Bandung dalam Jeratan Krisis Iklim
Tren temperatur di Bandung meningkat dari tahun ke tahun akibat pemanasan global dan urbanisasi. Peningkatan temperatur bakal memperbesar ancaman kesehatan.
Arip Apandi
Penulis Konten di salah satu media lokal Jawa Barat
18 Januari 2024
BandungBergerak.id – Berbicara tentang alam dan iklim cuaca, saya juga termasuk orang yang menolak meromantisasi Bandung. Pun ketika saya pulang ke Kabupaten Tangerang dan Jakarta, selalu saja saya bertemu orang-orang di sana yang mengatakan, “Enak ya di Bandung, adem sejuk,” kurang lebih begitu kata mereka. Saya jawab, kalian cuma korban reels Instagram atau story teman. Bandung sama saja seperti di sini (Tangerang dan Jakarta): Panas; macet di mana-mana; banyak sampah; dan banjir. Dan setiap harinya kami di Bandung pun, seperti halnya kalian, mengeluhkan itu semua, saya menambahkan.
Oleh karena itu, di sini saya hendak menarik apa yang kerap luput dari keluhan kita semua, tentang cuaca ekstrem berupa terik matahari yang panas menyengat hingga curah hujan yang lebat hingga menyebabkan banjir di Bandung. Ketika dampak cuaca ekstrem itu menjegal kita, lantas pernahkah kita mempertanyakan apa penyebabnya?
Baca Juga: Pemuda Bandung Menuntut Tindakan Nyata Pemerintah dalam Mengurangi Dampak Krisis Iklim
Krisis Iklim belum Menjadi Agenda Prioritas Partai Politik
Orang Muda Jawa Barat Berkontribusi dalam Menghasilkan Solusi Menghadapi Krisis Iklim
Sebab Bandung Pun Tak Luput dari Krisis Iklim
Bandung merupakan salah satu kota di dunia yang turut terdampak salah satu masalah global yang saat ini sangat mendesak, yakni krisis iklim. Adapun krisis iklim ini berupa cuaca ekstrem seperti panas terik matahari dan curah hujan yang tinggi sehingga menimbulkan banjir. Melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, dalam kasus panas terik matahari, tren temperatur di Bandung meningkat setiap tahun, sebagai akibat dari pemanasan global dan urbanisasi. Adapun suhu rata-rata tahunan di Bandung meningkat dari 23,6°C pada 2020 menjadi 24,1°C pada 2022. Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal ilmiah MDPI menemukan bahwa gelombang panas meningkatkan angka kematian di Bandung sebesar 8%, terutama di kalangan orang tua dan anak-anak. Jadi, peningkatan temperatur yang terjadi dari tahun ke tahun bakal memperbesar ancaman kesehatan. Dan permasalahan serupa pun terjadi dalam kasus banjir.
Setiap tahunnya, Bandung juga merupakan salah satu kota yang harus bergulat dengan tantangan banjir. Di samping disebabkan oleh peran curah hujan yang deras, pengelolaan lahan, dan sistem drainase yang payah, dampak krisis iklim juga menjadi penyebab permasalahan banjir yang terus berulang dari tahun ke tahun. Pun dampak yang ditimbulkan banjir tidak main-main. Berkaca ke beberapa tahun ke belakang, pada Mei 2021, Kabupaten Bandung menghadapi musibah banjir yang melibatkan empat kecamatan, menyebabkan dampak serius pada lebih dari 16.000 keluarga dan merendam ribuan rumah, sekolah, masjid, serta bangunan lainnya. Tidak lama sebelumnya, pada Maret 2021, lima kecamatan di wilayah yang sama juga dilanda banjir, mengakibatkan kerusakan pada lebih dari 10.000 rumah dan memaksa puluhan keluarga untuk mengungsi, laporan dari European Centre for Medium-Range Weather Forecast (ECMWF) dalam tajuk "Indonesia – Thousands of Homes Damaged by Floods in Bandung".
Dengan demikian, kita sudah seharusnya menanggapi krisis iklim yang sudah, sedang, dan akan terus terjadi sekarang ini secara lebih serius. Lantas, adakah solusinya?
Menuju Kesepakatan Paris dan Misi IPCC
Faktanya, Indonesia merupakan salah satu negara yang bersedia menunaikan janji dari sebuah kesepakatan global bernama Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia bersedia mengambil peran mengurangi emisi gas rumah kaca dan meredam pemanasan global. Secara lebih spesifik, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisinya sebesar 29% pada 2030, dan bahkan mencapai 41% dengan dukungan luar negeri. Selain itu, jangan juga lupakan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 195 negara anggota IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change).
Sebagai sebuah badan internasional tertinggi yang telah menerima penghargaan Nobel Peace Prize pada 2007, IPCC memiliki misi yang salah satunya berupa poin implementasi kebijakan dan tindakan untuk mengatasi perubahan iklim bagi semua negara, termasuk Indonesia. Adapun salah satu poin implementasi kebijakan penting yang telah dikeluarkan IPCC adalah emisi gas rumah kaca global harus dikurangi sekitar 42% pada 2030, 60% pada 2035, dan mendekati eliminasi pada 2050. Dalam laporan terakhir, IPCC menyoroti pentingnya untuk segera mengambil tindakan. Akan tetapi, beberapa laporan lain dari IPCC yang terbit pada 2022 memberikan suatu hal yang lebih menantang.
Pertama, berdasarkan laporan tersebut, kita semua wajib menggunakan bahan bakar fosil atau energi utama penunjang kehidupan secara lebih efisien kalau memang tidak bisa menghentikannya. Yang jelas, laporan tersebut menyerukan bahwa kita semua mencari bahan bakar alternatif selain fosil. Kedua, IPCC tiada hentinya menekankan bahwa semua lini industri, lembaga pemerintah dan swasta hingga individu di seluruh dunia mesti bergerak. Mitigasi krisis iklim ini harus berada dalam level aksi progresif, radikal, dan substansial. Bukan saja harus sudah mulai mendesak pemerintah untuk menerapkan peraturan dan kebijakan yang sejalan dengan semangat Kesepakatan Paris dan IPCC, semua lapisan masyarakat dan seluruh lini industri juga mesti bergerak dalam prinsip ramah lingkungan (eco-friendly) mulai dari sekarang.
Itu artinya, kita semua juga perlu mengevaluasi diri sendiri di samping mengkritik pemerintah yang cuma mengotak-atik gorong-gorong atau memperlebar kolam retensi dalam mengatasi banjir, misal. Bagaimanapun, baik itu dari Kesepakatan Paris dan IPCC, kita semua merupakan pelaku krisis iklim sekarang. Jadi, kita pun bertanggungjawab dan terlibat dalam upaya kerusakan-kerusakan yang telah terjadi karena disebabkan oleh krisis iklim. Jadi, pertanyaan yang mendesak sekarang adalah: Beranikah kita mengubah pola pikir dan gaya hidup kita yang berkontribusi pada kehadiran krisis iklim? Dalam level pemerintahan, apakah kita tetap membiarkan kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan dan tetap bungkam alih-alih mendesak mereka untuk membuat kebijakan yang berlandaskan semangat Kesepakatan Paris dan IPCC? Dalam level ekonomi, beranikah para pengusaha mikro hingga makro menerapkan semangat ramah lingkungan dalam gerak manajerial, operasi administrasi, hingga mekanisme produksinya? Suka atau tidak, percaya atau tidak, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya misi masyarakat internasional (Anda, saya, dan kita semua) dalam mengatasi salah satu permasalahan global di zaman sekarang: Krisis iklim.
Kalau Tidak….
Salah satu hal yang perlu dipahami tentang krisis iklim adalah: krisis iklim adalah persoalan manusia, yang rugi adalah manusia, ujungnya berimbas pada manusia. Berita tentang melelehnya es Antartika, kebakaran hutan, badai, dan bentuk kerusakan alam lainnya bukan tentang planet Bumi itu sendiri. Save the Earth means save humanity. Dan itu menjadi makin pelik karena ancaman krisis iklim bukan hanya tentang manusia yang hidup di zaman sekarang, namun juga tentang manusia yang umurnya masih panjang untuk hidup sampai di masa mendatang. Orang-orang di generasi nanti-lah yang bakal lebih menderita jika krisis iklim dibiarkan begitu saja. Dan mereka itu adalah anak Anda, adik-adik kecil kita, cucu-cucu kita semua. Barangkali kita tidak bakal bisa membantah kegelisahan Anna dalam novel Dunia Anna karya Jostein Gaarder. Serupa kecemasan Anna, mari berandai-andai: Apa yang akan atau bisa kita katakan seandainya cucu-cucu kita yang hidup di masa depan itu bisa menemui kita sekarang dan kemudian berkata, “Kami menderita dan kenapa kau tak pernah melakukan apa-apa?!”