• Opini
  • Merangkul Perdamaian Berkelanjutan Melalui Kearifan Lokal

Merangkul Perdamaian Berkelanjutan Melalui Kearifan Lokal

Di era globalisasi ini sering kali kearifan lokal terabaikan atau dianggap kurang penting dalam upaya mencapai perdamaian berkelanjutan.

Yohanes Candra Sekar Bayu Putra Amuna

STFT Widya Sasana, Malang

Seorang anak sedang menyusuri brandgang di Gang Sauyunan RW02 Kelurahan Gempolsari Kota Bandung yang kini terlihat cantik dengan lukisan-lukisan bertema perdamaian. (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

18 Desember 2023


BandungBergerak.id – Saat ini Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman sedang dihadapkan pada tantangan besar dalam mencapai perdamaian 9 yang berkelanjutan. Berdasarkan laporan Global Peace Index (GPI) 2023 yang dirilis oleh Institute for Economics and Peace (IEP), indeks perdamaian Indonesia terus mengalami kemerosotan. Dengan skor GPI 1.829, Indonesia menempati peringkat enam kawasan Asia Tenggara. Sedangkan untuk skala global, Indonesia mengalami penurunan enam peringkat dari peringkat ke-47 menjadi peringkat ke- 53 dari 163 negara (IEP, 2023).

Kemerosotan ini mengindikasikan bahwa akhir-akhir ini bangsa kita memang tidak cukup damai. Ada banyak indikator yang dapat dijadikan tolak ukur seperti aksi demonstrasi, terorisme, peningkatan angka kriminal di beberapa daerah hingga ketidakstabilan politik nasional. Keprihatinan akan situasi tersebut menggugah saya untuk menelisik nilai-nilai dalam kearifan lokal sebagai jalan mengupayakan perdamaian berkelanjutan.

Tulisan ini menawarkan cara pandang yang holistik dan relevan terhadap kearifan lokal yang ada di Indonesia. Pendekatan dalam tulisan ini mendasarkan diri pada kebijaksanaan budaya, tradisi, dan nilai-nilai lokal yang terinternalisasi dalam masyarakat sebagai potensi besar untuk mencapai dan memelihara perdamaian yang berkelanjutan.

Kearifan Lokal dan Perdamaian Berkelanjutan

Di era globalisasi ini, sering kali kearifan lokal terabaikan atau dianggap kurang penting dalam upaya mencapai perdamaian berkelanjutan. Hal ini dipicu oleh peningkatan dominasi budaya global yang sering kali mengakibatkan penurunan nilai dan penghargaan terhadap kearifan lokal. Budaya global yang cenderung mendominasi nilai-nilai lokal mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap kearifan lokal yang sebenarnya sangat kaya akan pengetahuan dan solusi yang relevan.

Di tingkat nasional, kearifan lokal kurang mendapat pengakuan yang layak dalam proses pembuatan kebijakan, perdamaian, dan pembangunan. Misalnya, eksploitasi sumber daya alam (SDA) tanpa mengindahkan budaya dan kearifan lokal masyarakat yang hidup di sekitarnya. Ini membuat masyarakat setempat merasa kurang dihargai sehingga kurang termotivasi untuk terlibat dalam upaya perdamaian berkelanjutan.

Padahal jika ditinjau secara mendalam, kearifan lokal itu sendiri merujuk pada pengetahuan, nilai, tradisi, dan praktik yang ada dalam masyarakat setempat. Kearifan lokal mencakup beragam aspek kehidupan, mulai dari tradisi spiritual, kearifan tradisional dalam menyelesaikan konflik, hingga pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan (Sulistyaningrum, 2017). Salah satu kekuatan utama kearifan lokal adalah kemampuannya untuk menyatukan masyarakat dalam memecahkan masalah yang dihadapi secara kolektif.

Misalnya dalam masyarakat adat Bugis-Makassar ada pandangan hidup tentang Silmah. Konsep Silmah mengandung arti harmoni, keseimbangan, serta 10 keselarasan antara individu dengan alam, sesama manusia, dan Tuhan (Bajimale, 2019). Silmah mencakup pemahaman yang mendalam tentang keselarasan dalam berbagai aspek kehidupan. Ini melibatkan keselarasan dalam hubungan sosial, ekologi, spiritualitas, serta harmoni dengan alam sekitar (Hasanuddin, 2003). Konsep ini juga mencakup aspek penting seperti hubungan antarindividu, keberadaan manusia di bumi, serta keseimbangan antara manusia dengan alam lingkungan.

Dalam konteks sosial, Silmah menekankan pentingnya kerja sama, saling pengertian, serta keterlibatan aktif dalam memelihara perdamaian dan harmoni dalam masyarakat (Bajimale, 2019; Hasanuddin, 2003). Konsep ini menggarisbawahi pentingnya toleransi, menghormati perbedaan, serta penyelesaian konflik dengan damai untuk menjaga keseimbangan sosial. Di sisi spiritual, Silmah memperkuat nilai-nilai keagamaan, menekankan rasa hormat dan ketaatan terhadap Tuhan, serta keselarasan dengan nilai-nilai agama yang diyakini masyarakat (Hasanuddin, 2003).

Dalam masyarakat adat Bali, ada juga pandangan demikian yang dituangkan dalam konsep Tri Hita Karana (tiga prinsip atau sumber kebahagiaan). Pandangan ini menekankan keseimbangan dan harmoni antara tiga aspek utama dalam kehidupan manusia, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan alam (Subandhu, 2008). Konsep Tri Hita Karana secara keseluruhan menekankan pentingnya keseimbangan dan harmoni antara tiga aspek ini untuk mencapai kehidupan yang seimbang, harmonis, dan bahagia. Tri Hita Karana mempengaruhi banyak aspek budaya Bali termasuk dalam kehidupan sehari-hari, ritual keagamaan, tata ruang, dan tradisi-tradisi adat.

Di budaya lainnya seperti masyarakat adat Jawa ada pandangan mengenai Sukma Dewa (Jiwa Dewa). Pandangan ini merupakan bagian dari kepercayaan dan mitologi Jawa yang mengacu pada aspek spiritual yang terkait dengan keberadaan manusia. Menurut keyakinan Jawa, setiap individu memiliki Sukma Dewa yang merupakan jiwa yang lebih tinggi atau aspek spiritual yang terhubung dengan alam semesta dan sumber keberadaan (Hasan, 2018). Sukma Dewa dianggap sebagai bagian dari esensi yang lebih dalam dari setiap individu. Konsep ini sering dihubungkan dengan keberadaan manusia yang lebih luas dan hubungannya dengan alam semesta.

Lebih jauh lagi ada konsep Mok lem Nem yang berasal dari budaya masyarakat suku Dani di Papua. Konsep ini memiliki makna yang mendalam dalam konteks keharmonisan sosial. Mok lem Nem menekankan pentingnya perdamaian, toleransi, dan kesepakatan di antara masyarakat untuk menghindari konflik (Rumbiak, 2015). Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya musyawarah, konsensus, serta kesediaan untuk menyelesaikan perbedaan dengan damai dan tanpa kekerasan.

Mok Iem Nem mengandung pesan mendalam tentang pentingnya menjaga ketentraman, kedamaian, serta keselarasan dalam interaksi sosial guna menciptakan lingkungan yang aman, sejahtera, dan damai bagi semua anggota masyarakat (Rumbiak, 2015). Konsep ini juga mengacu pada prinsip saling menghormati dan menghargai, serta mengutamakan keharmonisan hubungan sosial antarindividu dan kelompok dalam masyarakat.

Contoh-contoh tersebut tidak hanya mencerminkan warisan budaya Indonesia yang kaya tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi pembangunan masyarakat yang damai dan berkelanjutan. Sampai pada tahap ini, kita dapat berasumsi bahwa kearifan lokal memiliki peran yang krusial dalam membangun fondasi perdamaian yang berkelanjutan karena dapat menyediakan kerangka kerja yang relevan dengan budaya dan konteks lokal. Penghormatan dan penerapan kearifan lokal dapat menjadi kunci untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan di tengah keragaman budaya dan konflik yang ada di dunia ini.

Baca Juga: Masyarakat Lokal Diharapkan Terus Mempertahankan Hubungan Baiknya dengan Alam
Merawat Tradisi Ngadulag, Mengokohkan Harmoni Islam dan Kearifan Lokal
Melestarikan Bahasa Ibu Mencegah Punahnya Kearifan Lokal

Langkah-langkah Aplikatif

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa kearifan lokal suatu daerah dapat menjadi sumber daya yang sangat berharga dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Kearifan lokal membantu memelihara identitas budaya suatu kelompok masyarakat. Dengan menghargai budaya dan tradisi lokal, akan tercipta rasa hormat yang lebih besar antara komunitas yang berbeda, yang dapat menjadi dasar bagi kerja sama yang harmonis. Berikut adalah beberapa langkah aplikatif untuk membangun perdamaian berkelanjutan melalui kearifan lokal:

Pertama, penguatan pendidikan nilai-nilai lokal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mardinal Tarigan atas filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara dikemukakan bahwa “hakikat pendidikan adalah usaha memasukkan nilai-nilai budaya ke dalam diri anak sehingga membentuknya menjadi manusia yang utuh baik jiwa dan rohaninya” (Tarigan et al., 2022). Pendidikan yang sejati bukan hanya untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi untuk membuat pikiran manusia menjadi lebih luas, lebih tajam, dan lebih baik.

Oleh karena itu dalam usaha mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan, setiap elemen masyarakat perlu mendorong pendidikan yang lebih mendalam mengenai nilai-nilai budaya dan kearifan lokal di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah. Pemerintah perlu memperkuat pendidikan untuk perdamaian di sekolah- sekolah tingkat dasar dan menengah dengan mengintegrasikan mata pelajaran tentang toleransi, dialog antarbudaya, dan penyelesaian konflik secara damai ke dalam kurikulum.

Meskipun terdapat kearifan lokal yang kaya dan beragam di Indonesia, kurangnya integrasi kearifan lokal dalam kurikulum pendidikan nasional dapat menyebabkan pengetahuan dan nilai-nilai tradisional kurang disampaikan kepada generasi muda. Hal ini dapat mengancam keberlanjutan budaya dan pengetahuan lokal. Maka integrasi kearifan lokal dalam kurikulum pendidikan menjadi sangat penting dalam usaha membentuk generasi yang memiliki pemahaman mendalam tentang perdamaian dan toleransi.

Kedua, promosi dialog antarbudaya. Dalam konteks global, dialog antarbudaya menjadi sarana yang efektif untuk membangun pengertian, sikap saling menghormati, dan menghargai keberagaman. Misalnya European Dialogue Forum for Youth Work yang telah berhasil menghubungkan kaum muda dari berbagai latar belakang budaya dan agama di Eropa untuk berdialog, berbagi pengalaman, dan merancang proyek bersama untuk meningkatkan pemahaman antarbudaya.

Program semacam ini menunjukkan bagaimana dialog antarbudaya bisa. menjadi sarana yang efektif untuk membangun keselarasan, memperkuat kerja sama, dan mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan di berbagai tingkatan. Melalui dialog yang menghargai beragam sudut pandang dan pengalaman, masyarakat dapat membangun pengertian bersama tentang nilai-nilai keadilan dan memperkuat kerangka kerja yang mempromosikan perdamaian.

Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat dilakukan dengan mendukung kegiatan budaya yang inklusif dan memperkuat kerja sama antarsuku dan agama. Kita dapat mengusahakan forum-forum dialog antarbudaya dengan tujuan memahami lebih dalam beragam tradisi dan kearifan lokal yang ada di Indonesia. Langkah ini memungkinkan individu atau kelompok untuk memahami dan menghargai perbedaan budaya, agama, tradisi, dan nilai-nilai yang ada di antara masyarakat.

Ketiga, pemberdayaan komunitas lokal. Langkah ini memiliki peran krusial dalam mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan. Ketika komunitas lokal diberdayakan, mereka dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan di lingkungan mereka. Pemberdayaan ini akan mendorong rasa memiliki yang dapat memperkuat kepercayaan antarkomunitas dengan pemerintah. Pihak yang berwenang perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat setempat untuk mengambil peran aktif dalam pengambilan keputusan, mengembangkan keterampilan, serta membangun kemandirian.

Contoh konkret dari penerapan langkah ini adalah melalui pendirian koperasi dan organisasi nirlaba yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, serta program pelatihan dan pendidikan yang menyediakan akses yang setara bagi semua lapisan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat melalui langkah ini akan membantu mengurangi ketimpangan sosial yang seringkali menjadi pemicu ketegangan dan konflik.

Kesimpulan

Kearifan lokal umumnya merepresentasikan nilai-nilai kesetiakawanan, toleransi, dan kerja sama yang menjadi landasan kuat bagi perdamaian berkelanjutan di tengah masyarakat yang heterogen. Kearifan ini bisa menjadi modal penting dalam membangun kehidupan berdampingan yang damai. Kita dapat memanfaatkan kearifan lokal di daerah kita masing-masing untuk membangun dialog, menciptakan pelbagai kegiatan kolaboratif, serta membangun kepercayaan di antara komunitas yang berbeda.

Upaya merangkul perdamaian berkelanjutan memerlukan komitmen bersama dari berbagai lapisan masyarakat, baik dari segi kebijakan, pendidikan, maupun penghayatan nilai-nilai lokal. Langkah-langkah aplikatif yang terfokus pada. penguatan nilai-nilai lokal melalui pendidikan, promosi dialog antarbudaya, serta pemberdayaan komunitas lokal diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam menjaga dan memperkuat perdamaian di Indonesia.

* Artikel ini merupakan salah satu pemenang kategori Good pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//