Satu Dekade Basa-basi Rezim Jokowi pada Keadilan Iklim dan Transisi Energi Berkeadilan
Pemberian konsesi tambang pada ormas keagamaan merupakan salah satu bentuk dari basa-basi keadilan iklim yang dipraktikkan Rezim Jokowi.
Penulis Awla Rajul21 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Rezim Pemerintahan Joko Widodo akan berakhir Oktober mendatang. Selama satu dekade memimpin Indonesia, Joko Widodo dinilai belum memberi prioritas utama pada pengendalian perubahan iklim. Rezim Jokowi justru dinilai jauh dari perspektif keadilan iklim. Inilah yang mendasari Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menuntut pemerintahan baru agar berkomitmen mewujudkan keadilan iklim.
Pidato kenegaraan Joko Widodo pada sidang DPR dan MPR 16 Agustus lalu dianggap tidak mencerminkan urgensi mengurangi dampak krisis iklim dengan mengurangi ketergantungan pada industri ekstraktif.
“Indonesia harus mulai beralih ke model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan, yang tidak hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan, menegakkan hak asasi manusia dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya bagi subjek-subjek rentan,” ungkap perwakilan ARUKI Omen Bagaskara, sebagaimana dikutip dari siaran pers ARUKI yang diterima BandungBergerak, Senin, 19 Agustus 2024.
Dalam pidato kenegaraannya, Joko Widodo hanya menyinggung ekonomi hijau tanpa membahas upaya mengurangi dampak dampak krisis iklim yang akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia. Jokowi juga menyebutkan prestasinya dalam pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan pengembangan sistem jaminan sosial. Tetapi tidak ada satu keberhasilan pun yang disampaikan Jokowi dalam mengatasi krisis iklim.
Omen menyebutkan, secara makro Indonesia memang mengalami sejumlah kemajuan. Namun dalam satu dekade kepemimpinan Jokowi, kebijakan ekonomi Indonesia sangat bertumpu pada industri ekstraktif yang menunjukkan ketidakpedulian terhadap krisis iklim yang semakin memburuk. Krisis iklim dampaknya paling dirasakan oleh kelompok rentan seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, perempuan, orang muda, buruh, pekerja informal, penyandang disabilitas, anak-anak, dan lansia.
“Merekalah yang menanggung beban terberat akibat cuaca ekstrem, gagal panen, kerusakan ekosistem darat dan laut, termasuk dampak buruk dari proyek-proyek maladaptasi, aksi mitigasi sesat, dan berbagai dampak negatif pembangunan yang tidak adil dan inklusif sehingga mengancam kelangsungan hidup terutama subjek rentan,” katanya.
ARUKI mencatat, selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, kebijakan dan aksi-aksi iklim yang dijalankan bukan hanya tidak menyelesaikan akar masalah dari krisis iklim, justru semakin mengancam keselamatan rakyat, merusak lingkungan, dan melanggar hak asasi manusia. Selama memimpin, berbagai proyek pembangunan besar-besaran terus digenjot, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan kemampuan adaptasi rakyat.
Dalam catatan ARUKI, Undang Undang Cipta Kerja bahkan menjadi produk hukum yang melegitimasi perluasan skala eksploitasi kawasan biosfer, cagar alam, dan hutan, tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan.
Solusi Palsu Atas Nama Iklim
Berbagai proyek atas nama iklim digelontorkan selama satu dekade kepemimpinan Jokowi. Namun begitu, tidak semuanya mendulang kesuksesan dan menjelma solusi. Sebaliknya, program-program yang diklaim dapat memberi solusi, malah menjadi solusi palsu yang akan memperparah laju krisis iklim.
Omen Bagaskara menyebut ada enam proyek yang dijalankan pemerintahan Jokowi yang nyatanya adalah solusi palsu, di antaranya proyek transisi energi, proyek transisi energi melalui pendanaan internasional Just Energy Transition Partnership (JETP), pemberian konsesi tambang batubara kepada ormas keagamaan, proyek food estate, proyek shrimp estate, dan skema perdagangan karbon.
Skema transisi energi yang digadang-gadang pemerintahan Jokowi tidak demokratis dan tidak berkeadilan. Proyek-proyek yang mengatasnamakan iklim, nyatanya hanya business as usual yang lebih menekankan pada investasi skala besar, cenderung menambah persoalan dan kerentanan rakyat akibat perubahan iklim, serta semakin menyulitkan rakyat untuk beradaptasi. Proyek pembangkitan energi melalui geothermal, PLTA, program kendaraan listrik, dan berbagai proyek transisi energi lainnya, justru memperluas kerusakan lingkungan, merusak hutan, dan menimbulkan kerugian bagi rakyat.
Sementara pendanaan transisi energi melalui “bantuan internasional”, JETP merupakan “jebakan” utang luar negeri yang berpotensi menambah beban baru keuangan negara. Pinjaman ini juga berpotensi memberatkan warga untuk membayar pajak.
Proyek transisi energi dalam JETP cenderung mengutamakan pembangunan energi terbarukan berskala besar yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Skema pendanaan JETP justru mengabaikan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas yang mendekatkan sumber energi terbarukan dengan masyarakat sehingga mudah dijangkau dari sisi harga.
Memanfaatkan Ormas Keagamaan
Pemberian konsesi batubara kepada ormas keagamaan juga dinilai merupakan upaya cuci dosa ekologi industri batubara yang kotor. Pemberian konsesi ini juga menjadi semacam ganjalan yang melemahkan gerakan lingkungan hidup. Menolak tambang, artinya, harus berhadapan dengan organisasi keagamaan NU dan Muhammadiyah, dua ormas terbesar di Indonesia yang memutuskan menerima konsesi tambang.
Indonesia Team Lead 350.org Firdaus Cahyadi menyatakan, keterlibatan ormas keagamaan dalam bisnis energi kotor batubara akan memperlemah gagasan transisi energi dan perubahan iklim di Indonesia. Sebab, gagasan dan dorongan agar pemerintah memperkuat komitmennya terhadap krisis iklim dan transisi energi akan berpotensi mengganggu bisnis energi kotor batubara mereka.
“Setelah terlibat dalam bisnis energi kotor batubara, kedua ormas keagamaan itu bisa dipastikan akan menjadi penentang setiap gagasan yang menginginkan agar pemerintah memiliki komitmen serius terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi,” ungkapnya, dikutip dari siaran pers yang diterima BandungBergerak, Selasa, 19 Agustus 2024.
Baca Juga: Bandung dalam Jeratan Krisis Iklim
Krisis Iklim belum Menjadi Agenda Prioritas Partai Politik
Seruan Darurat Iklim dari Jalanan Kota Bandung
Gagalnya Proyek Pangan
Proyek pangan, seperti food estate dan shrimp estate juga dinilai gagal dan memunculkan kerugian besar bagi negara. Kedua program membuat masyarakat terancam banjir karena deforestasi dan mengancam eksistensi petambang tradisional. Sementara skema perdagangan karbon hanya berorientasi pada bisnis dan tidak menjawab akar permasalahan krisis iklim.
“Skema ini dilihat sebagai upaya melepaskan tanggung jawab korporasi atas kerusakan lingkungan dan penyumbang emisi GRK. Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, alih-alih meletakkan prinsip keadilan iklim di dalam membangun kebijakan dan aksi-aksi iklim di Indonesia, justru sebaliknya, peraturan terkait iklim lebih mendorong pada munculnya bisnis yang memperdagangkan krisis alih-alih mengurangi emisi gas rumah kaca secara nyata dan meningkatkan ketahanan rakyat,” lanjut Omen Bagaskara.
Karena persoalan inilah dibutuhkannya Undang Undang Keadilan Iklim yang mampu menjamin keadilan dan keselamatan rakyat dari krisis iklim. Padahal, ancaman dan dampak krisis iklim benar-benar nyata dan dialami oleh masyarakat, lantaran negara gagal merespon secara menyuluruh persoalan krisis iklim.
ARUKI mendesak pemerintahan baru yang akan dilantik Oktober mendatang untuk proaktif melakukan evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan dan regulasi yang bertentangan dengan keadilan iklim, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Pemerintahan baru juga perlu merevisi menyeluruh dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang menempatkan pembiayaan transisi energi di Indonesia didominasi utang luar negeri dan mengabaikan pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas.
ARUKI mendesak untuk membatalkan atau mencabut semua konsesi tambang batubara yang telah ditawarkan kepada ormas keagamaan, serta menghentikan pemberian izin-izin tambang atas nama mengatasi krisis iklim. Pemerintah dan DPR juga perlu menyegerakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim.
“Indonesia perlu satu regulasi yang lebih tinggi dan bisa memayungi semua sektor melampaui sekat-sekat sektoral dan birokrasi. Momentum ini sangat penting untuk dimanfaatkan, mengingat dampak krisis iklim yang semakin meluas dan mengorbankan kehidupan rakyat Indonesia, terutama mereka yang sangat bergantung pada daya dukung dan daya tampung lingkungan,” tutup ARUKI.
Basa-basi Pidato Transisi Energi
Pada perayaan HUT RI ke-79 di IKN, Joko Widodo menyampaikan pidatonya terkait pelaksanaan transisi energi bersih yang berkeadilan selama masa pemerintahannya. Indonesia Team Lead 350.org, Firdaus Cahyadi menilai pidato itu cenderung basa-basi. Ia menilai pemerintahan Jokowi tidak pernah serius menjalankan transisi energy bersih yang berkeadilan. Dalam pidatonya, Jokowi mengungkapkan bahwa transisi energi berkeadilan adalah transisi yang menghasilkan energi terbarukan yang mudah diakses dan terjangkau bagi masyarakat.
“Jika itu yang diinginkan maka logikanya, energi harus didekatkan dengan masyarakat. Sentralisasi energi harus diubah menjadi demokratisasi energy. Namun, faktanya dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) tidak satupun memberikan peluang bagi pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas,” kata Firdaus Cahyadi.
Menurut Firdaus Cahyadi, CIPP JETP justru mengarahkan investasinya ke pengembangan energi terbarukan berskala besar yang berpotensi memperburuk konflik sosial dengan masyarakat lokal, dari konflik agraria hingga lingkungan hidup. Skema pendanaan luar negeri untuk transisi eneri juga didominasi utang luar negeri yang akan memberatkan pembayar pajak di Indonesia.
“Jokowi juga secara sadar membagi bagi konsesi tambang batubara untuk ormas keagamaan,” tegas Firdaus Cahyadi. “Kebijakan itu fatal dan menunjukan bahwa sebenarnya Presiden Jokowi hanya basa-basi menjalankan transisi energi.”
Firdaus Cahyadi menyarankan agar di akhir masa jabatannya, Jokowi lebih serius berkomitmen terhadap pelaksanaan transisi energy dan berhenti basa-basi terkait transisi energi. Di akhir masa jabatannya inilah, seharusnya Jokowi membangun peninggalan yang baik terkait penanganan krisis iklim dan transisi energi di Indonesia.
* Simak tulisan-tulisan lain Tofan Aditya, atau tulisan-tulisan lain tentang Krisis Iklim