Bandung Menjelang Reformasi 1998
Menjelang reformasi 1998, kampus-kampus Bandung menjadi simpul gerakan arus bawah melawan pemerintahan otoriter Orde Baru. Mahasiswa Bandung jadi motornya.
Penulis Tri Joko Her Riadi20 Mei 2021
BandungBergerak.id - Reformasi 1998 merupakan salah satu tonggak paling menentukan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Kekuasaan otoriter Orde Baru selama 32 tahun runtuh oleh gelombang gerakan rakyat yang dipelopori kaum mahasiswa.
Jakarta menjadi episentrum gerakan reformasi, namun dinamika mahasiswa terjadi di tiap kota besar di Indonesia. Tak terkecuali Bandung. Beberapa peristiwa penting di Bandung di sepanjang pekan genting menjelang lengsernya Presiden Suharto pada 21 Mei 1998, di antaranya terekam dalam buku Aksi Mahasiswa: Reformasi Total (1998).
Buku yang diberi sub atas subjudul Ratusan kampus bergolak di puluhan kota dari Banda Aceh sampai Jayapura ini mengambil pendekatan dokumentatif. Pasokan bahan bersumber utama pengamatan para jurnalis yang bertugas di lapangan meliput gerakan mahasiswa di berbagai kota di Indonesia. Berbentuk semacam catatan harian, buku terbitan Yayasan Mentari Nusantara ini dimulai dari peristiwa yang terjadi pada 2 Januari 1997.
Kekuatan lain buku setebal 307 halaman ini adalah waktu penerbitannya, yakni Juli 1998, atau terpaut hanya dua bulan dari puncak gelombang aksi mahasiswa. Euforia kemenangan rakyat atas penguasa otoriter masih begitu kental ketika itu. Barangkali itu kenapa buku diberi subjudul yang bernada amat optimistis: Reformasi Total.
Tentang reformasi 1998, telah terbit puluhan atau mungkin ratusan buku. Tokoh utama cerita atau perspektif yang diangkat juga beraneka ragam. Ada yang membingkai rangkaian peristiwa bersejarah ini dari kacamata elite pemerintahan, petinggi militer, atau peneliti.
Kehadiran buku Aksi Mahasiswa: Reformasi Total (1998) ini penting karena ia memberikan gambaran besar tentang gelombang gerakan mahasiswa lewat fakta lapangan.
Rekaman Hari ke Hari
Pada Rabu, 13 Mei 1998, pukul 10.30 WIB, jenazah Hafidhin Alifidin Royan, satu dari empat korban Peristiwa Trisakti, dimakamkan di Padasuka, Bandung. Hafidin, akrab dipanggil Royan, adalah anak keempat dari lima bersaudara pasangan Enus Yunus dan Sunarmi. Ia satu-satunya anak laki-laki. Ucapan duka atas kematian Royan mengalir dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dari berbagai kampus.
Di hari yang sama, puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung DPRD Jawa Barat yang bersebelahan letaknya dengan Gedung Sate, kantor pemerintah provinsi, di Jalan Diponegoro, Bandung. Massa meluber hingga Lapangan Gasibu.
“Kira-kira sepuluh perwakilan mahasiswa akhirnya tiba di gedung DPRD dan diterima oleh Ketua DPRD A. Nurhaman,” tulis laporan itu.
Pada Kamis, 14 Mei 1998, para guru besar Universitas Padjadjaran mengeluarkan pernyataan keprihatinan dan mendesak diselenggarakannya Sidang Umum Istimewa MPR. Pernyataan yang dibuat spontan atas dorongan hati nurani ini ditandatangani di antaranya oleh Sambas Wiradisuria, Achmad Baihaki, Sidik, Kusnaka Adimihardja, Sahala Sihombing, Teuku D. Amin, Daud Silalahi, Ponis Tarigan, Johan S. Masjhur, Winardi, dan Kusdwiratri Setiono.
Pada Jumat, 15 Mei 1998, 50 perempuan yang tergabung dalam Suara Ibu Bandung berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk bergabung dengan aksi mahasiswa di kampus Unpad.
Pada Sabtu, 16 Mei 1998, ratusan dosen ITB mengumumkan tiga butir pernyataan sikap. Salah satunya, mendesak presiden Suharto untuk segera mengundurkan diri. Pernyataan sikap pribadi para dosen ini dihasilkan setelah pembahasan dan perdebatan selama berjam-jam di Aula Timur ITB. Yang memandu diskusi ini adalah Sudjana Sapi’ie, Rubini Soeria Atmadja, dan Imam Buchori.
Dari Unpad, para guru besar juga mengeluarkan pernyataan sikap bersama setebal empat halaman. Pernyataan yang ditandatangani Rektor sekaligus Ketua Senat Unpad Maman P. Rukmana itu dibacakan oleh Johan S. Masjhur di hadapan ribuan mahasiswa dan dosen yang menghadiri acara mimbar bebas di kampus Unpad, Jalan Dipati Ukur, Bandung.
Pada Senin, 18 Mei 1998, 17 staf pengajar Fakultas Ekonomi Unpad mendesak pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Termasuk dalam kelompok ini adalah Yuyun Wirasasmita, Arifin Wirahadikusuma,Surachman Sumawihardja, Sutaryo Salim, dan Faisal Afiff.
Pada hari yang sama, Senat Perguruan Tinggi IKIP Bandung, sekarang Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), menerbitkan seruan serupa untuk mengakhiri krisis nasional. Pernyataan disampaikan Rektor IKIP Bandung Fakry Gaffar di hadapan ribuan mahasiswa di kampus IKIP di Jalan Dr. Setiabudi, Bandung.
Masih di hari sama, 18 Mei 1998, Presidium Forum Mahasiswa Bandung yang terdiri dari 35 perguruan tinggi menggelar aksi pernyataan tiga sikap di halaman kompleks DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro. Ketiga sikap itu adalah menjaga persatuan dan kesatuan bila presiden mau meletakkan jabatannya secara damai dan secepatnya, bersatu memperjuangkan reformasi di segala bidang tanpa kekerasan, serta mendorong ABRI bersatu dengan rakyat menuju Indonesia lebih baik.
Pada Rabu, 20 Mei 1998, hari kedua mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, Senat ITB mendesak alih kepemimpinan nasional yang dilaksanakan dengan seksama dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua Senat Lilik Hendrajaya dan Sekretaris Senat Rubini Soeria Atmadja ini merupakan pernyataan kedua setelah 6 Mei 1998.
“Kami mendukung usulan Pimpinan DPR. Jika Presiden tidak menerima, ITB akan mendesak terus. Sebab bila dipaksakan untuk tetap memimpin, kehidupan bangsa akan lebih berat. Semoga ada kearifan Presiden sehingga mundur diri,” kata Lilik Hendrajaya.
Pernyataan Senat ITB memuat juga tiga sasaran utama reformasi. Pertama, membawa masyarakat bangsa dan negara Indonesia segera keluar dari keadaan tidak menentu di berbagai bidang. Kedua, menegakkan martabat bangsa dan menjaga kelangsungan kehidupan masyarakat