• Kolom
  • SURAT DARI TAIWAN #2: Menjadi Muslim yang Minoritas

SURAT DARI TAIWAN #2: Menjadi Muslim yang Minoritas

Di Taiwan, iman saya dihargai. Saya bisa leluasa mendirikan salat di taman-taman kota. Di restoran tempat bekerja, para pemilik menghormati saya sebagai Muslim.

Irfan Muhammad

Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990

Perempuan Muslim Indonesia berfoto di depan restoran milik Muslim Taiwan di Taipei. (Foto: Irfan Muhammad)

21 April 2022


BandungBergerak.id - Menjadi Muslim di negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim tentu punya kekhasannya sendiri. Tidak hanya di bulan Ramadan, tetapi juga di kehidupan sehari-hari. Itulah yang kami alami di Taiwan. Ada jurang budaya yang mesti diakali lewat negosiasi, dengan tetap berlandaskan pada prinsip.

Seorang teman yang sudah lebih lama tinggal di Taiwan melihat ada dua kecenderungan yang kerap ditemukan pada Muslim Indonesia yang telah lama tinggal di Taiwan. Mereka abai pada pagar-pagar agamanya, atau malah sebaliknya, menjadi lebih rigid dan cenderung eksklusif. Saya pribadi sih enggan mengasosiasikan diri dengan A atau B. Saya adalah saya yang berupaya luwes (bukan abai) dan tetap berupaya berbaur dengan masyarakat dan kultur lokal. Begitu yang saya pelajari dari dawuh-dawuh pemikir Islam progresif seperti Gus Dur.

Tetapi seluwes-luwesnya kita, menjadi Muslim di negara dengan mayoritas penduduk bukan Muslim tetap menuntut kita harus pandai-pandai berstrategi. Selain mungkin makanan halal yang sulit ditemukan, tempat salat saat kami beraktivitas di luar menjadi salah satu isu.

Meski di kota saya ada tiga musala dan tentu bisa salat dari rumah, seringkali sulit untuk menjangkau tempat-tempat itu. Jika kebetulan waktu salat masuk sebelum berangkat beraktivitas, tentu saya akan salat lebih dulu di rumah. Atau kalau keperluannya ke luar kota, Islam memperbolehkan kami menjamak. Namun, kalau kegiatannya masih di dalam kota, dan ada rujukan yang memperbolehkan untuk menggabung dua salat, tetap saja ada rasa masygul. Akhirnya saya harus bernegosiasi dengan situasi ini.

Saat jam istirahat kerja dan saya tidak mungkin kembali ke rumah, misalnya, (meski hal itu bisa saja dilakukan di Taiwan karena jarak tempuh dari satu tempat ke tempat lain yang relatif sangat berdejatan jika dibanding Indonesia), saya akan mencari lokasi alternatif untuk mendirikan salat. Di mana? Seringkali saya memilih taman.

Taman adalah sentral dari hiburan masyarakat Taiwan. Setiap akhir pekan, taman-taman kota yang luas-luas itu akan dipenuhi oleh keluarga yang piknik dan botram, dengan anak-anak kecil yang berlarian di lokasi permainan yang punya tanah lebih empuk untuk menghindari cedera saat bermain. Dengan taman yang hampir ada di setiap sudut kota, saya bisa salat di mana saja. Setidaknya itu yang saya lakukan sampai hari ini.

Lalu bagaimana pandangan masyarakat Taiwan?

Mereka cenderung tidak peduli. Belum pernah saya ditanya-tanya oleh warga lokal karena aktivitas salat saya di taman. Entah mungkin mereka berpikir saya sedang yoga, saya juga tidak tahu. Tetapi mereka tidak pernah ‘usil’.

Pernah sekali waktu saya dihampiri oleh seorang pria, mungkin berusia jelang setengah abad, dan ditanya tentang aktivitas salat saya. Ia mengaku penasaran. Dan saya jelaskan bahwa sebagai Muslim saya harus mendirikan salat lima hari sekali dan itu bisa dilakukan di mana pun selama saya yakin tempat itu bersih. Dari situ kami malah berbincang tentang banyak hal. Tentang preferensi agama orang Taiwan dan kegiatan kami sehari-hari. Di ujung perbincangan kami bertukar kontak LINE. Begitu mudah membuat pertemanan.

Saya memang tidak pernah punya pengalaman mengenakkan sebagai Muslim di Taiwan. Semoga seterusnya, Amin!

Di tempat kerja saya yang kedua, misalnya, sebuah restoran Cina Malaysia, si pemilik paham kalau saya tidak boleh bersinggungan dengan babi. Untuk itu, di hari pertama kerja dia memberi tahu saya tentang produk apa saja yang mengandung babi. Saya tidak pernah dibiarkan mendekat ke satu section khusus tempat menyiapkan menu babi, termasuk ke kulkas tempat penyimpanan dagingnya.

Jika tiba giliran saya mencuci piring, s pemilik restoran selalu mengingatkan saya untuk mengenakan sarung tangan. Saya berserah diri pada Tuhan atas khilaf yang mungkin terjadi, tetapi setidaknya saya dan pemilik telah melakukan ikhtiar panjang untuk menegosiasikan batas-batas di antara kami. Padahal, dia bisa saja memilih pekerja lain yang relatif tak mensyaratkan banyak pembatasan seperti saya yang nol persen di dapur dan nol persen kemampuan Mandarin.

Namun, si pemilik restoran sangat terbuka dengan perbedaan-perbedaan ini. Pada tahap ini, saya merasa keyakinan saya dihormati.

Pengalaman lain ada di Ramadan ini. Saya sudah pindah kerja. Kini di restoran fine dining Italia. Restoran ini buka mulai pukul 18.00 dan satu jam sebelumnya, kami, para pekerja dan chef pemiliknya, makan bersama di ruang tengah. Namun selama Ramadan saya baru bisa makan pukul 18.20-an. Ruang tengah restoran tentu sudah dipakai oleh para pelanggan, tapi sang chef yang seorang Taiwan dan seorang Italia tidak pernah membiarkan saya untuk makan di dapur. Dia menyediakan satu meja buat saya di ruang tengah restoran untuk makan paling tidak sampai pukul 19.00.

"This is for you. Enjoy your food here," kata si Chef Italia suatu waktu.

Sekali lagi, iman saya dihargai.

Para Muslimah Taiwan berkegiatan di Masjid Agung Taipei. Masjid pertama di Taiwan yang dibangun pada 1947 ini sekarang dikelola oleh Chinese Muslim Association. (Foto: Irfan Muhammad)
Para Muslimah Taiwan berkegiatan di Masjid Agung Taipei. Masjid pertama di Taiwan yang dibangun pada 1947 ini sekarang dikelola oleh Chinese Muslim Association. (Foto: Irfan Muhammad)

Baca Juga: SURAT DARI TAIWAN #1: Puasa Pertama di Negeri Formosa
Sepak Bola Tanpa Iming-iming Juara
Tragedi AACC 14 Tahun Lalu, masihkah Bandung Takut pada Musik Underground?

Islam di Taiwan

Meski termasuk minoritas, sebenarnya Islam bukan agama baru di Taiwan. Islam diyakini sudah masuk ke Pulau Formosa sejak abad ke-17 saat tentara dari provinsi pesisir Cina selatan Fujian menemani Koxinga dalam invasinya ke Taiwan untuk mengusir Belanda dari kota selatan Tainan pada tahun 1661 dan mendirikan Kerajaan Tungning di Taiwan. Ada juga yang mensinyalir Islam masuk lewat Laksamana Zheng He pada abad ke-15. Ini dikenal sebagai gelombang pertama migrasi Muslim ke Formosa.

Para imigran Muslim ini lantas menetap  di beberapa permukiman, seperti Lukang, Tamsui, dan lain-lain. Meski kini banyak keturunan mereka yang tak lagi memeluk Islam, tetapi di berapa kelompok, tradisi Islam masih dilakukan oleh mereka ketimbang tradisi Taoisme atau Konfusianisme yang banyak dianut oleh orang Taiwan dari etnis Han. Contohnya, memandikan dan membungkus jenazah dengan kain putih.

Banyak hal yang disebut menjadi sebab mengapa komunitas Muslim di Formosa tereduksi meski sudah datang sejak lama. Selain tidak adanya langkah Islamisasi dari para imigran, kolonialisme Jepang di pulau itu pada tahun 1895–1945 disebut menjadi salah satu sebab. Pada masa itu, Jepang menerapkan aturan diskriminatif yang membuat banyak orang Taiwan yang mengimani agama selain kepercayaan lokal memilih menjalankannya secara diam-diam.

Gelombang kedua migran Muslim terjadi selama Perang Saudara Tiongkok pada 1949 ketika sekitar 20.000 keluarga Muslim meninggalkan daratan Tiongkok dengan Pemerintah Nasionalis Kuomintang ke Taiwan. Banyak dari mereka adalah tentara dan pegawai pemerintah pada saat itu dan berasal dari provinsi-provinsi yang dikenal sebagai kantong komunitas Islam di Tiongkok seperti Yunnan, Xinjiang, Ningxia, Anhui, dan Gansu.

Pemukim Muslim Cina daratan pertama di Taiwan mendirikan masjid pertama Taiwan pada tahun 1947, Masjid Agung Taipei di Taipei. Masjid ini dikelola oleh Chinese Muslim Association. Selain masjid di Taipei, gelombang kedua migrasi Muslim dari Cina Daratan ke Taiwan diikuti dengan pendirian masjid-masjid lain di Taiwan, seperti Masjid Kaohsiung pada tahun 1949 di Kaohsiung, Masjid Kecil di Taipei pada tahun 1950, dan Masjid Taichung pada tahun 1951 di Taichung. Kemudian muncul juga masjid lain di Zhongli Taoyuan pada 1960-an.

Meskipun Islam bukan agama baru, banyak orang Taiwan yang awam. Pertanyaan sering dilontarkan oleh mereka pada saya yang Muslim. Soal puasa, misalnya, banyak yang khawatir saya akan sakit karena tidak boleh makan dan minum lebih dari 12 jam. Atau pertanyaan lain seperti, “Apakah Tuhan-mu tahu kalau misalnya kamu bandel, dengan coba-coba makan babi di Taiwan?”.

Mungkin terdengar konyol, tapi itulah waktunya kita menjelaskan keindahan-Nya, bukan?

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//