• Berita
  • Aksi Kamisan Bandung Menolak Lupa Ita Martadinata, Aktivis Sekaligus Saksi Korban Perkosaan 1998

Aksi Kamisan Bandung Menolak Lupa Ita Martadinata, Aktivis Sekaligus Saksi Korban Perkosaan 1998

Selain mengingatkan sosok Ita Martadinata, Aksi Kamisan Bandung mengkritik penulisan sejarah tunggal yang melupakan peristiwa kelam di masa lalu.

Aksi Kamisan Bandung mengusung spanduk berwajah Ita Martadinata, aktivis sekaligus saksi kekerasan seksual 1998, di Taman Cikapayang, Dago, Bandung, Kamis, 19 Juni 2025. (Foto: Muhammad Akmal/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah20 Juni 2025


BandungBergerak.id - Pepatah "jangan sekali-kali melupakan sejarah" kian kehilangan makna ketika Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon menyebut tragedi pemerkosaan pada Mei 1998 sebagai rumor yang tak bisa dibuktikan. Pernyataan ini sekaligus melukai ingatan korban dan melemahkan upaya pencarian kebenaran.

Sebelumnya, Kementerian Kebudayaan juga sedang mendorong penulisan sejarah dengan nada positif yang kemudian menuai polemik dan kecaman luas. Publik mencium ada upaya mengabaikan peristiwa-peristiwa penting di masa lalu, ada semangat penyangkalan atau sengaja ingin menghapus ingatan kolektif terhadap sejarah bangsa sendiri.

Kontroversi sejarah itu mendapat respons dari Aksi Kamisan Bandung ke-425 bertajuk “Dari Tubuh Yang Diperkosa Negara, Suara Korban Menggaung & Berlipat Ganda” di Taman Cikapayang, Dago, Bandung, Kamis, 19 Juni 2025.

Aksi yang diwarnai atribut berkabung hitam-hitam ini memuat juga beberapa poster dan spanduk seperti “Soeharto Not For Hero,” dan “Kami Ingat Ita Martadinata, Kami Ingat Semuanya”.

Ita Martadinata Haryono merupakan aktivis dan saksi kunci kekerasan seksual 1998. Awal Oktober 1998, Ita tewas secara misterius setelah sebelumnya menerima surat kaleng berisi ancaman pembunuhan.

Peserta Aksi Kamisan Bandung memegang payung hitam sembari menunjukkan poster ke depan jalan. Aksi ini ingin mengingatkan publik tentang sejarah gelap 1998. Dalam peristiwa yang meruntuhkan kekuasaan Orde Baru itu, banyak perempuan yang menjadi korban kebrutalan. Mereka diperkosa, dilukai, dihancurkan secara sistematis.

Dalam Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dikeluarkan Komnas Perempuan (1999) tercatat, 85 korban kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998, terdiri dari 52 korban rudapaksa, 14 korban dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual. 

TGPF mendapatkan data korban dari berbagai sumber, yaitu pengakuan korban langsung, dokter, keluarga, rohaniawan, dan konselor. Kekerasan ini terjadi juga sebelum dan sesudah kerusuhan 1998 di Medan, Jakarta, dan Solo.

TGPF melaporkan total terdapat 168 korban, 20 orang di antaranya meninggal dunia. Angka ini dinilai masih jauh dari mencerminkan kenyataan karena banyak korban tidak tercatat akibat trauma, rasa takut, dan tekanan sosial.

Salah satu orator dalam Aksi Kamisan Bandung, Sari---bukan nama sebenarnya-- mengatakan, penulisan sejarah tunggal cenderung akan menghapus bagian sejarah yang semestinya tidak boleh dilupakan.

“Mereka mencoba menghapus begitu banyak bagian sejarah yang seharusnya tidak boleh dilupakan oleh bangsa ini—atas nama "menjaga nama baik", atas dasar "jangan mempermalukan negara di mata dunia". Tapi lihatlah negara-negara lain, mereka bisa hadapi sejarah mereka sendiri,” kata perempuan muda saat ia berorasi di Taman Cikapayang.

Sari mengatakan, perempuan jadi kelompok rentan yang diabaikan negara. Ia menganggap penulisan ulang sejarah merupakan bentuk kegagalan negara gagal dalam menerima dan mengakui kebenaran.

“Negara berusaha menghapus perasaan korban. Menghapus pengalaman mereka. Jangan sampai kita membiarkan para pelaku pelanggaran HAM diangkat jadi pahlawan,” jelas Sari.

Peserta Aksi Kamisan Bandung lainnya, Mays dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan, kerusuhan 1998 bukan semata masalah soal politik dalam negeri. Ada peran dari luar yang berusaha memperkuat pengaruhnya di Indonesia.

“Jadi, selama negara ini masih tunduk pada kepentingan imperialisme, akan selalu ada gebrakan-gebrakan baru yang menginjak-injak kebenaran dan melanggengkan penindasan,” jelas Mays.

Ia menyoroti bahwa penindasan terhadap perempuan di Indonesia terjadi secara berlapis. Perempuan masih dipandang sebagai objek.

“Penindasan itu terus berlangsung. Perempuan dianggap lemah, tidak penting, hanya pelengkap. Tapi semua ini bukan karena kondisi biologis atau budaya semata. Ini akibat dari sistem,” tegas Mays.

Baca Juga: Peringatan Lengsernya Suharto dalam Kemunduran Reformasi 1998 di Taman Braga dan Kebun Binatang Bandung
Reformasi Kepolisian Menjadi Keniscayaan di Tengah Merosotnya Kepercayaan Publik pada Penagakan Hukum

Aksi Kamisan Bandung mengusung spanduk berwajah Ita Martadinata, aktivis sekaligus saksi kekerasan seksual 1998, di Taman Cikapayang, Dago, Bandung, Kamis, 19 Juni 2025. (Foto: Muhammad Akmal/BandungBergerak)
Aksi Kamisan Bandung mengusung spanduk berwajah Ita Martadinata, aktivis sekaligus saksi kekerasan seksual 1998, di Taman Cikapayang, Dago, Bandung, Kamis, 19 Juni 2025. (Foto: Muhammad Akmal/BandungBergerak)

Menolak Lupa Ita Martadinata

Aksi Kamisan Bandung juga menolak lupa pembunuhan Ita Martadinata Haryono. Bersama ibunya, Ita tergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan pascakerusuhan Mei 1998.

Dalam laporan berjudul Saatnya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998, diterbitkan Komnas Perempuan (2008), polisi mengatakan kematian Ita akibat perampokan oleh tetangganya sendiri. Namun, komunitas pembela hak asasi manusia meyakini bahwa Ita dibunuh untuk membungkam suara para pejuang kemanusiaan.

Ancaman yang diterima Ita dan keluarga sebelum kejadi pembunuhan menambah kecurigaan bahwa kasus ini bukan kriminal biasa. Ita tewas sebelum berangkat ke Sidang PBB untuk menjadi saksi pemerkosaan massal di Indonesia tahun 1998.

Masih dalam catatan Komnas HAM, kematian Ita memperlihatkan betapa rentannya situasi para korban, saksi, dokter, dan pendamping HAM setelah tragedi Mei 1998. Mereka menerima ancaman fisik, teror psikologis seperti pengiriman foto-foto perkosaan terhadap korban, dan ancaman menyebarkan foto tersebut jika mereka bersuara.

TGPF mengatakan, ketakutan inilah yang menghambat proses pengumpulan data lapangan. Bahkan, TGPF menjelaskan, seorang rohaniwan mengaku membawa sembilan saksi termasuk dokter untuk memberikan kesaksian. Dokter tersebut mundur dikarenakan ketakutan yang semakin meningkatkan setelah pembunuhan Ita Martadinata.

Kematian Ita bukan semata kehilangan nyawa, tetapi monumen bisu dari ketakutan yang menyelimuti upaya penegakan keadilan bagi para korban kekerasan.

“Ngomongin soal sosok Ita Sendiri sendiri, aku merasa beliau adalah orang yang sangat hebat. Setahuku, waktu itu usianya baru 17 tahun. Tapi dia berani speak up, berani bersuara bukan cuma di dalam negeri, tapi juga secara internasional. Dia sempat berencana pergi ke PBB, ingin bersaksi soal pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia,” kata Mel, Aksi Kamisan Bandung.

Mel juga menegaskan, negara harus berhenti melihat perempuan hanya sebagai objek. Perempuan bukan alat kekuasaan. Perempuan membutuhkan perlindungan yang konkret bukan janji kosong atau simbol semata.

“Contohnya jelas: sampai sekarang RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) belum juga disahkan. Padahal sudah masuk Prolegnas berkali-kali. Dikeluarkan lagi, masuk lagi, lalu hilang. Negara seakan tidak serius melindungi perempuan, terutama perempuan pekerja rumah tangga,” tegas Mel.

Aksi Kamisan Bandung ke-425 ini ditutup dengan melingkar dan mendoakan mereka yang hilang karena kekerasan negara.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//