• HAM
  • Mengurai Kontroversi Penyangkalan Menteri Fadli Zon Soal Kekerasan Seksual di Peristiwa Reformasi 1998

Mengurai Kontroversi Penyangkalan Menteri Fadli Zon Soal Kekerasan Seksual di Peristiwa Reformasi 1998

Fakta-fakta gelombang kekerasan di peristiwa reformasi 1998 telah dibukukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk di era Presiden BJ Habibie.

Aktvis reformasi 1998 melakukan aksi 27 Tahun Reformasi di Bandung, 21 Mei 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam18 Juni 2025


BandungBergerak.idMenteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyebut pemerkosaan 1998 adalah rumor yang tak bisa dibuktikan. Ungkapan tersebut disampaikan saat siniar IDN Times, 10 Juni lalu.
“Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?” ujar Fadli, diakses Selasa, 17 Juni 2025.

Fadli mengklaim kekerasan seksual 1998 tidak memiliki bukti. "Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka (penulis sejarah) tidak bisa buktikan," imbuh bekas Wakil Ketua DPR itu.

Pernyataan Fadli menuai gelombang reaksi publik, termasuk aktivis hingga keluarga korban perkosaan, karena dinilai mengaburkan peristiwa reformasi 1998. Fadli sebagai Menteri Kebudayaan dianggap mengabaikan laporan-laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang menguak bukti pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM berat pada 1998.

Temuan TGPF tentang Tragedi 1998

Runtuhnya rezim Orde Baru melalui reformasi 1998 memiliki nuansa pelanggaran HAM berat, mulai dari kerusuhan, pemerkosaan massal, hingga penembakan oleh aparat. Fakta-fakta ini dibukukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk setelah Suharto lengser.

TGPF dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung, 23 Juli 1998.

Dibentuknya tim gabungan ini bertujuan untuk menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei 1998. TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), TNI, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. TGPF diketuai Marzuki Darusman dari Komnas HAM. Tim bertugas sampai 23 Oktober 1998.

Dalam laporan TGPF berjudul Seri Dokumen Kunci, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 mengungkapkan sejumlah fakta pelanggaran, kekerasan, dan kerusuhan di tahun 1998. TGPF mencatat pelaku kerusuhan yang terjadi dibagi menjadi tiga kelompok; provokator, massa aktif, dan massa pasif.

Dari ketiga kelompok tersebut, yang paling bertanggung jawab dan berkontribusi besar atas kerusuhan adalah kelompok provokator. Menurut laporan, kelompok ini sudah terorganisir dengan baik dan terlatih (yang mempunyai kemampuan terbiasa menggunakan alat kekerasan), bahkan mobilitasnya tinggi karena kelompok tersebut bergerak menggunakan motor dan mobil berjenis jeep, serta berkomunikasi melalui HT/GP. Mereka terbagi menjadi kelompok kecil dan menyebar ke berbagai daerah untuk menyulut massa.

“Kelompok ini juga menyiapkan alat-alat pengrusak seperti batu, bom molotov, cairan pembakar, linggis dan lain-lain,” tulis laporan TGPF (hal. 14).

Terkait pemerkosaan, TGPF mencatat ada 52 korban perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Korban pemerkosaan didominasi oleh etnis Tionghoa.

Tidak hanya itu, selama masa kerja, TGPF juga menemukan empat korban pascakerusuhan Mei, yaitu dua kasus terjadi di Jakarta tanggal 2 Juli 1998 dan dua kasus terjadi di Solo pada tanggal 8 Juli 1998.

Lokasi pemerkosaan terjadi di berbagai tempat, seperti; dalam rumah, di jalan, dan pelataran toko. TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus kekerasan seksual dilakukan secara massal. TGPF juga menemukan korban pemerkosaan yang terjadi di dalam rumah (halaman 18).

Pengakuan Negara

Setelah memanen kecaman publik, Fadli Zon di akun X (Twitter) menjelaskan, peristiwa 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif terkait ada atau tidaknya perkosaan massal. Ia menyebut hasil liputan investigatif sebuah media yang tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal perkosaan massal di peristiwa 1998.

Namun, Fadli menjelaskan bahwa pernyataanya di siniar dilakukan dengan kehati-hatian ketika menggunakan istilah “perkosaan massal”. Menurutnya, hal tersebut dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat dalam pembuktiannya.

“Pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal,” kata Fadli, diakses dari X, Rabu, 18 Juni 2025.

Fadli juga mengomentari hasil kerja TGPF 1998 yang menurutnya kurang absah, sebab hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku.

Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF sendiri dibentuk di era BJ Habibie saat menjabat sebagai Presiden Indonesia, menggantikan Suharto. Selaras dengan temuan tim, Presiden ketiga RI itu menegaskan bahwa laporan tentang kekerasan pada perempuan di peristiwa Mei 1998 benar adanya dengan bukti nyata dan otentik.

“Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia, pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,” ucap Habibie, 15 Juli 1998.

Pernyataan BJ Habibie sekaligus menunjukkan sikap resmi negara terhadap goro-goro kelam 1998, termasuk kasus perkosaan massal.

Baca Juga: Bandung Menjelang Reformasi 1998
Refleksi Reformasi 1998, dari Maraknya Politik Identitas ...

Kecaman dari 252 Organisasi Masyarakat Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari 252 organisasi masyarakat sipil dan 547 individu mengecam keras pernyataan Fadli Zon. Mereka menilai pernyataan Fadli sebagai bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998.

“Pernyataan Fadli Zon menunjukan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban,” kata Koalisi, di laman Amensty Internasional Indonesia.

Koalisi melihat ada upaya mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah melakukan pendokumentasian dan penyelidikan atas peristiwa Mei 1998.

“Kami memandang tindakan ini juga merupakan upaya memutus ingatan kolektif dan mengkhianati perjuangan para korban untuk memperoleh pengakuan, keadilan, kebenaran dan pemulihan,” lanjut pernyataan tersebut.

Koalisi kemudian melayangkan 10 tuntutan, di antaranya mengecam dan menolak keras penyataan Fadli Zon, menuntut Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya secara terbuka, mendesak pembatalan pengangkatan Fadli Zon sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), menuntut Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan “sejarah resmi” Indonesia. Koalisi menduga pernyataan sensitif Fadli Zon memiliki kaitan dengan proyek penulisan ulang sejarah oleh pemerintah.

Koalisi mendorong hadirnya ruang partisipatif dan inklusif dalam penulisan sejarah nasional, menegaskan pentingnya menjaga hasil kerja TGPF, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan, mendesak Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

Kecaman juga datang dari Presidium Perkumpulan Aktivis 98. Mereka menilai pernyataan Fadli merupakan bentuk penyangkalan sejarah, pengingkaran terhadap derita para korban, serta upaya merusak ingatan kolektif bangsa atas luka yang belum sembuh.

Presidium Perkumpulan Aktivis 98 menegaskan, pernyataan Fadli tidak berdasar dan mencederai proses panjang perjuangan para korban, keluarga korban, serta para aktivis HAM, dan reformasi yang sejak awal memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

“Pengingkaran seperti ini bukan hanya bentuk revisionisme sejarah, tetapi juga bisa menjadi ancaman nyata terhadap semangat reformasi dan hak asasi manusia,” kata Ketua Presidium Perkumpulan Aktivis 98, Muhamad Suryawijaya.

Presidium Perkumpulan Aktivis 98 mendesak agar Fadli Zon mencabut pernyataan dan meminta maaf secara terbuka atau mengundurkan diri dari jabatan Menteri Kebudayaan.

Penulisan Sejarah

Sebelum kontroversi kekerasan seksual 1998 mencuat, publik digemparkan dengan rencana pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan yang dipimpin politikus Partai Gerindra untuk merevisi sejarah Indonesia. Menurut Fadli Zon, menyusun ulang sejarah Nasional Indonesia melibatkan 113 orang yang terdiri dari sejarawan hingga akademikus.

Dalam liputan Abc.net, proyek penulisan sejarah ini direncanakan terdiri dari 10 jilid. Pada jilid 9 bertajuk Orde Baru (1967-198) hanya mengulas lahirnya Orde Baru; pembangunan ekonomi, pembangunan demokrasi Pancasila; pendidikan; pembangunan dan perubahan sosial; wawasan nusantara dan NKRI; reaksi terhadap pembangunan; dan kebudayaan.

Di bab 7 tentang reaksi terhadap pembangunan, draft tersebut hanya menyinggung dua peristiwa, seperti; Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Talangsari Lampung 1989, dan tak ada kelanjutan hingga tragedi 1998.

Sedangkan pada bab 8 sebagai penutup jilid 9, berisi tentang kongres kebudayaan, festival film Indonesia, sastra, seni, pers, dan media massa. Secara keseluruhan draft tersebut tidak menyinggung krisis moneter 1997, aksi mahasiswa, tuntutan reformasi, penculikan, ataupun peristiwa kekerasan seksual 1998.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//