• Berita
  • Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian: Besarnya Kewenangan Polri tidak Dibarengi Pengawasan Internal dan Eksternal sehingga Memicu Penyelewengan Kekuasaan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian: Besarnya Kewenangan Polri tidak Dibarengi Pengawasan Internal dan Eksternal sehingga Memicu Penyelewengan Kekuasaan

Reformasi di tubuh Polri semakin mendesak dilakukan, agar penegakan hukum dijalankan berdasarkan pendekatan hak asasi manusia.

Ilustrasi. Polisi memiliki kewajiban melindungi dan mengayomi masyarakat. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah31 Januari 2025


BandungBergerak.id – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sering mendapatkan sorotan publik belakangan ini. Bukan soal prestasi korps baju coklat, melainkan berbagai kinerja buruk seperti menyalahi wewenang dan aturan. Padahal sesuai amanat reformasi, pemisahan kepolisian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diharapkan penegakan hukum dijalankan berdasarkan pendekatan hak asasi manusia (HAM).
 
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP), tugas pokok kepolisian adalah menjaga ketertiban, melindungi, dan mengayomi masyarakat sebagaimana Undang Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Temuan Koalisi RFP justru menunjukkan polisi banyak menyalahi aturan dan wewenang. Bahkan di ranah publik muncul ungkapan: polisi pembunuh.
 
Koalisi RFP bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana (Asperhupiki) mengadakan agenda Seminar Hukum Nasional membahas Reposisi Polri Dalam Sistem Peradilan Pidana di UTC Dago, Jalan Djuanda, Kota Bandung, Kamis, 30 Januari 2025. Seminar membahas kewenangan polisi yang lebih dari 10 tugas pokok serta pengawasan terhadap institusi kepolisian baik eksternal serta internal yang tidak berjalan dengan baik.
 
Seminar dihadiri Anggota Komisi II DPR, Benny K Harman, Guru Besar Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harjanti, akademisi Fakultas Hukum Unpad, Lies Sulistyani, Tenaga Ahli atau Penasihat Khusus Presiden Saurip Kadi, dan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto.
 
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana yang mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menjelaskan, diskusi mengenai evaluasi Polri menjadi penting apalagi posisinya dalam sistem peradilan pidana polisi sebagai penyelidik dan penyidik dengan berbagai kewenangannya.
 
“Termasuk evaluasi terhadap bagaimana mereka selama ini menggunakan kewenangan yang dimilikinya dalam sistem peradilan pidana mengingat kenapa harus dievaluasi? Kita tahu bahwa beberapa tahun terakhir kinerja kepolisian ini buruk dan banyak peristiwa yang mengakibatkan publik itu tidak percaya pada polisi bahkan banyak jargon sekarang yang muncul ‘polisi pembunuh’, gitu,” kata Arif kepada BandungBergerak di sela-sela seminar, Kamis, 30 Januari 2025.
 
Arif menjelaskan, tugas pokok polisi dalam undang-undang di antaranya berkaitan dengan penegakan hukum. Namun, pengawasan terhadap kepolisian baik internal maupun eksternal tidak berfungsi dengan baik. Pengawasan-pengawasan yang kurang jalan ini terjadi di Propam (Profesi dan Pengamanan) Polri, Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri, Satuan Pengawas Internal, dan Biro Warisidik. Atau pengawasan eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Ombudsman RI, dan Komnas HAM.
 
Beberapa peristiwa penyelewengan polisi mulai dari penggunaan gas air mata berlebihan seperti peristiwa Kanjuruhan, salah tangkap di Cirebon, sampai tindakan represif terhadap massa aksi saat menyampaikan pendapat terus berulang dan tidak pernah ada evaluasi.
 
“Ternyata selama ini diketahui bahwa pengawasannya tidak berjalan yang terjadi justru kalau di internal impunitas. Kalau di eksternal ya hanya pemantauan, hanya data tapi tidak bisa kemudian diteruskan menjadi rekomendasi yang sifatnya punitif penghubungan atau sanksi. Pada akhirnya terus berulang karena tidak pernah ada evaluasi, tidak ada pengawasannya efektif, tidak ada penghukuman yang menimbulkan efek jera,” beber Arif.
 
Mandat reformasi yang juga diselewengkan. Arif menyebut, sering kali polisi justru ditarik ke wilayah politik praktis dan menjadi alat kekuasaan bukan lagi alat negara. Ditambah dengan kondisi pengawasan internal dan eksternal yang tidak ada transparansi serta akuntabilitas yang melibatkan publik.
 
Arif menjelaskan, lembaga pengawas ini tidak ada yang berdiri independen dan netral sampai terjadi konflik kepentingan. Hal yang sama di lembaga pengawas eksternal, Kompolnas tidak menjadi pengawas independen hanya lembaga konsultatif dan koordinatif. 
 
Dalam waktu dekat, DPR RI sedang membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membahas aturan kewenangan kepolisian dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelidik dan penyidik. Diharapkan seminar ini  bisa menjadi rekomendasi terhadap revisi KUHP dan KUHAP.
 
Arif menegaskan, revisi KUHAP bisa menjadi jalan untuk reformasi kepolisian, memastikan kontrol kewenangan kepolisian dalam penegakan hukum baik kewenangan penyelidikan atau penyidikan. Dua kewenangan Polri ini diharapkan tidak disalahgunakan atau digunakan di luar penegakan hukum karena bisa membatasi hak asasi manusia. 

Baca Juga: Polisi dan Bom Waktu Yang Mereka Ciptakan
Mahasiswa Bandung: Pengesahan RUU TNI dan RUU Polri Menjauhkan Cita-cita Reformasi
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Bayang Hitam di Balik Seragam, Ironi Keamanan oleh Aparat Polisi

Pentingnya Reformasi Kepolisian
 
Guru Besar Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harjanti menjelaskan, perlu ada komitmen yang jelas atau political will dari presiden yang membawahi polisi untuk bisa melakukan perbaikan atau reformasi.
 
Reformasi di tubuh institusi kepolisian bisa dilakukan dengan berbagai cara di antaranya, pluralist approach atau menghendaki adanya pemencaran kekuasaan formal mengurangi kewenangan menumpuk pada satu institusi dalam menegakan prinsip hukum.
 
Selama ini sentralisasi atau terpusatnya kekuasaan penegakan hukum dan penjagaan ketertiban hukum di institusi kepolisian menyebabkan penyalahgunaan wewenang kekuasaan (abuse of power) menjadi sistematik.
 
“Penyalahgunaan wewenang itu bisa kita lihat, di dalam kejadian yang terjadi dalam tahun belakang ini. Bahwa polisi yang seharusnya jadi alat negara kemudian alat kekuasaan, alat politik, kemudian melakukan berbagai tindakan dapat berpotensi melanggar hak asasi manusia,” beber Susi.
 
Susi menjelaskan, reformasi Polri harus didukung institusi polisi secara utuh untuk meningkatkan prinsip negara hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Reformasi Kepolisian

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//