• Nusantara
  • Orang Muda Jawa Barat Berkontribusi dalam Menghasilkan Solusi Menghadapi Krisis Iklim

Orang Muda Jawa Barat Berkontribusi dalam Menghasilkan Solusi Menghadapi Krisis Iklim

Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami ancaman kemiskinan parah dan risiko karena krisis iklim.

Child Campaigner Save the Children Indonesia di Jawa Barat menyelenggarakan West Java Children & Youth Festival Bumi Suaka 2023. (Foto: Save the Children Indonesia)

Penulis Iman Herdiana18 Desember 2023


BandungBergerak.idGenerasi muda berkontribusi memberikan solusi pada isu lingkungan, khususnya dampak krisis iklim. Untuk mendorong kesadaran dan partisipasi aktif anak-anak dan orang muda dalam menjaga keberlanjutan alam, Kelompok anak dan orang muda - Child Campaigner Save the Children Indonesia di Jawa Barat menyelenggarakan “West Java Children & Youth Festival: Bumi Suaka 2023.

Bumi Suaka adalah nyawa bagi setiap anak dan orang muda di Jawa Barat yang peduli terhadap tempat berlindungnya. Bagi kami, tidak cukup berperan sendirian, anak dan orang muda di Jawa Barat harus duduk berembuk merancang serta menjadi bagian dari solusi penanganan krisis iklim, hayu sasarengan sauyunan ngaruwat imah arurang sararea sangkan alam teu mere huru hara,“ jelas Koordinator Child Campaigner Save the Children di Provinsi Jawa Barat Rahman, dikutip dari keterangan resmi yang diterima BandungBergerak.id, Senin, 18 Desember 2023.

Orang muda memiliki peranan penting dalam menghapi krisis iklim. Laporan Global Save the Children “Generation Hope” tahun 2022 memaparkan, diperkirakan 774 juta anak di seluruh dunia—atau sepertiga dari populasi anak dunia—hidup dengan kemiskinan yang parah dan risiko iklim yang tinggi. Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami kedua ancaman tersebut.

West Java Children & Youth Festival merupakan kegiatan puncak dari serangkaian kolaborasi kampanye Aksi Generasi Iklim Save the Children Indonesia yang dipimpin oleh Child Campaigner Jawa Barat bekerja sama dengan organisasi kolaborator, yaitu: Markapada, Ocean Young Guard, dan Forestisme. Acara ini menargetkan 300 anak-anak dan orang muda berusia 12 - 28 tahun untuk hadir dan saling berjejaring, berdiskusi dan berbagi pengalaman terkait aksi adaptasi perubahan iklim di Jawa Barat.

Berbagai pihak juga akan hadir di antaranya adalah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Provinsi Jawa Barat, Perwakilan Think Policy ID, dan Gracia Paramitha sebagai Climate and Youth Specialist. Rangkaian aksi telah dilakukan oleh masing-masing organisasi yang menjadi kolaborator di antaranya adalah aksi peningkatan kesadaran dan aksi adaptasi perubahan iklim, baik di lingkungan sekolah, masyarakat maupun di wilayah yang terdampak langsung dari krisis iklim.

Sebanyak 200 anak-anak dan orang muda berkumpul dan melakukan aksi nyata terutama terkait upaya pengurangan risiko bencana dan aksi iklim di wilayah Jawa Barat seperti penanaman mangrove, serta edukasi tentang vertical garden dan pentingnya hutan kepada siswa SMP.

Bung karno sempat bersuara, ‘seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia’ sebagai anak muda yang dikata sebagai harapan bangsa dan penggerak massa, kami menyuarakan kepedulian kami di Bumi Suaka. Bergerak bersama, berkolaborasi, dan membangun relasi untuk mencari solusi terbaik dan menyampaikan suara kami melalui aksi-aksi yang kami harap dapat memberikan perubahan yang besar,ujar Keishara, perwakilan anak dari pegiat Markapada.

West Java Children & Youth Festival: Bumi Suaka 2023 adalah ruang yang aman untuk anak-anak dan orang muda saling berjejaring, berbagi pengalaman dan berdiskusi tentang aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Rangkaian ini merupakan bagian dari Kampanye nasional Save the Children Indonesia yaitu Aksi Generasi Iklim. Kampanye ini telah dicanangkan sejak tahun 2022, dan diinisiasi oleh anak anak di 7 Provinsi (DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Aceh).

Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam pemberdayaan anak-anak dan orang muda dalam Kampanye Aksi Generasi Iklim adalah menggunakan pendekatan SHIFT, dimana terdapat pengalihan kepemimpinan (transfer power) kepada anak dan orang muda yang telah melakukan aktivitas kampanye terkait isu yang paling penting menurut mereka. Shift mendorong kolaborasi yang kuat antara orang muda untuk melakukan percepatan tersebut. Pendekatan Shift ini dilakukan pilot program di Bandung dan Sumba. 

Baca Juga: Merangkul Perdamaian Berkelanjutan Melalui Kearifan Lokal
Pemuda Bandung Menuntut Tindakan Nyata Pemerintah dalam Mengurangi Dampak Krisis Iklim
Krisis Iklim belum Menjadi Agenda Prioritas Partai Politik

Menghadapi Krisis Iklim bersama Orang Muda Kabupaten Bandung

Sebelumnya, November 2023 lalu Save the Children bersama LPBI NU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim – Nahdlatul Ulama) Provinsi Jawa Barat hadir dengan Program Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Masyarakat atau Community-based Climate Change Adaptation (CBCCA) di Kabupaten Bandung.

Tujuan CBCCA adalah meningkatkan ketangguhan iklim anak-anak dan masyarakat untuk mengurangi risiko dan dampak negatif perubahan iklim, serta membangun lingkungan yang memungkinkan mereka untuk menjadi aman dan terlindungi.

Kabupaten Bandung adalah salah satu wilayah rawan bencana di Indonesia. Menurut Kajian Risiko Bencana Bandung oleh BNPB, lebih dari 66 persen kejadian bencana di wilayah ini merupakan bencana yang dipengaruhi oleh perubahan curah hujan dan peningkatan suhu. Kekeringan, banjir, puting beliung, kebakaran hutan, dan longsor adalah beberapa di antaranya. Dampak perubahan iklim dan bencana akan mempengaruhi mata pencaharian keluarga serta pemenuhan hak-hak anak, termasuk kesehatan dan pendidikan.

Kabupaten Bandung menjadi salah satu lokasi super prioritas untuk ketahanan iklim di sektor pertanian dalam Kebijakan Pengembangan Ketahanan Iklim tahun 2020-2025 yang dirilis oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kabupaten Bandung juga menghadapi risiko kondisi basah dan kering yang ekstrem.

Dalam pelaksanaanya, program ini mendorong para orang muda, sebagai bagian dari masyarakat, untuk memberikan partisipasi bermakna. Mulai dari proses tata kelola pembangunan terkait iklim, hingga memfasilitasi pihak otoritas untuk memadukan adaptasi perubahan iklim ke dalam sistem tata kelola pemerintahan.

“Program ini melibatkan orang muda karena orang muda adalah generasi iklim dan mereka merasakan dampak yang lebih besar untuk krisis iklim. Menjadi penting para pemuda mengetahui dan memahami isu krisis iklim. Mereka sebagai agen perubahan akan bisa ambil peran untuk melakukan aksi adaptasi perubahan iklim,” jelas Hernowo Poetranto Johanes Bermans, Manajer Program CBCCA di Save the Children Indonesia. 

Selain melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim, adaptasi pun dipilih sebagai langkah tepat bagi para orang muda yang bekerja sebagai agen perubahan. Apalagi dampak perubahan iklim sudah, sedang, dan akan terus terjadi.

“Kalau kita tidak beradaptasi maka kita akan terus merasakan dampak negatif dari risiko krisis iklim,” sebut Hernowo.

Sebagai orang muda di Desa Rancamanyar, Chandra Dwi Septian selaku Wakil Ketua Karang Taruna Rancamanyar dan Mia Citra Resmini mewakili Kader Desa Rancamanyar, pun menggambarkan situasi kekeringan di desanya.

Keberhasilan para orang muda dari Desa Rancamanyar dalam tahapan identifikasi tersebut, terjadi karena adanya Pelatihan Mandiri serta Kajian Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.

“Di kehidupan sehari-hari itu kekeringan, panas yang berlebih. Kalau misalkan airnya mulai surut, kita harus menunggu beberapa menit sampai beberapa jam untuk airnya muncul lagi,” jelasnya.

Chandra pun menyoroti kondisi lingkungan di desanya yang sudah sangat jarang ditemukan pohon. Di desanya, saat ini sedang hangat pembangunan perumahan yang secara otomatis menggerus lahan, menghilangkan pepohonan, sehingga memperparah kejadian bencana. Saat basah menjadi sangat basah dan saat kering menjadi sangat kering.

“Saya pengin masyarakat melek dengan ini (tidak ada pohon) dan mereka sadar kita butuh pohon. Tidak perlu penanaman pohon di lahan luas, minimal 1 pohon di rumahnya,” ajaknya. 

Sementara itu, Mia Citra Resmini, salah seorang Kader Desa Rancamanyar, menjelaskan tentang dampak-dampak yang dirasakan masyarakat akibat bencana yang disebabkan perubahan iklim.

“Dampaknya akses jalan terhambat. Mau pergi kerja, mau pergi antar sekolah, jadi terhambat karena akses jalannya terkena bencana (banjir, luapan air dari parit),” jelas Mia.

“Kekeringan seperti sekarang menyebabkan banyak petani yang biasanya di sawah, karena sawahnya kering, beralih mata pencaharian. Ada yang berkebun dan lain-lain,” lanjutnya.

Ke depannya, program akan berlanjut dari identifikasi menuju penyusunan dokumen kajian risiko bencana. Dokumen ini akan digunakan sebagai acuan rencana adaptasi perubahan iklim.  

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan lebih lanjut tentang Krisis Iklim

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//