• Buku
  • BUKU BANDUNG #43: Kebangkitan Kembali Orang Sunda

BUKU BANDUNG #43: Kebangkitan Kembali Orang Sunda

Edi S Ekadjati memotret hubungan antara Paguyuban Pasundan dan Budi Utomo, baik sebagai dua organisasi yang saling bekerja sama maupun bersaing dan berkonflik.

Buku Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918, ditulis Edi S Ekadjat (Cetakakan: Agustus 2004). (Foto: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana19 Juni 2022


BandungBergerak.idJudul buku ini “Kebangkitan Kembali Orang Sunda”, dengan anak “Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918”. Sehingga ada dua tema besar yang menjadi bahasannya, yakni Sunda dan Paguyuban Pasundan, sebuah organisasi pergerakan nasional yang dibentuk pada awal abad ke-20 dan masih hidup hingga sekarang.

Penulisnya, Edi S Ekadjati, menyajikan informasi-informasi penting mengenai sejarah Sunda dan Paguyuban Pasundan. Namun khusus mengenai sejarah Sunda, penulis hanya menyinggungnya berdasarkan intisarinya saja. Sehingga membutuhkan referensi atau sumber lebih lanjut agar konteks sejarahnya mampu ditangkap secara utuh dan lengkap. Misalnya mengenai Kerajaan Sunda dan peradaban yang diwariskannya.

Namun mengenai informasi tentang Paguyuban Pasundan, buku ini memuat data yang cukup lengkap, disertai dengan foto-foto bangunan bersejarah, dokumen, dan para tokoh penting Paguyuban Pasundan.

Buku ini dibagi ke dalam empat bab, yakni bab pendahuluan hingga bab kesimpulan di bab empat. Pada bab pendahuluan, kita diajak menyelami latar belakang pendirian Paguyuban Pasundan yang didirikan oleh etnis Sunda yang bermukim di Batavia (Jakarta), Ibu Kota pemerintah Hindia Belanda (sekarang Indonesia).

Edi S Ekadjati menuturkan bahwa pada awal abad ke-20 di Indonesia sedang tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat pribumi, terutama di kalangan kaum terpelajar, akan kenyataan kehidupan bangsa mereka yang begitu memprihatinkan, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, maupun pendidikan.

Kondisi sosial tersebut sangat kontras bila dibandingkan dengan kesejahteraan hidup etnis asing, terutama etnis Belanda yang menjadi penguasa kolonial. Salah satu upaya memperbaiki kondisi memprihatinkan itu, maka para bumiputra yang dimotori kaum terpelajar memilih membentuk organisasi untuk menghimpun kekuatan dan kebersamaan di antara sesama mereka.

DK Ardiwinata, pendiri dan pengurus Paguyuban Pasundan, mengungkapkan situasi demikian pada tahun 1914, “Doepi tarekah-tarekah anoe bisa dilalampahkeun pikeun ngadjoegdjoeh bangsana, babakoena nja eta ngadamel pagoejoeban, ngadamel sarekat dagang, sareng sarekat-sarekat anoe sanes..., di tanah Hindia oge parantos nembean abdi-abdi mararitah bade noelad adat di nagara-nagara noe sanes tea babakoena ngadengekeun pagoejoeban sareng sarekat dagang.”

Awal abad 20 itu di Indonesia muncul berbagai organisasi kaum pribumi yang umumnya bercorak etnis, agama, dan dagang, seperti Budi Utomo, Rukun Minahasa, Paguyuban Pasundan, Kaum Betawi, Ambonsch Studiefonds berdasarkan etnis, Sarekat Dagang Islam berdasarkan ekonomi, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Perserikatan Kaum Kristen berdasarkan agama, Indische Partij, dan lain-lain.

Sejak Volksraad, lembaga perwakilan rakyat, dibentuk oleh pemerintah kolonial pada 1918, secara bertahap organiasi-organisasi itu berpaling perhatian dan kegiatannya ke arah dunia politik. Tuntutan mereka mula-mula menuntut dapat berpartisipasi di dalam pemerintahan, kemudian menutut kemerdekaan.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #39: Pernak-pernik Ramadan dalam Ingatan Haryoto Kunto
BUKU BANDUNG #41: Bandoeng Waktoe Itoe
BUKU BANDUNG #42: Komik Katumbiri Regenboog (Jilid I)

Hubungan Problematis Paguyuban Pasundan dan Budi Utomo

Edi S Ekadjati memotret hubungan antara organisasi Paguyuban Pasundan dan Budi Utomo. Disebutkan bahwa di antara organisasi-organisasi yang ada di Hindia Belanda, Budi Utomo mempunyai hubungan erat dengan orang Sunda dan Paguyuban Pasundan baik secara individual maupun kelembagaan.

Tetapi hubungan itu dalam artian sangat luas, termasuk hubungan yang bersifat negative yakni berupa hubungan persaingan, hubungan konflik maupun hubungan kerja sama.

“Soalnya, Budi Utomo dan Paguyuban Pasundan didirikan berdasarkan konsep yang sama, yaitu konsep etnis, bahasa, kebudayaan dan wilayah yang satu pihak isinya berbeda, tapi di pihak lain ruang dan maknanya tupang tindih,” tulis Edi S Ekadjati.

Edi S Ekadjati memaparkan, secara geografis lokasi tempat tinggal etnis Sunda dan etnis Jawa berdampingan, berada dalam satu pulau yang bernama pulau Jawa dan pulau tersebut berada dalam lingkungan geologis yang bernaam Kepulauan Sunda Besar.

Pada masa awal pendirian Budi Utomo banyak orang Sunda memasuki organisasi ini, karena keanggotaannya meliputi seluruh Pulau Jawa dan Pulau Madura dan orang Sunda pun menyambut gembira atas kelahiran organisasi ini. Akan tetapi karena dalam perkembangannya (sejak para siswa STOVIA lepas dari kepengurusannya, 1909), Budi Utomo cenderung mengutamakan orang bahasa dan kebudayaan Jawa, maka selanjutnya banyak orang Sunda yang tidak berkenan hatinya dan berhenti dari keanggotaan organisasi ini.

“Apalagi setelah Paguyuban Pasundan berdiri (1913), orang Sunda berduyun-duyun masuk menjadi anggota organisasi baru ini. Itulah sebabnya dari kalangan bukan orang Sunda sering menuduh bahwa orang Sunda mau memisahkan diri, anti dan akan menghancurkan Budi Utomo, egois, ingin segala sesuatu hanya untuk orang Sunda,” tulis Edi S Ekadjati.

Namun Edi mencatat fenomena menarik dari tokoh Sunda, R Oto Iskandar di Nata (kerap ditulis dengan nama Oto Iskandar Dinata). Disebutkan bahwa Oto adalah adalah orang Sunda yang bersekolah (Sekolah Guru) dan bekerja di daerah Jawa (Purworejo, Banjarnegara, Pekalongan), bahkan menikah dengan gadis Jawa.

Oto kelak (1929-1942) menjadi pemimpin dan tokoh utama Paguyuban Pasundan, tetapi ternyata sebelumnya pernah menjadi anggota dan pengurus cabang Budi Utomo di Banjarnegara, Bandung, dan Pekalongan serta berpolemik dengan pengurus Paguyuban Pasundan.

Di samping mengulas hubungan problematis antara Paguyuban Pasundan dan Budi Utomo, Edi S Ekadjati menarik benang merah persamaan yang bisa menyatukan kedua organisasi ini.

“Namun dalam menghadapi musuh bersama yaitu penguasa kolonial, kedua organiasi ini seiring sejalan dengan bekerja sama,” katanya.

Kedua organiasi, misalnya bekerja sama dalam forum-forum Commissie Radicale Concentratie (di Bandung, sejak 9 Desember 1918), Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Poitik Indonesia (PPPKI) di Bandung sejak 1927, dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta sejak 21 Mei 1939.

Pada BAB II yang bertajuk Jati Kasilih ku Junti, secara garis besar membahas sejarah Sunda dan punahnya peradabannya. Bab ini diawali dengan runtuhnya peradaban Sunda yang dibangun Kerajaan Sunda pada akhir abad ke-16 Masehi (1579) yang secara berangsur-angur melenyapkan identitas Sunda sebagai sebuah ideologi dalam segala untur kehidupan masyarakatnya.

Ideologi Sunda yang terbentuk selama sekitar 9 abad pada zaman kerajaan Sunda (awal abad ke-8 sampai menjelang akhir abad ke-16) yang berwujud aksara, bahasa, etika, adat istiadat (hukum), lembaha kemasyarakatan, kepercayaan dan lain-lain lambat laun tergerus dan terpinggirkan dengan masuknya ideologyibaru yang datang dari luar.

Edi S Ekadjati membeberkan ideologi-ideologi baru yang melenyapkan identitas Sunda warisan Kerajaan Sunda itu ialah, mula-mula sejak akhir abad ke-15 kebudayaan Islam datang dari arah pesisir utara (Cirebon, Banten), kemudian (sejak awal abad ke-17) kekuasaan dan kebudayaan Jawa (Mataram) menembus dari arah pedalaman timur, dan akhirnya (sejak pertengahan abad ke-17) kekuatan perdaangan, militer, dan diplomasi kompeni Belanda menguasai seluruh wilayah Tanah Sunda.

Pada BAB III, Edi S Ekadjati mengulas tentang kebangkitan kembali peradaban atau lebih tepatnya peninggalan Kerajaan Sunda. Disebutkan bahwa pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan munculnya kebudayaan Sunda, seperti pengajaran bahasa Sunda yang diikuti dengan percetakan buku-buku Sunda.

Perlu diketahui, akibat penjajahan oleh Mataram, berikut masuknya Islam, ke Tatar Sunda, peradaban peninggalan Kerajaan Sunda seperti tulisan, budaya, dan lain-lain banyak tergerus dan ditinggalkan. Misalnya, aksara Sunda digantikan aksara Jawa dan aksara Pegon (Arab).

Dampak dari kebijakan Belanda, sejak awal abad ke-20 para pemuda Sunda sudah mengalihkan minat bahan bacaan dan kehidupan budaya mereka dari yang berbahasa dan berbudaya Jawa kepada yang berbahasa dan berbudaya Sunda.

“Padahal sebelumya bacaan yang beraksara, berbahasa dan berbudaya Jawa merupakan ciri keterpelajaran dan peradaban seorang di lingkungan masyarakat Sunda,” ungkap Edi.

Pada bab ini juga disebutkan bahwa Paguyuban Pasundan memiliki peran penting dalam membangkitkan peradaban Sunda, sebagaimana disimpulkan pada BAB IV yang menyatakan bahwa lahirnya Paguyuban Pasundan telah memfungsikan kembali bahasa dan sastra Sunda.

Paguyuban Pasundan dinilai sebagai tonggak sejarah kebangkitan kembali eksistensi peranan orang Sunda di tengah lingkungan masyarakatnya sendiri dan masyarakat Hindia Belanda (Indonesia) yang multietnis dan multibudaya. Sejak itu orang Sunda sadar akan keberadaan dan posisi mereka dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia.

Informasi Buku

Judul: Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918

Penulis: Edi S Ekadjati

Penerbit: Pusat Studi Sunda bekerja sama dengan Kiblat

Cetakakan Agustus 2004

Halaman: 94 halaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//