Solidarity For Gamma Menggema di Taman Vanda Bandung, Usut Tuntas Kasus Penembakan Warga Sipil oleh Polisi Semarang!
Massa aksi mempertanyakan fungsi pengayoman yang diemban polisi untuk melayani masyarakat. Organisasi masyarakat sipil menuntut investigasi kasus penembakan.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah29 November 2024
BandungBergerak.id - “Polisi tak akan pernah berubah, sekali pembunuh tetap pembunuh,” yel demi yel disuarakan oleh puluhan massa dalam aksi ‘Solidarity For Gamma’ di Taman Vanda depan Polrestabes Bandung, Kamis malam, 28 November 2024. Aksi ini merespons meninggalnya seorang siswa SMKN 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy yang ditembak polisi pukul satu dini hari, Minggu, 24 November 2024. Penembakan diklaim untuk menghentikan tawuran.
Tidak hanya di Bandung, organisasi masyarakat sipil di level nasional juga mendesak investigasi dan adili polisi penembak warga sipil. Penembakan merupakan penghukuman di luar proses hukum yang bertentangan dengan hukum nasional dan internasional.
Tidak hanya yel-yel, massa aksi di Bandung mengusung poster berisi tuntutan. “Ketika terjadi suatu pembunuhan harus dilihat dan dipandang sebagai suatu yang sistematis yang struktur, rangkai pertanggungjawaban komando yang diberikan pada mereka, tidak ada lagi kata oknum,” kata orator bagian dari masa aksi.
Saat kejadian, Gamma berboncengan dengan dua temannya. Ia meninggal dunia setelah terkena tembakan di bagian pinggul. Sementara dua temannya juga tertembak namun selamat dan dirawat di rumah sakit.
Kepolisian Semarang menuturkan penembakan terjadi setelah adanya tawuran antara geng dan korban berasal dari salah satu geng. Aparat kepolisian mengklaim berupaya melerai tawuran di Perumahan Paramount, Semarang Barat, Jawa Tengah.
Akan tetapi dari berbagai laporan pemberitaan, satpam kompleks perumahan di sekitar kejadian mengatakan tidak ada tawuran saat kejadian. Hingga kini, polisi masih menyelidik lebih lanjut kasus penembakan tersebut.
Massa aksi menilai tuduhan geng bermotor terhadap Gamma merupakan dalih yang dibuat-buat menjadi tameng. Padahal Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 dengan tegas membatasi penggunaan senjata api.
Gofar, salah satu peserta aksi mengatakan, demonstrasi ini merupakan respons terhadap rentetan brutalitas aparat yang membunuh rakyat. Ia menegaskan, aksi ini adalah perang narasi.
“Tindakannya pembunuhan tapi narasi yang mereka (polisi) coba buat sudah sesuai prosedur atau pun menyalahkan terhadap perbuatan tawuran atau apa itu,” kata Gofar, saat ditemui oleh BandungBergerak.
Dengan adanya kejadian Gamma, menurut Gofar, masyarakat harus segera membuat garis pembeda bahwa aparat kepolisian bukan lagi pengayom. “Kita mau menegaskan, kalian (polisi) itu dan masyarakat juga harus tahu, akhirnya masyarakat bakal tahu bagaimana cara menghadapi aparat kepolisian,” jelas Gofar.
Di hari yang sama saat Gamma ditembak, Gofar menyebut aparat juga melakukan penembakan terhadap warga sipil di Kepulauan Bangka Belitung yang diduga mencuri buah kelapa sawit di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Gofar menerangkan, tindakan represif polisi juga pernah terjadi di Dago Elos dan Tamansari. “Perlawanan masyarakat melawan ketidakadilan itu resikonya dengan senjata. Maka dari itu kita harus bersiap dengan hal itu. Kita tahu ada kampanye lucuti senjata polisi walaupun kita tahu itu tidak akan menjadi apa-apa juga,” jelas Gofar.
Peserta aksi juga menyoroti beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Sebelum Gamma, Afif seorang bocah ditembak di Padang, 600 masa di hajar di Kota Bandung, dan tragedi Kanjuruhan merenggut 135 nyawa, serta kejadian di Bangka Belitung.
Aksi ini menuntut: cabut senjata api polisi sekarang juga!, potong anggaran kepolisian, hapus pasal multifungsi TNI-Polri, tarik militer dari Papua, hapus komando cadangan.
Mencerminkan Pola Pikir Aparat Cenderung Represif
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan, dua insiden penembakan warga sipil di Semarang dan Bangka Barat mempertegas pola kekerasan polisi yang mengkhawatirkan. “Apalagi publik baru saja diguncang oleh kasus penembakan polisi senior terhadap polisi junior di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam keterangan resmi Amnesty International, diakses Kamis, 28 November 2024.
Amnesty International menyatakan, rentetan peristiwa penembakan yang terjadi dalam waktu berdekatan ini menimbulkan pertanyaan besar, apa yang salah dengan kepolisian? Mengapa penggunaan senjata api oleh polisi, yang seharusnya menjadi langkah terakhir, justru terkesan menjadi senjata utama dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia?
Di Kota Semarang, klaim pihak berwenang bahwa penembakan mati atas seorang remaja dilakukan dalam rangka menangani tawuran. Klaim mengamankan tawuran dengan tembakan dinilai bukan hanya tidak legal, tidak perlu, tidak proporsional, dan tidak akuntabilitas, tetapi juga melanggar prinsip perlindungan hak asasi manusia.
“Kejadian ini berujung pada hilangnya nyawa seorang remaja—korban dari kebijakan represif yang mengutamakan kekerasan dan senjata mematikan daripada solusi pengayoman dan pengamanan yang manusiawi,” demikian pernyataan Amnesty International.
Di Kabupaten Bangka Barat, Amnesty International melanjutkan, polisi juga menembak mati seorang warga sipil yang diduga mencuri buah kelapa sawit. Tindakan ini adalah bentuk penghukuman di luar proses hukum (extra-judicial execution) yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum nasional dan internasional.
Amnesty International melihat kejadian-kejadian tersebut mencerminkan kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api dan pola pikir aparat yang cenderung represif.
Untuk itu, Amnesty International mendesak DPR RI dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengevaluasi kinerja Polri dan kepemimpinan Polri dalam rangka memastikan adanya pertanggungjawaban hukum yang tuntas atas kasus-kasus penembakan ini.
“Komnas HAM juga perlu melakukan penyelidikan independen untuk memastikan bahwa pelanggaran oleh aparat kepolisian diproses hukum dengan adil,” kata Amnesty International.
Negara juga harus merevisi aturan penggunaan senjata api, memastikan penggunaannya hanya sebagai upaya terakhir sesuai prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas agar tetap melindungi HAM.
Baca Juga:Cerita Pelajar di Bandung dalam Lautan Demonstrasi Rakyat Gugat Negara, Pulang Sekolah Langsung Unjuk Rasa
Menantang Tirani, Rekaman Visual Demonstrasi 22 Agustus 2024 di Bandung
Elite Politik Membangkang Konstitusi, Masyarakat Sipil di Bandung Turun ke Jalan Menolak Pembajakan Demokrasi
Latar Belakang Kasus Penembakan
Menurut catatan Amnesty International Indonesia, dari 16 Januari hingga 24 November 2024 terdapat sedikitnya 31 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat atas 31 korban. Dalam sebulan terakhir terdapat setidaknya delapan kasus dengan delapan korban. Sebagian besar kasus sejak awal tahun ini diduga dilakukan oleh personel Polri, yaitu 23 kasus dengan 23 korban.
Amnesty International menyatakan, pembunuhan di luar hukum oleh aparat merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup, hak mendasar yang dilindungi oleh hukum HAM internasional yang diterima dan berlaku sebagai hukum nasional. Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) menegaskan setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.
“Kegagalan akuntabilitas dan keadilan atas pembunuhan di luar hukum dan penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia,” kata Amnesty International.
Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan tidak disiksa. Hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) menyoroti respons kepolisian dengan pola pembelaan terkait dua kasus penembakan di Semarang dan Bangka Barat justru akan menutup ruang investigasi dan menghambat penegakan hukum, di tengah rendahnya komitmen polisi dalam memproses penegakan hukum terhadap polisi yang melakukan penembakan.
Dalam catatan YLBHI, tren penembakan oleh polisi terbilang tinggi di lapangan, namun terdapat hambatan penegakan hukum dalam mengusut tuntas dan menyeret pelaku ke proses hukum. Dari laporan YLBHI menyebutkan terdapat 80 persen kasus yang tidak jelas kelanjutannya, 9 persen kasus ditindaklanjuti hingga vonis, dan 10 persen kasus terdapat tersangkanya tapi tidak jelas kelanjutannya (2018 – 2020).
“Kondisi faktual ini menunjukan komitmen kepolisian dalam mengusut tuntas dan menyeret pelaku penembakan polisi masih minim,” demikian pernyataan resmi YLBHI.
Maka, YLBHI mendesak:
- Presiden dan DPR segera melakukan reformasi di tubuh kepolisian terkait kewenangan kepolisian minim pengawasan dan secara spesifik skema penggunaan senjata;
- Pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
- Mendesak Komnas HAM untuk melakukan audit institusi Polri terhadap kewenangan polisi membawa senjata api.
- Kepala Polri mengusut tuntas kasus-kasus penembakan oleh polisi dan menyeret pelaku di hadapan pengadilan serta membuka proses hukumnya kepada publik.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Polisi