tionghoa menerima perubahan istilah ini sebagai cara untuk menegaskan identitas budaya mereka. Dalam hal ini, kelompok usia menengah ke atas menjadi yang paling aktif menyuarakan identitas Tionghoa di Indonesia (Christian, 2017).

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//