• Berita
  • Elite Politik Membangkang Konstitusi, Masyarakat Sipil di Bandung Turun ke Jalan Menolak Pembajakan Demokrasi

Elite Politik Membangkang Konstitusi, Masyarakat Sipil di Bandung Turun ke Jalan Menolak Pembajakan Demokrasi

Kemarahan publik dipicu keputusan elite politik di DPR dan pemerintah yang membangkang dan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi. Peringatan darurat!

Gambar Peringatan Darurat yang beredar di jaringan media sosial sebagai bentuk protes publik terhadap revisi UU Pilkada. (Tangkapan layar Instagram @najwashihab)

Penulis Emi La Palau22 Agustus 2024


BandungBergerak.idKeputusan merevisi Undang Undang Pilkada yang berlangsung kilat di DPR memicu kemarahan publik yang diawali dengan gelombang seruan aksi dengan tajuk “Peringatan Darurat” di media sosial, antara lain disuarakan jurnalis Najwa Shihab. Publik, warganet, marah karena demokrasi di negeri ini sedang dibegal habis-habisan oleh sekelompok elite politik.

Keputusan merevisi UU Pilkada dilakukan DPR dan pemerintah hanya berselang satu hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan UU Pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dilakukan Partai Buruh dan Partai Gelora, bahwa partai politik tak lagi harus memenuhi ambang batas minimal kursi di parlemen, sebagaimana diatur dalam UU Pilkada. 

Selain itu, MK juga telah mengeluarkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mempertegas syarat batas usia pencalonan kepala daerah harus terpenuhi pada saat pendaftaran.

Awalnya, keputusan MK dianggap angin segar khususnya bagi Pilkada DKI Jakarta yang ‘dikuasai’ koalisi raksasa KIM Plus sehingga menutup calon lain untuk mendaftar. Saat ini, Pilkada DKI Jakarta dibayangi pemungutan suara Ridwan Kamil – Suswono yang diusung koalisi besar KIM Plus melawan kotak kosong.

Pakar politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan mengatakan, putusan MK telah memberikan harapan bagi publik untuk menghasilkan demokrasi di tingkat lokal yang lebih baik. Namun dengan revisi UU Pilkada membuat publik dihadapkan pada pilihan yang hanya disajikan para elite.

“Tadinya memang semacam dibajak oleh elite. Jadi kita sebagai warga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang hanya ditentukan elite. Tapi kemudian ruang itu dibuka oleh MK, nah hari ini ditutup lagi oleh para elite,” kata Firman Manan, kepada BandungBergerak.id, melalui sambungan telepon, Rabu, 21 Agustus 2024.

Sebelumnya, dilansir dari BBC Indonesia, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan aturan batas usia untuk calon kepala daerah dalam Pilkada harus terpenuhi saat penetapan pasangan calon peserta Pilkada oleh KPU dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Keputusan tersebut menutup jalan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada 2024. Kaesang yang juga Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024. 

Latar belakang tersebut memicu tagar ‘Peringatan Darurat’ dengan logo burung garuda Pancasila berwarna biru menggelegar sejak Rabu kemarin, 21 Agustus 2024. 

Menghadapi kondisi demokrasi yang diakali, simpul-simpul gerakan masyarakat sipil di Indonesia tak tinggal diam. Jejaring mereka di media sosial mengerucut pada aksi turun ke jalan, Kamis, 22 Agustus 2024. 

Aksi demonstrasi akan berlangsung serentak baik di Jakarta maupun di daerah-daerah lainnya dengan tujuan mengawal putusan MK sekaligus menggagalkan revisi UU Pilkada yang rencanakan akan segera disahkan DPR.

Di Bandung, Jawa Barat, para aktivis Aksi Kamisan Bandung, mahasiswa, dan masyarakat sipil juga akan turun ke jalan. Aksi di Bandung akan berpusat di depan Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, mulai pukul 10 pagi. 

Aksi dengan tajuk Rakyat Gugat Negara menyerukan bahwa “Ini bukan urusan politik elektoral semata, nasib kita dipermainkan penguasa!” Seruan ini marak disebar melalui pesan-pesan aplikasi.

Revanka, salah satu perwakilan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, situasi demokrasi saat ini perlu dikawal karena arahnya sudah jauh dari yang dicita-citakan konstitusi negara UUD 1945. 

“Sebagai pribadi, aku melihat sudah perlu menggulingkan sistem yang lama kak dan diganti ke sistem yang baru. Sistem yang dipegang oleh ilmuwan, buruh, tani, dan kelas-kelas lainnya (kecuali kelas borjuis/kapitalis/dan semacamnya),” kata Revanka. 

“Aku melihat ini salah satu upaya untuk segera menuju kesana. Karena aku pribadi sudah ga peduli mau pemimpinnya siapa, tapi ini udah masalah sistemik. UUD 1945 kita sudah dilanggar dan jauh dari cita-citanya,” lanjutnya.

Baca Juga: Satu Dekade Basa-basi Rezim Jokowi pada Keadilan Iklim
Jokowi, Mitos Politik, dan Kematian Nalar Publik
Warisan Buruk Jokowi untuk Transisi Energi

Demokrasi Dibajak Elite Politik

Pakar politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan menjelaskan, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi sebagai putusan final dan mengikat harus ditaati dan diikuti oleh semua orang. 

Ia menilai, putusan MK yang mengabulkan permohonan Partai Buruh dan partai Gelora sangat adil karena memberikan ruang kepada partai politik untuk berkontestasi dalam Pilkada, dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang mempersulit partai politik untuk berkontestasi. 

“Jadi bisa semangatnya memberikan jalan supaya demokrasi di tingkat lokal menjadi berkembang,” ungkap Firman Manan.

Manuver yang dilakukan oleh para elite politik di DPR menurut Firman sebagai bentuk pembangkangan terhadap putusan hukum MK. Padahal, MK adalah lembaga penafsir konstitusi yang posisinya sangat tinggi dalam tatanan negara hukum. 

“Jadi ada semacam pembangkangan atau ketidaktaatan dari para elite di DPR,” tandasnya.  

Keputusan merevisi UU Pilkada sekaligus menganulir keputusan MK ini sarat dengan pembangkangan terhadap konstitusi. Secara kasat mata keputusan DPR melakukan revisi sudah sangat jelas, mulai dari tidak tidak adanya keterlibatan publik, prosesnya sangat cepat karena kurang dari satu hari, kemudian akan langsung diputuskan dalam rapat paripurna.

Firman juga khawatir terjadinya manipulasi Pilkada melalui praktik manipulasi elektoral dengan cara mengubah aturan hukum untuk keuntungan seseorang atau kelompok partai tertentu. Contohnya, mengubah batasan umur untuk memuluskan anak bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep yang disebut-sebut akan ikut berkontestasi dalam Pilkada. 

“Lalu kemudian terkait dengan batasan umur, jelas kita bisa melihat itu menunjuk kepentingan satu orang yaitu Kaesang, yang kalau penetapan bulan September itu belum berumur 30 tahun,” katanya. 

Manuver-manuver elite politik membuat kualitas demokrasi semakin mundur. Para elite politik di DPR semakin tidak bisa diharapkan untuk mewakili kepentingan rakyat. 

Dalam situasi ini Firman melihat ada dua cara yang bisa dilakukan publik, yaitu pertama, menempuh jalur konstitusional dengan menunggu proses pengesahan UU Pilkada oleh DPR yang akan disahkan presiden. Setelah itu, publik membawa UU Pilkada tersebut ke MK untuk diuji. Kedua, kata Firman, melalui jalur ekstra konstitusional misalnya dengan demonstrasi.

Seruan dari Koalisi Lintas Organisasi Pers 

Seruan juga disampaikan Koalisi Lintas Organisasi Pers yang menyatakan bahwa demokrasi kembali terancam. Koalisi ini menyebut, Elite-elite politik tanpa malu-malu berupaya menganulir dua putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Pilkada dan batas usia pencalonan kepala daerah.

“Upaya penganuliran dua keputusan lembaga konstitusi tertinggi tersebut dipertontonkan secara angkuh melalui proses legislasi rancangan undang-undang (RUU) Pilkada secara kilat, yang sudah tentu tidak mematuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Tercium aroma busuk di balik niat untuk merevisi undang-undang pilkada ini setelah putusan MK, hingga menyisakan pertanyaan tentang masa depan konstitusi dan demokrasi kita,” demikian pernyataan resmi Koalisi Lintas Organisasi Pers.

Koalisi ini terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ),  Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).

Koalisi mencatat, bukan kali ini saja penyimpangan kekuasaan dalam proses legislasi. Beberapa regulasi krusial yang mulus dikebut dalam waktu singkat seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, revisi UU KPK, UU Ibu Kota Negara (IKN) tanpa asas transparansi dan partisipasi masyarakat. Padahal banyak RUU yang lebih mendesak untuk kepentingan masyarakat seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perampasan Aset, Perlindungan Data Pribadi, dan sebagainya.

Koalisi menyerukan, di tengah situasi ini, peran pers dan jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi tidak boleh lagi melunak pada upaya-upaya kekuasaan yang hendak melumpuhkan demokrasi. Menurut koalisi, bila putusan MK bisa mereka anulir dalam waktu sekejap, bukan tidak mungkin undang-undang yang menjamin kebebasan pers, berpendapat dan berekspresi, pelan-pelan dilucuti dengan mudah sampai kita menuju era kegelapan. Setidaknya upaya ini pernah dicobakan pada rencana revisi undang-undang penyiaran yang muatannya justru menjurus pada pemberian ruang kontrol negara terhadap isi siaran.

Atas dasar itu, Koalisi Lintas Organisasi Pers menyatakan dan menyerukan:

  1. Demokrasi kita terancam dan pers wajib membelanya.
  1. Mengingatkan media dan jurnalis tetap independen dan profesional dalam memberitakan kebenaran serta tidak takut menyajikan informasi yang akurat, kritis, dan terverifikasi dan tidak mudah diintervensi. 
  1. Di tengah situasi politik yang kisruh saat ini, mengingatkan pemerintah untuk menjamin perlindungan media dan jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistik melaporkan informasi kepada publik. 
  1. Pemerintah untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara dengan tidak merepresi pendapat dan kritik di berbagai kanal, termasuk ruang digital.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Emi La Palau, atau tulisan-tulisan lain tentang Presiden Jokowi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//