Para Gen Z di Bandung Membicarakan Temuan TGPF Tragedi 1998, Mendengarkan Cerita yang Tak Pernah Diceritakan
Fakta temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998, termasuk pemerkosaan massal, didiskusikan para Gen Z. Mereka meragukan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Penulis Salma Nur Fauziyah23 Juni 2025
BandungBergerak.id - Kontranarasi terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kasus pemerkosaan 1998 sebagai rumor, disuarakan para Gen Z di Bandung. Fakta sesungguhnya seperti tertuang dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998, terus dibaca dan didiskusikan. Nama Ita Martadinata Haryono yang tewas misterius di tahun 1998, kembali disinggung.
Temuan TGPF 1998 juga dibicarakan dalam diskusi bertajuk “Mendengar yang Kerap tak Didengar, Melihat yang Kerap tak Dilihat” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat (20/6/2025). Diskusi yang digagas komunitas Kembang Kata lewat program Temu KawanKata, menghadirkan pemantik Sylvie Tanaga, penulis lepas yang menaruh perhatian besar soal sejarah etnis Tionghoa di Indonesia.
TGPF yang di dalamnya ada unsur pemerintah, jelas menegaskan bahwa sejarah gelap itu fakta, bukan rumor. TGPF dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung, 23 Juli 1998.
TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), TNI, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Dalam laporan berjudul “Seri Dokumen Kunci, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998”, tim mencatat ada 52 korban pemerkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Korban pemerkosaan didominasi oleh etnis Tionghoa.
Laporan TGPF bisa diakses siapa pun di internet. Para menteri maupun para Gen Z di komunitas literasi bisa mengunduh dan membacanya. Sebagai pemantik diskusi, Sylvie Tanaga antusias dengan respons orang-orang muda Gen Z mendiskusikan temuan TGPF. “Sebagai pengantar, waktu '98 itu umurku 11 tahun. Aku lahir di Bandung, asli orang Bandung. Pas '98 juga di Bandung,” ujar Sylvie.
Sylvie masih bisa merasakan kekhawatiran atau kegoncangan yang dialami orang tua ketika menonton kerusuhan di Ibu Kota pada 1998 yang disiarkan televisi. “Karena di Bandung itu kan kayaknya tuh enggak seheboh di Jakarta atau di kota-kota lain,” cerita Sylvie.
Semua kepanikan itu terekam, hilir mudik di dalam ingatannya. Dan yang paling membekas adalah saat papa dan mamanya mulai bersiap-siap menyiapkan dokumen. Menyiratkan bahwa mereka harus kabur ke luar negeri.
Namun, tidak semua keluarga Tionghoa mempunyai privilese yang sama, tidak semua mempunyai paspor.
Bagi Sylvie, narasi yang disampaikan Menteri Kebudayaan Fadli Zon merupakan upaya whitewashing atau pemutihan sejarah. Jelas tertulis dalam laporan TGPF yang sudah dapat diakses siapapun, bahwa pemerkosaan massal dalam bentuk gang rape itu terjadi. Meskipun tidak semua korban kekerasan seksual tersebut dari etnis Tionghoa, tetapi kebanyakan kasus menimpa perempuan dari etnis ini.
Sentimen anti-Tionghoa memang begitu kuat saat 1998. Beragam tudingan dialamatkan kepada mereka, seperti tudingan dalang krisis moneter di Indonesia. Namun, sentimen itu sebenarnya sudah ada jauh sebelum tragedi 1998.
Sentimen serupa terjadi saat tragedi 1965, ketika pemberangusan PKI dan orang-orang yang terafiliasi maupun simpatisan partai tersebut. Bahkan di zaman kolonial Belanda, orang-orang Tionghoa berada di posisi yang mengharuskan mereka bertahan dan bergerak hanya di sektor ekonomi.
Kejadian berulang itu menimbulkan trauma antargenerasi (intergenerational trauma) di kalangan Tionghoa di Indonesia.
“Gimana ketika bertubi-tubi terjadi sesuatu gitu, yang menyasar langsung etnis Tionghoa, ketakutannya semakin tebal dan self-censorship-nya semakin real. Semakin meyakinkan mereka bahwa mereka memang sebisa mungkin jangan bersuara. Karena toh nanti mau kejadiannya kapan pun tinggal ganti aja tahunnya mereka akan selalu jadi korban,” beber Sylvie.
Baca Juga: Mengurai Kontroversi Penyangkalan Menteri Fadli Zon Soal Kekerasan Seksual di Peristiwa Reformasi 1998
Bandung Menjelang Reformasi 1998

Respons Kemarahan Atas Pernyataan Menteri Kebudayaan
Marah dan kecewa dirasakan Yanti ketika mendengar pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan fakta perkosaan massal 1998. Ia tidak habis pikir hal tersebut harus keluar dari mulut pemerintah.
“Saya merasa hal ini tuh harus wah enggak bisa dibiarin dan harus digaungkan lagi, diingatkan lagi. Seenggaknya ke teman-teman Kembang Kata. Kalau misalnya saya enggak bisa bicara ke masyarakat yang lebih luas. Seenggaknya ke komunitas yang bisa saya hadiri,” kata Yanti, sebagai salah seorang yang mengusulkan perbincangan soal ‘98 ini.
Sebagai bagian dari LayarKita, Yanti mengaku pada awalnya akan memutar film dokumenter yang membahas soal salah satu layanan aduan perkosaan saat ‘98. Namun, karena terhalang perizinan dari production house, akhirnya acara ini berjalan tanpa pemutaran film tersebut.
Bagi Yanti, film itu dapat diputar lain kali. Obrolan soal tragedi ini tidak boleh sampai tidak dilakukan.
Menurut Yanti, kasus kekerasan, pelecehan, pemerkosaan bukan hanya menimpa korban yang mengalami langsung. Keluarga dan kerabat bisa menjadi korban juga. Bahkan orang yang menjadi saksi.
“Karena trauma itu membekas dan menjalar,” ujarnya.
Hal yang diungkapkan Sylvie membuat Yanti tidak bisa membayangkan bagaimana ia berada di posisi tersebut. Sebagai seorang perempuan di negara yang masih menganut sistem patriarki baginya sudah sangat sulit. Apalagi sebagai perempuan yang dipandang minoritas.
Maka, pengelakan terhadap kekerasan seksual dan pemerkosaan merupakan salah satu dosa terbesar yang bisa dilakukan sebuah bangsa. Ia berharap diskusi ini menjadi poin penting kenapa hal ini mesti dibicarakan sampai pemerintah akhirnya mau mengakui, meminta maaf, dan bertanggung jawab pada korban yang hingga saat ini masih trauma.

Gerbang Masuk Peristiwa Kelam 1998
Dari buku Laut Bercerita karya Leila Chudori, Yanti berkenalan dengan salah satu babak sejarah kelam Indonesia tragedi 1998.
“Jujur memang harus diakui Laut Bercerita itu kayak gerbang untuk anak-anak, terutama yang suka baca, untuk tahu sebenarnya pada tahun '98 itu apa sih yang terjadi,” ujarnya, yang juga sempat menonton wawancara Leila Chudori dan Nezar Patria di kanal YouTube ‘Menjadi Manusia’.
Muflihatul Awalyah (25 tahun) juga pembaca Laut Bercerita. Mahasiswi Magister Psikologi Unpad ini hadir di diskusi Kembang Kata setelah melihat poster kegiatan yang diunggah di akun Instagram Kembang Kata.
Menurut Mufliha, peristiwa 1998 tidak banyak ditulis oleh buku pelajaran di sekolah. Narasi penulisan ulang sejarah yang digemakan pemerintah baru-baru ini membuatnya khawatir dan marah.
Menyimak penjelasan Sylvie dan diskusi dari teman-teman lainnya membuat Mufliha sadar bahwa apa yang diutarakan Fadli Zon telah menyinggung banyak pihak, terutama korban.
“Coba lebih waras, lebih berempati. Aku enggak tahu kepentingan apa yang ada di dalamnya sampai dia mau mengeluarkan statement itu. Tapi, tolong dipakai ya empatinya ya,” pesan Mufliha kepada Menteri Kebudayaan. “Maka tolonglah berpikir sejenak Fadli Zon. Refleksi, introspeksi. Begitu.”
Peserta diskusi lainnya, Bertha Anastasha juga menekankan bahwa buku membawanya masuk ke dalam isu yang kerap ditutupi seperti 1998. Buku membuatnya terus mengingat peristiwa ini.
“Karena yang aku tahu dari novel tuh cuman sedikit dan banyak yang aku pertanyakan gitu. Contohnya tuh yang kayak kerusuhan etnis Tionghoa. Aku sebelumnya tuh bertanya-tanya kenapa harus etnis Tionghoa gitu yang jadi sasarannya.” kata Bertha yang merupakan fresh graduate dan sedang menunggu wisuda.
Bertha berharap, orang muda terus bersuara, entah dalam diskusi ataupun di media sosial. “Apalagi kan sekarang tuh GenZ pasti punya sosial media gitu. Pergunain, menurut aku untuk bersuara dengan me-reply story mungkin atau setidaknya tuh jangan cuman diam aja sih.”
Selain mendiskusikan temuan TGPF 1998, nama Ita Martadinata Haryono kembali menyeruak. Dalam laporan berjudul Saatnya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998 [Komnas Perempuan (2008)], Ita dibunuh sebelum berangkat ke Sidang PBB untuk menjadi saksi pemerkosaan massal di Indonesia tahun 1998.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB