BUKU BANDUNG #39: Pernak-pernik Ramadan dalam Ingatan Haryoto Kunto
Buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe) merekam suasana Ramadan di Bandung pada masa lalu. Dari tradisi kebut-kebutan hingga ngabuburit di Sungai Cikapundung.
Penulis Tri Joko Her Riadi18 April 2022
BandungBergerak.id - "Begitu tarawih dimulai, beberapa anak bengal menyusup ke kolong surau, tepat di bawah lantai palupuh, tempat imam berdiri. Lewat celah bambu, sebatang lidi ditusukkan pada telapak kaki imam yang memimpin salat, sehingga sang imam meliuk-liuk, menggeliat badan karena kegelian. Dan tentu saja, lafal bacaannya tersendat-sendat, salah tak keruan.”
Seperti itulah salah satu kenakalan anak-anak di masa ramadan di Kota Bandung. Surau yang terbuat dari dari bambu itu berada di Jalan Kebonkawung. Haryoto Kunto dalam bukunya Ramadhan di Priangan (Tempo Doele) mendeskripsikannya sebagai “surau wakaf ukuran kecil dengan model rumah panggung”. Nantinya, surau itu akan terus membesar menjadi sebuah masjid yang dinamai Asyukur.
Tak cukup menusukkan sebatang lidi, anak-anak di masa itu masih punya segudang kenakalan yang lain. Mereka bisa sewaktu-waktu melemparkan mercon tikus ke kolong surau itu, membuat semua orang yang sedang khusyuk bersembahyang. Di lain waktu, mereka membuat gempar kampung karena memindahkan salah seorang temannya yang tertidur pulas ke keranda mayat yang disimpan di belakang surau.
Kenakalan “setan-setan kecil” selama Ramadan ditemukan juga di Masjid Agung Bandung. Ada saja tingkah mereka. Mulai dari membuat sarung melorot, menyembunyikan ”panakol” atau kayu pemukul beduk, hingga mengacak pasangan sandal dan sepatu para pengunjung masjid.
“Dasar anak setan, bedul, ontohod, bangkawarah!” demikian orang-orang dewasa memuntahkan makian karena dipaksa mencari pasangan alas kakinya hingga larut malam.
Baca Juga: BUKU BANDUNG #38: Dari Yogyakarta ke Bandung, dari Romusa ke Revolusi
BUKU BANDUNG (37): Wajah Pudar Taman Lalu Lintas Kota Bandung
BUKU BANDUNG (36): Catatan Kekejaman Fasisme Jepang di Bandung Selatan
Rekaman Sosial
Buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doele), seperti juga buku-buku Haryoto Kunto yang lain, tersaji sebagai rentetan cerita yang enteng. Dalam buku setebal 114 halaman yang diterbitkan Granesia Bandung pada 1996 ini, banyak ditemukan kisah-kisah yang lahir semata mengandalkan ingatan sang penulis. Foto-foto yang dilampirkan, yang sebagian besar tidak dilengkapi dengan cukup informasi tentang sumbernya, tidak banyak membantu.
Meski banyak ditaburi cerita ringan yang ditulis berdasarkan ingatan atau penuturan lisan yang tentu bersifat sangat subjektif, bukan berarti isi buku ini kurang pentingnya. Kesaksian-kesaksian Haryoto Kunto adalah jendela bagi kita untuk melongok Bandung di masa lalu. Memoar yang dituliskan adalah juga rekaman sosial yang layak kita tengok.
Tentang kenakalan anak-anak di masa Ramadan, misalnya, Haryoto Kunto menuliskan juga permasalahan serius yang dihadapi warga Kota Bandung waktu itu, yakni kebiasaan kebut-kebutan. Menurut sang penulis, tradisi ngebut yang dikenal dengan isitilah “ngecot” ini mulai marak sejak awal 1970-an. Di malam takbiran, aparat disokong oleh beberapa elemen masyarakat lain, harus dikerahkan untuk menjaga keamanan.
“Malah di pertengahan tahun 1970-an itu, untuk menanggulangi pengebutan di malam Lebaran, terpaksa dikerahkan beberapa panzer milik kavaleri dan satuan pemadam kebakaran,” tulis Haryoto Kunto.
Suasana malam Lebaran menjadi mencekam. Di jalan-jalan di pusat kota, mulai dari kawasan Dago hingga Braga dan Asia-Afrika, orang-orang berkerumum memberikan sorakan bagi para pengebut.
Para petugas keamanan terpaksa memblokir jalan dengan puluhan drum dan olesan tumpahan oli. Petugas pemadam kebakaran menyemprotkan air, sementara polisi melepaskan tembakan peringatan ke udara. Seorang pengebut bernama Teten terkena peluru nyasar.
Menyaksikan fenomena seperti ini, Haryoto Kunto yakin bahwa tradisi balapan jalanan di Kota Bandung akan terus berulang.
Di bab “Ngabuburit Gaya Tempo Doeloe”, Haryoto Kunto menceritakan banyak kebiasaan anak-anak Bandung di selama Ramadan yang sebagiannya kini akan sulit ditemui lagi. Sungai Cikapundung yang “airnya masih sejuk, jernih bersih” menjadi salah satu titik favorit untuk menunggu jam berbuka puasa. Anak-anak mandi sepuasnya. Sesuatu yang tak terbayangkan sekarang!
Dari ingatan tentang mandi di Sungai Cikapundung, Haryoto Kunto bisa bercerita tentang permasalahan air bersih yang terus mendera warga Kota Bandung. Mulai dari wabah kolera di dasawarsa pertama abad ke-20 hingga pembuatan sumur-sumur bor oleh pemerintah kolonial di beberapa titik di pusat kota.
Turut disebut juga dalam buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe) ini dua lokasi wisata air yang jadi tujuan ngabuburit, yakni Situ Aksan dan Situ Bunjali atau Empang Cipaganti. Keduanya saat ini sudah tidak bisa ditemukan lagi.
Lokasi favorit ngabuburit yang lain? Stasiun kereta api, tentu saja! Di masa lalu, si ular besi masih begitu memikat di mata anak-anak. Sesuatu yang ajaib yang membuat ratusan anak-anak rela berdesakan menunggui kedatangan atau keberangkatannya.
“Bentuk dan gemuruh suara lokomotif yang mendengus, mengembuskan uap, api, dan asap betul-betul merupakan pesona yang fantastis bagi anak-anak!” tulis Haryoto Kunto.
Buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doele), yang saat ini sudah agak susah ditemukan di pasaran, terdiri dari tujuh bab. Selain cerita-cerita seputar ramadan di Kota Bandung, sang penulis juga mengisahkan secara ringkas beberapa kejadian di Garut bersumber kesaksian dari kedua orangtuanya. Sang ayah pernah bekerja sebagai Kepala Stasiun Cibatu, sementara sang ibu membuka kursus masak-memasak.
Informasi Buku
Judul : Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe)
Penulis : Haryoto Kunto
Penerbit : Penerbit Granesia, Bandung
Cetakan : I, 1996