• Kolom
  • SURAT DARI TAIWAN #3: Bau Parutan Keju, Cimahi, dan Lebaran di Negeri Orang

SURAT DARI TAIWAN #3: Bau Parutan Keju, Cimahi, dan Lebaran di Negeri Orang

Keindahan Lebaran dirasakan bukan berdasarkan di mana kami merayakannya, tapi bagaimana kami menikmatinya. Dan Lebaran tahun ini pun tidak seburuk yang kami duga.

Irfan Muhammad

Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990

Suasana Salat Id di Kota Hsinchu, Taiwan, Senin (2/5/2022). Para Muslim dari berbagai negara berkumpul merayakan momen Idul Fitri di perantauan. (Foto: Irfan Muhammad)

6 Mei 2022


BandungBergerak.id - Sejak menjadi wartawan, jujur saja saya merasakan momen lebaran secara berbeda. Lebaran tidak lagi tentang deretan kue kering di meja, berebut kamar mandi karena bersiap salat Id sedari subuh, atau salam-salaman dengan keluarga. Meski saya tetap menikmati semua itu di hari yang sama, tetapi seringkali saya harus bekerja lebih dulu. Berangkat lebih pagi, mewawancarai narasumber, mengetik, baru kemudian pulang untuk menikmati lebaran.

Bukan tidak memaknai kesakralannya, tetapi mungkin saya punya makna yang berbeda dari hari agung bagi umat Islam sedunia itu. Buat saya, apa yang saya lakukan lewat kerja-kerja jurnalistik dulu bisa jadi adalah cara meresapi kesakralan Lebaran meski mungkin dilakukan dengan jalan yang berbeda.

Kesakralan lebaran dalam konteks di paragraf pertama kembali saya rasakan setelah menikah. Namun tentu sebagai keluarga kecil kami pun punya kesibukan yang berbeda, yang lebih bernilai sebagai pengalaman baru buat saya ketimbang kenangan-kenangan masa kecil meskipun, karena pasangan saya juga seorang wartawan, kadang kami tak lepas juga dari rutinitas kerja liputan di momen Idul Fitri.

Lalu bagaimana dengan lebaran di Taiwan? Tentu ini adalah momen yang baru lagi buat saya. Jangankan untuk lebaran, —yang jumlah Muslim satu negaranya saja tak lebih dari tiga persen dari total jumlah penduduk— perhelatan Natal saja —dengan jumlah umat Kristiani yang cukup banyak—tidak dijadikan libur nasional di sini. Alhasil, saya menikmati lebaran tahun ini dengan suasana ‘hampa’.

Hingga H-1 Idul Fitri, saya masih bekerja. Dari pagi sampai tengah hari saja memang. Istirahat sebentar, lalu pergi dengan istri ke sejumlah titik ramai di kota Hsinchu, tempat kami tinggal, untuk berbelanja penganan dan mencari suasana. Inginnya sih mendapat kekhasan Lebaran di Indonesia yang ramai.

Namun tentu saja kami tidak mendapatkan itu. Tak ada takbiran bertalu-talu. Pengumuman ldul Fitri dari Chinese Muslim Association sebagai otoritas agama Islam di Taiwan saja baru sampai sekitar pukul 21.30 waktu sini. Sementara sejak pukul 19.00, ponsel sudah terus bergetar mendapat ucapan selamat Lebaran dari grup serta kolega-kolega di Indonesia. 

Hsinchu juga dirundung hujan sejak sore harinya dan itu berlanjut hingga malam hari ketika kami sudah tiba di rumah. Karena kasus Covid-19 di negeri ini sedang tinggi, satu per satu kota yang hendak menghelat Salat Id memilih membatalkan rencananya secara cukup mendadak.

Di Hsinchu, tidak ada pengumuman pembatalan, membuat beberapa Muslim dari kota lain yang Salat Id-nya dibatalkan seperti Taoyuan hendak datang ke kota ini. Namun toh kami tetap harap-harap cemas. Hujan yang tidak kunjung berhenti dan informasi pembatalan di sejumlah kota di Taiwan membuat kami gelisah tidak bisa merasakan kesakralan momen Lebaran.

Namun sejenak jika saya pikir ulang, meski mayoritas orang Taiwan tidak berpuasa dan merayakan Lebaran, toh saya ternyata tidak pernah benar-benar kehilangan momen kesakralannya. Justru di sinilah kenangan-kenangan Ramadan dan perayaan Idul Fitri di masa kecil muncul satu per satu, menciptakan rindu.

Baca Juga: SURAT DARI TAIWAN #2: Menjadi Muslim yang Minorita
SURAT DARI TAIWAN #1: Puasa Pertama di Negeri Formosa

Bau Parutan Keju

Pernah suatu hari, mungkin 10 hari sebelum Lebaran, chef di restoran Italia tempat saya bekerja paruh waktu meminta tolong saya memarut keju. Kejunya berupa bongkahan besar seperti keju bola yang biasa digunakan sebagai bahan dasar kue kering. Saya menyanggupinya, lalu mengambil parutan dan menyimpannya di atas panci besar yang akan menjadi wadah dari remahan keju yang saya parut.

Sekali dua kali, saya tarik ke depan dan ke belakang bongkahan keju yang sudah dipotong-potong segenggaman tangan hingga menghasilkan remah tadi. Blas! bau keju menyeruak menusuk hidung. Seketika di otak saya ada suara anak kecil merengek menolak puasa, demi mencicipi kue kering lebih dulu yang hendak dibuat Ibu jelang Lebaran. Ya, ini adalah ingatan tentang rumah, tentang Cimahi, tempat saya lahir dan tumbuh.

Ibu, yang berpulang di tengah amuk Covid-19 varian Delta tahun lalu, memang rajin membuat kue dan berbagai macam santapan setiap kali Lebaran tiba. Sejak sepekan sebelum puasa, biasanya rumah sudah ramai dengan suara mixer dan berbagai alat masak yang beradu satu sama lain. Wangi kue yang keluar dari oven mengepul memenuhi rumah yang ukurannya tidak terlalu besar juga.

Kalau sudah begini, biasanya satu per satu dari empat anaknya mulai beringsut mendekat. Ada saja keluhannya agar tidak berpuasa. Namun Ibu tegas, tidak membolehkan kami batal puasa. Kami tahan godaan itu sampai akhirnya waktu berbuka tiba, dan kami segera berebut kue kering yang sengaja dipisahkan untul dimakan lebih dulu.

Ah, mungkin yang paling dikenang oleh seorang anak dari sosok Ibu adalah memang makanan buatannya. Dalam satu momen, makanan itu menyisakan nikmat di kecap lidahmu, memenuhi tenggorokan dan juga perutmu, tetapi lebih dari itu, yang abadi, ia mengisi hatimu.

Tak terasa sudah setengah jam saya memarut enam atau tujuh bongkah keju sambil mengenang momen-momen jelang Lebaran di Cimahi, sambil menyesapi bau kejunya. Indah juga ternyata!

Lebaran di Taiwan juga tidak seburuk yang saya kira. Meski banyak hal tidak ada, tapi menikmatinya berdua saja dengan istri dan sesama Muslim di perantauan toh mengisi banyak kehampaan yang mulanya saya kira akan terasa menyedihkan. Enak sekali menghabiskan waktu sejenak tanpa memikirkan bahan bacaan dan tugas kuliah, memfokuskan diri dalam ritual peribadahan di hari Idul Fitri, serta makan bersama dengan sesama Muslim perantau di warung-warung Indonesia sekitar kota usai Salat Id.

Oh ya, di Hsinchu kebetulan Salat Id-nya dibagi menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama pukul 7.30 dengan khotbah Bahasa Indonesia dan Arab, gelombang kedua pukul 8.30 dengan khotbah Bahasa Indonesia dan Inggris, dan gelombang ketiga pukul 09.30 dengan khotbah Bahasa Indonesia saja. Saya dan istri mengambil salat gelombang pertama. Kami bersiap sejak subuh, menyantap sarapan dulu sebelum berangkat untuk kemudian mengambil bus dari dekat rumah ke Terminal Bus Hsinchu, tempat diselenggarakannya Salat Id.

Hujan yang tak reda sejak sore hari kemarin membuat kami salat di bawah rintiknya, beralas terpal tanpa atap, Namun, suasana tetap hangat oleh tegur sapa di antara sesama Muslim yang terlihat sudah berbondong-bondong di sekitaran alun-alun kota yang letaknya memang berdekatan dengan tempat Salat Id.

Selepas Salat Id, saya dan istri saling bergumam. Tampaknya keindahan Lebaran dirasakan bukan berdasarkan di mana kami merayakannya, tapi bagaimana kami menikmatinya. Dan Lebaran tahun ini pun tidak seburuk yang kami duga.  

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//