• Berita
  • Reformasi Kepolisian Menjadi Keniscayaan di Tengah Merosotnya Kepercayaan Publik pada Penagakan Hukum

Reformasi Kepolisian Menjadi Keniscayaan di Tengah Merosotnya Kepercayaan Publik pada Penagakan Hukum

Kepercayaan masyarakat menurun. Pembaharuan KUHAP, revisi UU Polri, dan pendidikan antikorupsi menjadi kunci dalam mereformasi kepolisian.

Ilustrasi. Polisi memiliki kewajiban melindungi dan mengayomi masyarakat. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah5 Februari 2025


BandungBergerak.id - Selama dua dekade Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan penelitian terhadap institusi kepolisian di Indonesia. Salah satu temuan dari riset ini adalah potensi-potensi pelanggaran yang dilakukan oleh polisi terutama berkaitan dengan korupsi, seperti korupsi kecil-kecilan dalam bentuk menerima suap dari warga dalam kehidupan sehari-hari. 

Koordinator ICW Agus Sunaryanto menuturkan, dengan menerima suap mereka tidak menerima sanksi dan merasa sudah kebal hukum. Semestinya, aparatur hukum menjaga proses penegakan hukum. Jika polisi menerima suap maka masyarakat bisa jadi tidak mau menghormati hukum.

Menurut Agus, aparatur kepolisian harus bisa mengembalikan kepercayaan publik dan menegaskan sebagai lembaga antikorupsi apabila tidak mau kehilangan kepercayaan masyarakat. 

“Kalau kemudian polisi itu mau disuap, memeras, dan melakukan korupsi di lembaganya sendiri, menurut saya, semakin lama kehilangan, kehilangan kehormatannya,” ujar Agus, dalam Seminar Reposisi Polri dalam Sistem Peradilan Pidana, di Hotel UTC Dago, Jalan Djuanda, Kota Bandung, Kamis, 30 Januari 2025.

Tidak hanya korupsi kecil-kecilan, Agus menduga terdapat korupsi di level birokrasi dan administrasi di instusi kepolisian. Di masyarakat saat ini muncul istilah parcok atau partai coklat yang bentuknya ketidaknetralan polisi saat pemilu. Dalam catatan ICW, ada sekitar 500 kepala desa diperiksa oleh polisi di Jawa Tengah dengan dugaan korupsi dana desa. Namun praktik ini kental dengan dimensi politik yang mengarah pada pilihan calon tertentu.

Dugaan lainnya, ICW menyoroti polisi yang bersentuhan dengan kelompok kriminal dalam praktik penyesatan investigasi dan barang bukti. Dalam tingkat tinggi, terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh polisi berimbas pada meningkatnya kriminalitas dan melemahnya standar moral masyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan antikorupsi mesti menjadi bagian reformasi kepolisian dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

“Strategi antikorupsi harus mengintegrasikan pendekatan hukuman dan pencegahan serta mengoordinasikan reformasi yang berfokus pada isu penegakan hukum,” jelasnya. 

Agus menegaskan, perbaikan atau reformasi di lembaga kepolisian harus dimasukkan dalam kerangka yang holistik dengan tujuan memperkuat proses demokrasi baik secara akuntabilitas internal dan pengawasan eksternal.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian
Polisi dan Bom Waktu Yang Mereka Ciptakan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian: Besarnya Kewenangan Polri tidak Dibarengi Pengawasan Internal dan Eksternal sehingga Memicu Penyelewengan Kekuasaan

 

Realitas Polri dan Reformasi Berkelanjutan

Penasihat Khusus Presiden Saurip Kadi menuturkan, polisi cenderung dimaknai sebagai alat kekuasaan, bukan lagi alat negara. Sementara rakyat diposisikan sebagai bukan pemilik negeri. 

Saurip menyebut untuk membangun kembali cita dan citra polri sebagaimana tuntutan demokrasi, penting melakukan perbaikan di kelembagaan ini dengan melakukan perubahan mendasar melalui dua langkah. Pertama, polisi sebagai aparatur sipil mengemban peran di bidang penegaggak hukum, keamanan, ketertiban masyarakat (Kamtimtibmas) di bawah kementerian dalam negeri (Kemendagri). 

Kedua, untuk melakukan reformasi Polri dibutuhkan kepedulian dan kesadaran elite polisi dalam melakukan penataan kembali serta mempercepat pembaharuan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan merevisi UU Polri yang melepaskan fungsi tempur dan lalu lintas. 

“Polri dengan tugas pokok kamtimbmas di bawah Kemendagri dan polisi yang bertugas menangani penegakan hukum dengan sebutan lain di bawah Kememkum,” terang Saurip, di acara yang sama. 

Hal yang sama dituturkan oleh Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana. Revisi KUHAP merupakan jalan satu-satunya reformasi kepolisian yang bisa membatasi kepolisian agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang di luar kepentingan penegakan hukum. 

Arif menyebut, sejak reformasi yang memisah polisi dari TNI, kepolisian diharapkan bisa menjadi lembaga penegakan hukum sesuai prinsip demokratis dan pendekatan HAM. Akan tetapi, 26 tahun pascareformasi justru menimbulkan kegelisahan di bidang penegakan hukum. Dalam pemantauan YLBHI, cita-cita kepolisian sebagai lembaga penegak hukum dan pengayom masyarakat justru jauh panggang dari api. 

Alih-alih polisi menjadi lembaga yang menjungjung tinggi HAM malah melakukan represivitas dan menjadi alat kekuasaan saat warga menolak rencana pembangunan strategis nasional (PSN) seperti yang terjadi di Rempang dan Wadas. Arief mengatakan, selama 2019 sampai 2024 Mei terdapat 95 kasus kriminalisasi yang menjerat korban dari buruh, mahasiswa, jurnalis, dan akademisi. 

Pada rentang waktu yang sama, YLBHI juga mencatat ada 94 orang menjadi korban penembakan kepolisian, kemudian penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam berbagai konflik kemanusiaan seperti di Papua, opsisi politik, dan kasus-kasus agraria. 

Catatan buruk mengenai lembaga kepolisian juga dicatat oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Pada rentang waktu 2024, Kontras mencatat institusi kepolisian merupakan lembaga yang sering dilaporkan melakukan dugaan pelanggaran HAM.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Reformasi Kepolisian

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//