Masyarakat Lokal Diharapkan Terus Mempertahankan Hubungan Baiknya dengan Alam
Hubungan manusia dan alam bisa dibangun melalui ekosistem, pengetahuan lokal atau kearifan lokal. Isu kearifan lokal ini mencuat di Unpad dan Unpas.
Penulis Iman Herdiana29 Juli 2023
BandungBergerak.id - Masyarakat lokal memiliki keterikatan erat dengan ekosistem atau alamnya. Sebagai contoh masyarakat lokal Jawa Barat, yaitu masyarakat Sunda yang memiliki banyak pengetahuan tentang alam dan lingkungan. Pengetahuan ini sudah semestinya terus dipertahankan.
Guru Besar Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran (Unpad) Johan Iskandar menjelaskan, alam telah memberikan berbagai hal yang diperlukan masyarakat Sunda. Mulai dari oksigen, bahan pangan, hingga kebutuhan sehari-hari. Hal ini mendorong masyarakat Sunda memiliki hubungan yang erat dengan alam semesta.
“Hubungan orang Sunda dengan ekosistem kemudian membangun informasi ekosistem, pengetahuan lokal, atau kearifan lokal,” ungkap Johan Iskandar, dikutip dari laman Unpad, Sabtu (29/7/2023).
Johan menyampaikan hal tersebut saat menjadi pembicara pada Keurseus Budaya Sunda yang digelar Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Unpad secara daring, Rabu (26/7/2023).
Menurutnya, beberapa masyarakat Sunda masih memegang teguh berbagai pengetahuan lokal. Beberapa di antaranya di wilayah kampung adat. Berbeda dengan pengetahuan saintifik, penyebaran pengetahuan lokal dilakukan melalui lisan secara turun temurun antar generasi.
“Hal ini yang menyebabkan, meski masyarakat adat itu tidak sekolah, mereka punya ilmu lingkungan yang sifatnya disebarkan secara lisan antar generasi. Segala rupa soal lingkungan mereka tidak akan kalah dibandingkan dengan yang sekolah,” papar Johan.
Baca Juga: Kebangkitan Kembali Orang Sunda
Maestro Karawitan Sunda, Tan Deseng
Seberapa Penting, sih, Hak Masyarakat Adat di Mata Negara?
Pengetahuan lokal ini bersifat holistik, atau erat kaitannya dengan kepercayaan tertentu. Hal ini yang membedakan dengan pengetahuan saintifik yang dinilai kurang holistik karena tidak berkaitan dengan kepercayaan mana pun. Kendati demikian, kata Prof. Johan, pengetahuan lokal rentan hilang jika tidak disebarkan atau diturunkan ke generasi berikutnya.
“Misalnya jika pemegang pengetahuan itu meninggal dunia, maka tidak akan ada yang meneruskan ke generasi setelahnya,” imbuhnya.
Hal ini kemudian mendorong akademisi modern untuk menggabungkan pengetahuan lokal dengan saintifik. Diharapkan, penggabungan pengetahuan ini akan menjadikan berbagai sumber pengetahuan lokal tidak mudah punah.
Lebih lanjut Johan mengatakan, ada hubungan erat antara keberlanjutan lingkungan dengan keberlanjutan budaya dan bahasa lokal. Untuk itu, ia menegaskan bahwa untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan tidak cukup hanya dengan menjaga ekosistem. Prosesnya juga harus mempertahankan budaya dan bahasanya.
“Budaya dan bahasa lokal sangat diperlukan dalam perlindungan keanekaragaman hayati lokal. Kalau ingin melindungi biodiversitas, harus berinisiasi melindungi budaya dan bahasanya. Kalau bahasanya luntur, budayanya tergerus, akan susah kita mempertahankan lingkungannya,” pungkasnya.
Keberagaman Kearifan Lokal
Masih terkait budaya lokal, beberapa waktu lalu Universitas Pasundan (Unpas) menghelat Festival Komunikasi Budaya Kearifan Lokal dan Pameran Fotografi. Festival yang berlangsung 8-9 Juni 2023 di Aula Suradiredja, Kampus Lengkong, Bandung, ini diniatkan untuk menjaga eksistensi kearifan lokal (local wisdom) dan mengenal kebudayaan mancanegara. Budaya lokal dinilai sebagai kunci penting untuk menghargai keragaman budaya.
Festival tersebut sebagai proyek akhir mata kuliah Komunikasi Budaya Kearifan Lokal. Mahasiswa diwajibkan untuk menampilkan pertunjukan menarik yang mengangkat budaya lokal dan mancanegara, seperti fashion show, upacara adat, makanan khas, hingga speech contest.
Dosen pengampu mata kuliah yang juga Wakil Dekan II FISIP Unpas Yulia Segarwati menuturkan, kurang lebih 400 mahasiswa angkatan 2021 menampilkan 40 budaya, baik lokal maupun mancanegara, karena mahasiswa juga belajar komunikasi lintas budaya.
“Ini merupakan rangkaian Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dengan bobot 20 persen dari total penilaian (kehadiran, tugas, UTS, UAS). Budaya yang ditampilkan beragam, dari Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, sampai Maluku. Untuk mancanegara, lingkupnya benua Eropa dan Asia,” jelas, dikutip dari laman Unpas.
Antusias dan animo mahasiswa menambah semarak festival budaya tahunan ini. Mahasiswa tergabung dalam satu kelompok yang berisi 10 orang. Mereka tampak totalitas, terlihat dari pakaian yang dikenakan, hingga penampilan yang dibawakan.
Suguhan tari modern dan tradisional, drama musikal, lagu daerah, dan kesenian khas lainnya diapresiasi oleh dosen-dosen di lingkungan prodi Ilkom FISIP Unpas. Lima kelompok terbaik juga mendapatkan reward sebagai bentuk apresiasi.
“Kegiatan akademik tidak selalu di dalam kelas. Ilmu pengetahuan pun tidak melulu didapat melalui buku teks, teori, atau paparan dosen. Mahasiswa bebas berkreasi, namun kami tetap berikan TOR atau panduannya,” tambahnya.
Ia menambahkan, pengenalan budaya sebetulnya bisa juga dilakukan dengan kegiatan outing ke kampung adat atau daerah tertentu. Namun, pengetahuan yang diperoleh terbatas pada satu budaya saja.
“Menurut kami, festival budaya seperti inilah yang sejauh ini efektif, karena mencakup semuanya. Bukan hanya budaya lokal, tapi mancanegara. Kearifan lokal dan budaya global yang positif kami rasa perlu dibumikan lagi, minimal agar mereka mengenal, dan harapannya bisa melestarikan,” paparnya.
Sementara itu, Kaprodi Ilmu Komunikasi FISIP Unpas Dr. Rasman Sonjaya, M.Si. menyebut, festival budaya bukan sekadar implementasi mata kuliah, namun juga implementasi visi misi Unpas, khususnya dalam memelihara budaya.
“Kami berupaya menghadirkan proses pembelajaran yang variatif dan anti mainstream dan ini bisa jadi bagian dari learning to do, learning to be, dan learning to live together,” katanya.
Ditampilkannya budaya global diharapkan menjadi khasanah bagi mahasiswa untuk lebih pandai memilah dan memilih, jangan sampai terjerumus pada dampak negatif dari distribusi budaya global. “Tentunya dengan tetap mencintai keragaman budaya lokal,” lanjutnya.
“Kami ingin, mahasiswa Ilkom FISIP Unpas punya kecintaan terhadap local wisdom. Kegiatan ini tentu menjadi memori tersendiri, bahwa ternyata belajar di Unpas tidak hanya di kelas, tapi ada pengalaman lain yang menyentuh realitas. Begitu juga dengan visi misi, bukan cuma di atas kertas, tapi dibuktikan dalam aktivitas nyata,” tandasnya.