• Opini
  • Merawat Tradisi Ngadulag, Mengokohkan Harmoni Islam dan Kearifan Lokal

Merawat Tradisi Ngadulag, Mengokohkan Harmoni Islam dan Kearifan Lokal

Kohkol dan bedug memiliki peran penting bagi masyarakat perdesaan, khususnya di kawasan tatar Sunda. Apalagi kohkol dan bedug terletak di masjid.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Karikatur tradisi ngadulag pada saat lebaran di masyarakat Priangan tempo dulu. (Sumber: buku Ramadhan di Priangan, Haryoto Kunto)

10 Mei 2022


BandungBergerak.idRasanya tak afdol bila malam takbiran (Idul Fitri, Idul Adha) tanpa bedug, ngadulag di mesjid (keliling kampung, Desa, Kota). Pasalnya, aktivitas ngabedug membuat anak-anak, kaula muda gembira, saling membantu, membangun kebersamaan (gotong royong), hingga menjadi penanda kuatnya harmonisasi Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal.

Walhasil, saat tiba lebaran, mulai dari sahur, dilanjut setelah salat Subuh, Duhur, Ashar, Magrib, Isya, malam takbiran, hingga selesai salat Idul Fitri terus dilakukan aktivitas ngadulag sebagai tanda meraih kemenangan atas sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.

Hikayat Bedug

Ingat, tradisi ngabedug bukan asli dari ajaran Islam melainkan hasil perpaduan (akulturasi) budaya Tionghoa (Budha) dengan agama Islam di Indonesia. Uniknya, dahulu kegiatan menabuh bedug dipakai oleh umat Budha sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Ini dibenarkah oleh Guru Besar Antropologi Budaya UGM, Heddy Shri Ahimsa-Putra, yang menjelaskan fungsi dari bedug dipakai umat Budha untuk memanggil orang-orang agar berkumpul.

Perilaku ini bisa kita jumpai pada saat berkunjung ke vihara (tempat beribadah umat Budha) ketika berkunjung ke negara di Asia Tenggara (Myanmar, Thailand, Laos dan Vietnam) pengelola vihara pasti akan memukul bedug beberapa saat menjelang waktu beribadah.

Dalam laman Perpustakaan Nasional, bedug pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tiongkok di bawah komando Cheng Ho. Pada tahun 1405-1433, Cheng Ho dan pasukannya singgah ke Indonesia membawa budaya dan tradisi dari leluhurnya. Yakni memukul bedug untuk mempersiapkan barisan tentara.

Suara bedug itu rupanya menarik perhatian penguasa Jawa pada kala itu dan meminta alunan suara bedug diperdengarkan di masjid sebagai penanda sebelum memulai ibadah. (CNN Indonesia, Rabu, 12 Mei 2021 11:41 WIB)

Bila bedug berasal dari tradisi drum di China yang menyebar ke Asia Timur, masuk ke nusantara. Bila ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali  (pasak) untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa, mirip pada cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur (Jepang, China, Korea).

Adanya penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan yang menunjukkan arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya Timur Tengah. Kemungkinannya itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang China muslim di ibu kota Majapahit.

Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit beragama Islam yang diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat China muslim.

Dengan demikian, bedug merupakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon), yang secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik nusantara dengan wadistra sejenis dari luar seperti India, China, dan Timur Tengah.

Dalam bukunya D’eerste Boek Cornelis De Houtman mencatat dan menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas sejak abd ke-16. Ketika ekspedisinya memasuki Banten, Houtman mengisahkan di tiap perempatan jalan ditemukan gendering yang digantung dan ditabuh dengan tongkat pemukul yang disediakan. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.

Bedug memang sudah pada masa itu yang berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda waktu seperti perang, bencana alam, pengumuman yang mendesak dan dibunyikan untuk menandai tibanya waktu salat.

Eksistensi bedug semakin kokoh saat penggunaan bedug dan kentongan dikukuhkan pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Kalimanatan Selatan tahun 1936. Pemakaian kedua alat ini sangat diperlukan di masjid-masjid untuk memperbesar syiar Islam. (Alif, Senin, 14 Oktober 2019).

Kini, tradisi ngabedug mulai ditinggalkan, tergerus zaman, digantikan dengan teknologi pengeras suara (toa masjid). Ihwal bedug dan kohkol yang kini mulai dilupakan orang, sebenarnya merupakan perlengkapan penting bagi sebuah mesjid tradisional di Jawa.

Dalam buku Dr. D.A. Rinkes De Heiligen Van Java (1912) diceritakan bahwa Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Sunan Pandan Arang (Bupati Semarang) agar membuat bedug dan kentongan (Sunda Kohkol) untuk memanggil penduduk agar ikut berjamaah di mesjid (surau).

Menurut dialek Jawa, beduk berbunyi deng..deng..deng yang merupakan kependekan suku kata Jawa medheng artinya dalam bahasa Indonesia muat (penuh), sedangkan kentongan berbunyi thong..thong..thong.. kependekan kata Jawa kothong (kosong).

Dengan kata lain kentongan menandakan masjid (langgar) masih kosong, belum ada orang, masih muat menampung para jamaah. Tak terbayangkan betapa sunyinya malam takbiran tanpa kehadiran bunyi bedug dan kohkol (Haryoto Kunto,1996:5).

Menurut Prof. Asep S. Muhtadi, Guru Besar UIN Bandung kohkol dan bedug, merupakan media komunikasi tradisional masyarakat muslim perdesaan.

Ketika bedug ditabuh dalam tradisi ngadulag ia memiliki makna tersendiri. Ngadulag adalah tradisi menabuh bedug secara terus menerus dengan nada yang diatur tersendiri. Biasanya, ngadulag dilakukan pada saat Idul Fitri, Idul Adha. Selama bulan Ramadan ngadulag kerap kali dilakukan menjelang makan sahur untuk membangunkan masyarakat yang masih tidur dan sesudah salat tarawih.

Cerita pendek Dulag Nalaktak karya Usep Romli (2005) menggambarkan ketatnya etika dan aturan menabuh bedug. Bedug tidak ditabuh dengan nada sembarangan karena bunyinya memiliki pesan komunikasi tersendiri.

Masyarakat muslim perdesaan umumnya memahami pesan-pesan dimaksud. Mereka memperoleh pengetahuan tentang makna pesan itu dari orang tua (para leluhur) yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. 

Kohkol dan bedug memiliki peran penting bagi masyarakat perdesaan, khususnya di kawasan tatar Sunda. Apalagi kohkol dan bedug terletak di masjid, sehingga masjid menjadi sangat sentral dalam kehidupan mereka, bahkan kohkol dan bedug yang posisi dan fungsinya saling melengkapi itu merupakan simbol keagamaan yang memiliki peran sosial yang amat strategis.

Masyarakat desa percaya kalau bunyi kohkol itu mengisyaratkan informasi tertentu sesuai dengan jumlah bunyi dan cara irama pukulannya. Kohkol dan bedug berfungsi bukan hanya memberi tahu waktu salat, tapi juga menjadi saluran informasi kematian, kebakaran dan berbagai informasi penting lainnya.

Cerita pendek berjudul Bedug karya Yours Hamdan (2006) menggambarkan kedekatan (ketergantungan) masyarakat terhadap bedug karena fungsi sentralnya yang belum tergeser media modern sekalipun. Seorang modin (muadzin, petugas khusus azan) tidak berani mengumandangkan azan, jika belum memukul bedug, meskipun telah masuk waktu salat.

Selain setiap datang waktu salat, bedug ditabuh lebih sering pada bulan Ramadan dalam nuansa irama yang khas dengan nada beraturan membentuk musik tradisional.

Karena keinginan itu pula menabuh bedug bulan Ramadan ini menjadi sarana hiburan, terutama ketika selesai melaksanakan salat tarawih. Tradisi ngadulag ini sangat diminati masyarakat muslim perdesaan, khususnya anak-anak dan remaja (Julia Millie dan Dede Syarif (editor), 2015:117-123).

Baca Juga: Pengobatan Paha Robek dan Lengan Buntung ala Priangan Abad ke-19
Semangat Penerbit Buku Pemikiran Islam di Kota Bandung
NGULIK BANDUNG: Lebaran di Zaman Kolonial

Ragam Ngadulag

Ngadulag berasal dari tradisi akar rumput masyarakat desa di wilayah Jawa Barat untuk memeriahkan malam-malam bulan Ramadan. Lambat laun, tradisi ngadulag terus berkembang untuk memeriahkan malam takbiran dengan diiringi dentuman meriam karbit dari bambu (lorong) yang dibunyikan oleh remaja setempat.

Tradisi ngadulag memiliki arti tertentu dari setiap ketukannya. R.A. Danadibrata (2006:177) dan Rachmatullah Ading Affandie (RAF) (1984:50) menyebutkan beberapa jenis penanda dalam tradisi membanggakan itu.

Dulag kuramas, yakni pola menabuh bedug untuk memberikan tanda berkeramas. Biasanya pola ini akan dibunyikan pada satu hari jelang Ramadan, untuk mengajak warga setempat mensucikan diri dengan berkeramas sebelum melakukan puasa di esok hari.

Dulag jaman, yang ditandai dengan dibunyikan saat masuknya waktu sahur. Biasanya sang penabuh di masjid setempat akan menabuhnya pada pukul 02.00 selama sekitar sepuluh menit. Selama waktu itu, dulag dipukul secara perlahan-lahan, berhenti beberapa menit, kemudian dibunyikan lagi secara perlahan, kemudian berhenti lagi sampai pukul 03.00 WIB.

Dulag taraweh dan dulag tadarus, yang menandai masuknya waktu salat tarawih dan tadarus Alquran. Dulag fitrah (dulag lilikuran), yang menandakan masuknya malem lilikuran (hari ke-21 Ramadan hingga 1 Syawal).

Biasanya, dulag ini dilakukan untuk memberikan aba-aba dimulainya masa pembayaran zakat fitrah. Danadibrata dan Rachmatullah menegaskan pola ketukan dari masing-masing ngadulag memiliki pola yang berbeda, sehingga akan menjadi ciri khas di masing-masing waktu tersebut (Merdeka Jabar, Rabu, 12 Mei 2021 07:07:00 WIB).

Ngadulag artinya menabuh bedug dengan berirama dulag. Penabuhnya penduduk sekitar masjid, mulai dari anak-anak hingga orang tua-dewasa (Ajip Rosidi 2000:109). Ngadulag bisa disebut sebagai proses pembumian Islam di Tatar Sunda dan Indonesia pada umumnya, karena di daerah asal Islam tidak ditemukan bedug dan kohkol (PK PII Jabar, 2006:208).

Hadirnya tradisi ngadulag malam takbiran (selama Ramadan saat kuramas, sahur, taraweh, tadarus) bukan hanya sekedar merawat ingatan ini harus menjadi ikhtiar bersama untuk menjaga, memelihara, melestarikan tradisi (kearifan lokal) dengan khazanah Islam.

Mudah-mudahan dengan adanya pendekatan budaya (tradisi, kearifan lokal) ini semakin mengokohkan proses akulturasi (khazanah lokal dan Islam) yang diharapkan dapat melahirkan  nuansa (wajah) keagamaan religius, keguyuban, dan harmoni. Semoga.      

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//