• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Bayang Hitam di Balik Seragam, Ironi Keamanan oleh Aparat Polisi

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Bayang Hitam di Balik Seragam, Ironi Keamanan oleh Aparat Polisi

Perlu reformasi integral bagi penegakan hukum. Pelatihan dan pemilihan anggota polisi harus menekankan nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan integritas.

Intan Wulan R.

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Ilustrasi. Aparat penegak hukum adalah garda terdepan keadilan. (Foto: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

16 Desember 2024


BandungBergerak.idKetika berbicara tentang polisi, benak kita seharusnya dipenuhi dengan bayangan sosok-sosok heroik yang berdiri di garis depan untuk melindungi dan melayani masyarakat. Dengan mengenakan seragam yang berhiaskan emblem sebagai simbol kehormatan, para anggota polisi menjadi manifestasi hidup dari keamanan dan perlindungan yang kita dambakan.

Namun, berbeda dari kenyataan yang menyeruak ketika segelintir dari mereka melakukan tindakan yang justru berlawanan dengan sumpah janji mereka, sebagaimana tampak dari kasus tragis penembakan seorang siswa SMK di Semarang. Kasus penembakan ini menjadi ilustrasi nyata dari suatu kebobrokan sistemik dalam institusi yang kita anggap seharusnya memberikan perlindungan, bukan pengancaman.

Polisi, dengan segala atribut dan kekuasaan yang melekat dididik dan dilatih untuk mempertahankan keamanan publik, namun realitas kadang memajang potret mimpi buruk yang sungguh mengkhawatirkan. Bukankah ironis ketika masyarakat harus merasa cemas dan waswas terhadap perilaku individu yang terlindung oleh seragam yang seharusnya menenangkan? Fenomena ini mengundang kegetiran bagi siapa pun yang menghargai keadilan. Bagaimana tidak, sesosok individu yang seharusnya menjadi payung perlindungan bagi masyarakat malah menjadi petir yang menghantam tanpa ampun.

Penembakan seorang remaja di Semarang oleh polisi bukan sekadar sebuah insiden kekerasan, itu adalah simbol kumal dari institusi yang nyaris tidak menyisakan ruang bagi rasa percaya. Jika ditilik lebih dalam, insiden ini seakan mengisyaratkan betapa busuknya akar permasalahan yang ada dalam tubuh penegak hukum kita. Mungkinkah seorang berseragam yang kita harapkan melindungi kita dari kejahatan, kini justru menjadi sumber ketakutan? Ironi ini terkesan luar biasa absurd. Di balik seragam yang berkilau, para penegak hukum ini mungkin menyimpan kadar individualisme dan kesembronoan yang tinggi, yang sama merusaknya dengan senjata yang mereka pegang. Bagaimanakah kita bisa berharap kepada mereka untuk melindungi rakyat bila mereka tak punya kemampuan untuk mengendalikan jari mereka dari menarik pelatuk tanpa dasar yang jelas?

Permasalahan ini bukan hanya terletak pada insiden individu, melainkan bagaimana perisai keadilan yang diklaim oleh institusi ini rapuh dan penuh lubang. Bagaimana bisa seorang polisi, yang seharusnya terlatih dalam melakukan deeskalasi, mengambil langkah destruktif semudah itu tanpa mencoba jalan nonkekerasan terlebih dahulu? Betapa tajam luka masyarakat setiap kali mendengar polisi yang mestinya jadi benteng terakhir melawan kekacauan beralih menjadi agen kekacauan itu sendiri. Lebih tragisnya lagi, kerap kali tindakan eksesif ini berakhir dengan hukuman yang terkesan begitu ringan, bila dibandingkan dengan derita korban.

Dalam kasus ini, tindakan yang menewaskan seorang siswa SMK menjadi refleksi suram atas ambiguitas moral dalam penerapan hukum dan prosedur yang seharusnya jelas dan tegas. Keluarga korban yang harus merasakan pahitnya duka dan kehilangan semakin terbenam dalam labirin mencari keadilan yang sering kali bias dan tidak transparan. Menghadapi gegap gempitanya “perlindungan” ala polisi ini, masyarakat dipaksa bertanya-tanya tentang arah dan hakikat dari keadilan itu sendiri di tangan oknum aparat yang bersikap semena-mena.

Sungguh ironis ketika laporan kematian seorang siswa dijawab dengan serangkaian prosedur yang menantikan situasi “naik sidik” untuk menetapkan tersangka, seakan-akan hidup seorang anak muda bisa ditunda dalam kotak birokrasi. Penundaan dalam proses ini menambah ironi ketika seragam aparat yang seharusnya menjadi simbol kehadiran sang pelindung malah berubah menjadi monster yang menakutkan karena kebrutalan yang tidak bisa dikendalikan. Proses hukum yang kelihatan kesulitan mengambil langkah definitif terhadap pelaku juga mencerminkan bahwa segala slogan muluk yang diusung, seperti ‘melayani dan melindungi’ tidak lebih dari klise yang mengabur realitas pahit di lapangan.

Tak cukup dengan kesulitan mencari keadilan, tampilan seremonial seperti penyelidikan internal, pengumpulan bukti CCTV, dan pengumuman penahanan pelaku menjadi drama sesaat yang mengecoh publik dari akar permasalahan sesungguhnya. Tatkala hasil otopsi masih dijadikan alasan untuk menentukan penyebab kematian yang sudah jelas, kebutuhan transparansi benar-benar mendesak di sini. Aparat seharusnya berhenti mendiskon kecemasan publik dengan sekadar pernyataan kavling dan malah fokus pada reformasi nyata dalam sistem. Tragedi ini menjadi salah satu dari banyak kasus yang menyoroti kelemahan institusi kepolisian dalam menangani dan mencegah tindakan kekerasan oleh anggotanya.

Lebih dari sekadar menyalahkan aktor individu, kita harus menyoroti kerangka besar yang menciptakan ruang bagi perilaku brutal ini. Pelatihan aparat, mekanisme kontrol internal, hingga budaya impunitas yang sangat kental harus dirombak total demi mengembalikan kepercayaan publik. Momen ini seharusnya menjadi pemicu introspeksi mendalam bagi seluruh elemen kepolisian dari pusat hingga daerah, bahwa setiap peluru yang ditembakkan sembarangan adalah cermin dari kegagalan kolektif yang harus ditangani dengan serius dan segera. Bagaimana mungkin masyarakat merasa aman di bawah naungan kehakiman yang senantiasa mempertontonkan jurang interpretasi yang begitu mengkhawatirkan?

Apabila sejatinya keadilan hanya menjadi retorika kosong dalam menghadapi kebrutalan oknum berseragam, maka kehadiran polisi di tengah masyarakat tidak lagi relevan. Mengukur kredibilitas dan efektivitas polisi dari seragam dan senjata mereka adalah kekeliruan fatal yang harus segera diubah. Paradoks ini mendesak untuk diatasi dengan reformasi menyeluruh yang hanya bisa dilakukan dengan komitmen kuat dan keberanian menghadapi realitas pahit internal. Penanganan tegas terhadap pelaku dalam kasus ini bisa menjadi titik awal perubahan, namun langkah selanjutnya adalah memastikan tidak ada korban berikutnya yang jatuh oleh tangan yang seharusnya mengayomi mereka.

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ancaman Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim Akibat Proyek Food Estate di Indonesia
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Janji Hijau di Tengah Luka Alam
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa di Persimpangan Neoliberalisme Pendidikan, antara Performativitas Gerakan dan Tantangan Perjuangan Substantif

Tidak sedikit sorotan tajam yang diarahkan kepada mereka, mulai dari masyarakat biasa sampai lembaga HAM, namun sering kali hasilnya nihil. Dalam suatu masyarakat yang mengharapkan perlindungan dari institusi penegaknya, setiap peluru yang ditembakkan tanpa alasan kuat seharusnya menjadi suara yang menggema lebih keras daripada dentingan bel pukul lima pagi. Namun, keadilan kerap kali tuli dan buta saat menghadapi pelanggaran yang dilakukan oleh mereka yang menyebut diri sebagai penegak hukum. Di sinilah muncul suatu realitas pahit di mana instrumen yang dirancang untuk keadilan bisa disalahgunakan oleh orang yang mengoperasikannya. Ini adalah tamparan keras bagi negara yang mengklaim berdiri di atas supremasi hukum. Apakah kebetulan atau potret busuk dari keseluruhan sistem? Ini menjadi bahan perenungan yang patut kita soroti dengan lebih kritis.

Di tengah keyakinan dan pengharapan kita terhadap sistem penegakan hukum, tidak sedikit masyarakat yang menganggap seragam kepolisian sebagai jubah pelindung magis. Namun kenyataannya, seragam tersebut bisa saja menyembunyikan kalbu yang rapuh dan tidak disiplin, layaknya rumah kardus yang terlihat megah dari luar namun goyah diterpa angin badai kecil. Dengan demikian, perlu ada reformasi integral yang menguji ulang fondasi penegakan hukum di negeri ini. Pelatihan dan pemilihan anggota polisi harus lebih menyeluruh dan tegas, dengan menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan integritas. Pengawasan harus ditingkatkan, dan pelanggaran mesti dihukum setimpal tanpa pandang bulu. Tidak ada satu orang pun yang boleh berada di atas hukum, terutama mereka yang tugasnya menegakkan hukum itu sendiri.

Maka, setiap cerita tragedi seperti penembakan siswa SMK di Semarang bukan sekadar beban bagi keluarga korban, melainkan juga sinyal keras bagi negara dan seluruh aparatnya. Ini adalah sebuah panggilan untuk emergensi moral, sebuah peringatan bahwa tanpa akuntabilitas dan reformasi yang benar-benar dijalankan, seragam kepolisian akan terus dilihat tidak lebih dari sekadar kain yang membungkus kekosongan nilai dan keberanian. Hanya dengan langkah yang tepat dan tegas, kita bisa berharap bahwa suatu hari nanti, dalam setiap hati aparat keamanan, seragam yang dikenakan bukan hanya hiasan kosong namun benar-benar lambang dari keberanian untuk melindungi dan menghormati setiap nyawa yang ada di bawah naungannya. Hingga saat itu tiba, kita harus tetap kritis, waspada, dan mendesak perubahan nyata. Karena di dalam setiap seragam polisi, seharusnya terkandung harapan dan kepercayaan masyarakat, bukan ketakutan dan ironi menyedihkan.  

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//