Mahasiswa Bandung: Pengesahan RUU TNI dan RUU Polri Menjauhkan Cita-cita Reformasi
RUU TNI dikhawatirkan membawa Indonesia kembali ke masa sebelum reformasi. RUU Polri akan membuat institusi kepolisian semakin berkuasa.
Penulis Emi La Palau16 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Mahasiswa Bandung menggugat revisi undang-undang (RUU) TNI dan RUU Polri yang akan disahkan DPR. Kedua RUU ini dikhawatirkan mengebiri demokrasi dan mengancam hak-hak warga sipil.
Mahasiswa menilai, hadirnya RUU TNI Polri menambah sederet persoalan pembuatan kebijakan yang menyalahi prosedur. Dibuat tergesa-gesa di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo memunculkan spekulasi, aturan ini hanya sebagai aturan “orderan” untuk memuluskan kepentingan aparat negara.
Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB Fidela Marwa Huwaida mengatakan, substansi RUU TNI dan RUU Polri tidak sesuai dengan cita-cita reformasi, mengancam demokrasi, dan tidak sesuai dengan supremasi hukum. Tak tak ada upaya pelibatan masyarakat dalam proses perumusan kedua RUU ini.
Ia menyebut, sejumlah pasal di dalam kedua RUU akan berimplikasi pada masyarakat sipil. Salah satunya pasal 16 tentang intelijen yang bisa melakukan penyidikan dan penindakan terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap membahayakan keamanan negara.
Fidela menjelaskan, pasal tersebut bersifat subjektif dan dikhawatirkan mengancam kebebasan sipil.
“Jadi ini rentan banget soal subjektifitas dan juga ya udah tiba-tiba kalau misalkan kita bikin kegiatan yang mungkin dianggap oleh Polri itu mengancam, mereka bisa aja langsung menindak kita. Tentu ini kan akan mengancam kebebasan kita untuk menyampaikan pendapat, beraspirasi, menyampaikan kritik, menimbulkan ketakutan, bagi masyarakat sipil untuk ditindak secara sewenang-wenang oleh Polri,” urai Fidela, ditemui BandungBergerak di kampus ITB Bandung, Kamis, 15 Agustus 2024.
Salah satu pasal kontroversial RUU Polri tentang penyadapan. Padahal menurut Fidela
Indonesia belum memiliki regulasi atau undang-undang yang mengatur penyadapan. Mengenai RUU TNI, Fidela mengkritik pasal yang mengatur TNI menduduki jabatan sipil. Hal ini bertentangan dengan amanat reformasi yang menghapuskan dwi fungsi ABRI.
“Tentu kan ini menjadi sebuah pertanyaan besar, kembalikah kita ke era sebelum reformasi?” kata Fidela.
Di tempat yang sama, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran (BEM Kema Unpad) Fawwaz Ihza Mahenda mengatakan, hadirnya RUU TNI dan RUU Polri dikhawatirkan semakin membungkam masyarakat untuk bersuara dan menyampaikan pendapat.
Ia menilai, melalui RUU Polri membuat kepolisian menjadi lembaga superbody. Di sisi lain, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian terus menurun karena banyaknya kasus-kasus represif yang terjadi di lapangan.
Hadirnya kedua RUU ini dinilai membahayakan demokrasi. Negara bergeser dari supremasi hukum ke negara kekuasaan. “Ketika demokrasi dan hukum menjadi fundamental kita. Tapi sekarang diganggu. Demokrasi dikebiri, hukum untuk sesuka penguasa saja, kepentingan penguasa dan oligarki,” ungkap Fawwaz.
RUU TNI dan RUU Polri Cacat Prosedur
Baik Fawwaz maupun Fidela sama-sama menilai proses perumusan RUU TNI dan RUU Polri cacat prosedur, selain memiliki persoalan krusial secara substansi. Namun, pemerintah menutup telinga di tengah gencarnya masyarakat sipil yang menolak pengesahan RUU TNI dan RUU Polri. Alih-alih mendengarkan aspirasi masyarakat, pemerintah meminta DPR untuk mempercepat pengesahan kedua RUU.
“Bahkan pun saat ini yang kita highlight bagaimana prinsip partisipasi bermakna dari masyarakat Indonesia tidak benar-benar diindahkan dalam proses penyusunan RUU TNI Polri. Karena mungkin tentu kita sudah sama-sama tahu dari beberapa bulan ke belakang bahwa penolakan terjadi di mana-mana, tapi ya seolah pemerintah abai terhadap hal itu,” ungkap Fidela.
Fawwaz menimpali bahwa regulasi yang dibikin dengan prosedur yang cacat maka materi atau substansinya pun sudah pasti bermasalah. Dalam kacamata hukum, prosedur ini sangat penting. Pemerintah seharusnya membuka diskusi kepada publik selama merumuskan kedua RUU dengan cara membuat daftar inventaris masalah (DIM). DIM ini kemudian dibuka kepada publik untuk dengar pendapat.
Selain itu, pemerintah juga seharusnya melakukan sosialisasi kepada universitas-universitas atau institusi pendidikan yang di dalamnya memiliki banyak ahli. Langkah-langkah ini harus dilakukan karena kedua RUU berkaitan dengan kehidupan rakyat banyak. Pembentukannya harus mempertimbangkan asasi manusia (HAM).
“Ketika prosedur ini dilangkahi, maka kita tahu bahwa hukum ini diciptakan bukan untuk kebutuhan masyarakat. Tapi kebutuhan penguasa dan juga oligarki. Jadi kalau dari kami sebelum kita membahas mengenai substansi materilnya maka prosedurnya saja sudah cacat, maka kami tidak percaya kepada semua materialnya,” ungkap Fawwaz.
Lobi Politik
Kedua RUU dibahas di masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir. Hal ini menjadi menimbulkan dugaan bahwa kedua RUU bersifat orderan.
“Tentukan ini jadi pertanyaan besar, gak usah ada spekulasi dari kami mahasiswa tapi mungkin publik bisa menilai sendiri gitu. Di tengah segala upaya transisi pemerintahan tapi ada dalam tanda kutip order untuk RUU TNI Polri ini untuk kemudian disahkan. Lantas kepentingan siapa yang ingin dipuaskan,” ungkap Fidela.
Fawwaz juga menyatakan, dikebutnya RUU TNI dan RUU Polri diduga karena politik balas budi Presiden Jokowi. Menurutnya, peraturan yang dihasilkan dari lobi-lobi politik takkan memiliki manfaat bagi masyarakat. Kedua RUU bukan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.
“Saya melihat bahwa undang-undang yang berdasarkan hanya kepada lobi politik dan tanpa melihat kepada kepentingan publik dan juga partisipasi bermakna di dalamnya maka itu adalah suatu produk hukum yang catat bagi kami,” ungkap Fawwaz.
Ia menuturkan, sejak 2019 penguasa menggunakan UU atau regulasi hukum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, bukan demi kebutuhan rakyat. Sementara rakyat hanya menjadi objek. ”Objek yang mana untuk mendapatkan dan juga mengeksploitasi kekayaan dari rakyat itu sendiri, sedangkan mereka yang menikmati,” ungkapnya.
Fidela menambahkan, selama pemerintahan Jokowi banyak sekali kebijakan yang dikeluarkan tanpa melibatkan masyarakat secara aktif. Seharusnya, masyarakat dilibatkan dalam partisipasi bermakna.
“Tapi ya seolah-olah selama ini kebijakan yang dirancang itu cuman menitikberatkan masyarakat sebagai objek saja bukan sebagai subjek. Padahal seharusnya masyarakat bisa menjadi subjek yang bisa memberikan aspirasi dan juga memberikan kritik. Itukan demokrasi seharusnya seperti itu,” kata Fidela.
Baca Juga: Catatan 24 Tahun Reformasi
Refleksi Reformasi 1998, dari Maraknya Politik Identitas hingga Menguatnya Penguasa Otoriter
Bandung Menjelang Reformasi 1998
Pembenahan Total
Fidela dan Fawwaz sama-sama menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan pembenahan total untuk mengembalikan amanat reformasi yang kini terancam.
“Kami melihat kemunduran dalam demokrasi dan kami memandang ini ngak sesuai lagi dengan cita-cita reformasi. Tentu harapannya tadi ada upaya untuk membenahi secara total, secara struktural dari segala proses ini, karena ya negara Indonesia negara demokrasi,” kata Fidela.
Ia melihat peran DPR sebagai lembaga yang seharusnya mewakili rakyat ternyata tidak menjalankan fungsi yang semestinya. Masyarakat sipil masih kesulitan untuk menyampaikan kritik maupun aspirasi agar didengar pemerintah.
Bahkan Fawwaz mengajukan opsi bukan lagi reformasi tetapi revolusi total. Revolusi ini bukan hanya menyasar kelembagaan maupun peraturan perundang-undangan, tetapi juga secara kultural. Sudah saatnya rakyat Indonesia bersatu demi kebaikan bangsa bukan kebaikan oligarki maupun pemerintah.
Menurutnya, saat ini mahasiswa akan mengkonsolidasikan diri bersama koalisi masyarakat sipil ke dalam satu gerakan masif.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Emi La Palau, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang RUU TNI dan RUU Polri