• Buku
  • BUKU BANDUNG (36): Catatan Kekejaman Fasisme Jepang di Bandung Selatan

BUKU BANDUNG (36): Catatan Kekejaman Fasisme Jepang di Bandung Selatan

Sebelum masuk ke pembahasan Pemberontakan Peta di Cileunca, Pangalengan, buku ini menyajikan gerakan pembangkangan rakyat sipil.

Buku Pemberontakan Tentara Peta di Cileunca Pangalengan, Ahmad Mansur Suryanegara (Jakarta, 1996). (Sumber Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha6 Maret 2022


BandungBergerak.idSejarah mengajari kita banyak hal: begitu banyak peristiwa kelam yang sulit memasuki isi kepala orang. Barangkali karena dihalangi kuasa kepentingan. Terlebih jika pembahasan mengenai pemberontakan. Yang gaungnya terasa menggelegar ialah kisah pemberontakan kelas borjuasi Eropa yang menyerukan kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan. Kala itu, demi pembebasan umat manusia dari struktur sosial feodal yang menindas, kelas borjuasi Eropa berjuang memenggal kelas feodal melalui perang yang cukup panjang. Puncaknya, tatkala mereka menebas leher raja Louis XIV dan mendirikan parlemen.

Dalam historiografi penguasa kolonial, kaum pergerakan bumiputera di awal abad XX juga kerap dinyatakan sebagai pemberontak. Meski dalam pelajaran sejarah di sekolah formal hari ini tidak lagi demikian. Tapi apa yang dilakukan kaum pergerakan itu memang sebuah upaya memberontak lewat berbagai wahana pembebasannya. Mereka berupaya melepas rantai belenggu yang mencengkeram.

Ada banyak pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia. Sejak zaman feodal, hingga memasuki era masyarakat kapitalistik seperti sekarang. Jumlahnya lebih dari ratusan, dan banyak yang tidak tercatat dalam sejarah. Berangkat dari rasa penasaran itulah resensi dibuat. Kali ini saya mencoba mengulas buku yang mencatat pemberontakan di Bandung Selatan.

Akan tetapi, ada satu hal yang layak digarisbawahi dulu sebelumnya. Bahwa cukup banyak yang memiliki kecenderungan melihat peristiwa (pemberontakan) dalam kerangka benar-salah. Implikasinya, tentu bakal mereduksi persoalan menjadi dangkal.

Memang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemberontak artinya orang yang melawan atau menentang kekuasaan yang sah; pendurhaka; orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). Tapi dengan menggunakan perspektif benar-salah, merujuk beberapa kasus misal, dapat membuat pembahasan menjadi tidak proporsional.

Zen RS, dalam esainya Mencurigai Negara, menyatakan bahwa kekuasaan (negara) punya legitimasi, aparatus, infrastruktur dan segalanya untuk memutarbalikkan yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Langsung meloncat ke dalam kriteria benar-salah, dan berhenti hanya sampai di sana, adalah penalaran yang bisa bermasalah jika ditilik dari perspektif historis. Lebih lanjut, di dalamnya dinyatakan bahwa mulai dari Diponegoro, Sukarno, hingga Marsinah, semuanya berbuat salah jika ditakar dari kriteria benar-salah secara hukum.

Diponegoro jelas salah saat mencabut patok-patok pembangunan jalan di era kolonial. Begitu juga Marsinah. Dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, Kodim hingga Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, pada masanya, memandang tindakan perlawanan Marsinah, dkk., sebagai hal yang salah. Semua menganggap tindakan Kodim Sidoarjo yang memaksa buruh-buruh yang terlibat dalam demonstrasi untuk mengundurkan diri kala itu sebagai hal benar.

Bahkan Sukarno pun salah. Upayanya membangkitkan kesadaran nasional, terutama melalui metode penggalangan massa dan propaganda, jelas bukan tindakan yang benar dalam takaran benar-salah secara hukum. Dan ini sudah dibuktikan pengadilan Landraad di Bandung. Pada 1930, bersama tiga koleganya yang lain, Sukarno dinyatakan bersalah karena berniat menggulingkan pemerintahan yang sah.

Sekurang-kurangnya, dari nukilan tersebut kita bisa mengambil beberapa ibrah, atau pelajaran. Pertama, dan yang utama, meskipun kekuasaan —bersama segenap aparatusnya— berupaya sekuat tenaga untuk melemahkan pemberontakan, tapi fakta dan kebenaran bakal menemukan ruang untuk menyeruak ke permukaan. Kedua, adalah suatu kesalahan jika tidak menguji dan memeriksa keabsahannya di hadapan kenyataan aktual. Ketiga, dalam upaya menjauhkan diri dari kerangka benar-salah itulah membaca buku Pemberontakan Peta di Cileunca Pangalengan menjadi signifikan.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (33): Gedung Balai Kota Bandung dan Sekitarnya yang Berawal dari Kebun Kopi
BUKU BANDUNG (34): Keterpurukan Persib yang Terlihat Samar di Masa Silam
BUKU BANDUNG (35): Menjadi Wartawan Cilik di Koran Pikiran Rakyat

Proses Awal Pendaratan Jepang

Di bab awal bukunya kita diajak untuk memahami kondisi sosial-politik Jepang ratusan tahun silam. Di titik ini kita serasa disodorkan materi perkuliahan Sejarah Asia Timur (kawasan). Melaju ke bab dua, diuraikan awal mula Pendaratan Jepang. Bab dua ini sekilas juga membahas ihwal pembinaan teritorial balatentara Jepang di Indonesia.

Di dalamnya tercatat bahwa Jepang saat itu memilih wilayah yang memiliki sumber bahan mentah bagi Industri. Juga yang dapat menunjang kelangsungan perangnya. Di sini, secara singkat telah disinggung mengenai struktur wilayah Pangalengan yang hanya sebuah kecamatan. Daerah ini memiliki perkebunan teh yang hasilnya dapat dijual ke pasar dunia. Artinya, cukup mempengaruhi dasar pertimbangan strategi penempatan tentara pendudukannya, yang ditujukan pada penguasaan Lebensraum —semacam kebijakan ekspansionis Nazi.

Diceritakan pula dengan detail proses pendaratan Jepang di Eretan, suatu kawasan di Indramayu sebelah utara. Lalu strategi-taktik Jepang yang sejak awal kedatangannya berupaya mendekati pusat-pusat keagamaan. Salah satunya, Mesjid Kwitang. Hal ini, dalam amatan penulisnya, dilakukan agar tidak menjadi batu penghalang.

Dalam konteks lebih luas, dapat dimengerti bahwa saat itu kondisi Timur Tengah yang cenderung berpihak pada sekutu. Hal ini ditandai dengan kedekatan Amerika Serikat dengan negara-negara Timur Tengah —saling mensuplai kebutuhan masing-masing. Meskipun semula memihak Axis Pact — Jerman, Italia, Jepang. Tapi kemudian berbalik. Padahal umat Islam di Indonesia cukup dipengaruhi perubahan yang terjadi di Timur Tengah. Itulah kiranya yang nanti menjadi dasar kekhawatiran Jepang.

Pembahasan melaju pada Jepang yang saat itu mulai mendemonstrasikan perhatiannya terhadap pangan rakyat. Hal ini ditandainya dengan dibentuknya Kantor Pusat Urusan Pembelian Beras; Beikoku Cyrus Kabaisyi, Ikatan Pengendalian Penjualan dan Pembelian Besar; Beikoku Toosei Kai, dan Koperasi Persatuan Pedagang Beras; Beikoku Orosisyoo Kumiai. Kantor ini nantinya akan berhadapan dengan kenyataan hilangnya beras dari pasaran. Sementara Perang Dunia II, membuat hubungan antara Indonesia dan Thailand terputus, sedangkan kekurangan beras Indonesia sering dipasok negara-negara luar. Oleh karena itu, dapat dimengerti bila persediaan beras sangat tidak sesuai dengan kebutuhannya. Upaya Jepang dalam pengadaan beras dengan menyita lumbung padi rakyat desa ini nantinya semakin memantik pemberontakan. Bagai api dalam sekam.

Selanjutnya, pembahasan berlanjut pada penjelasan ihwal melemahnya Jepang yang mulai terlihat saat pertempuran di Laut Koral. Di sini sekutu mulai berhenti mundur. Kemudian diikuti dengan serangan balik merebut Guadalkanal yang dimulai Agustus 1942 hingga enam bulan lamanya, Februari 1943. Pertempuran sengit di Guadalkanal melibatkan ketiga angkatan darat, laut, dan udara. Jatuhnya Guadalkanal menjadi titik tolak beralihnya kemenangan untuk Sekutu.

Di sini kemudian Jepang meninggalkan kebijakan depolitisasi, dan mulai mengadakan pendekatan dengan pimpinan politisi dalam upaya memobilisasi. Jepang merasa perlu menjalankan strategi konsesus (consensus strategy) guna menentukan titik kesamaan kepentingan tentara Jepang dan pemimpin organisasi massa. Selain itu Jepang merasa perlu membuka konsep kontinyuitas ketahanan - concept of sustainability dalam memasuki tahun 1943-1944 dalam upaya mempertahankan perang Asia Timur Raya (Halaman.122).

Strategi konsesus ini dijalankan dengan dua cara:

Pertama, membangun Chuo Sangi In, semacam Voolksraad di era kolonial yang sering diejek kalangan pergerakan sebagai komedi omong. Yang nantinya juga dijadikan motor penggerak pengerahan tenaga rakyat dalam upaya membangkitkan kemampuan produksi segala sesuatu yang berkaitan dengan logistik penopang perang.

Kedua, mengizinkan ormas yang sebelumnya dibekukan untuk kembali menjalankan aktivitas organisasinya.

Kemudian pembahasan melaju pada kisah blokade sekutu dalam pendudukan kembali Guam, Saipan, hingga kepulauan Karolin, Philipina pada tahun 1944, yang berdampak pada krisis pangan dan sandang. Dalam The Geography of Hunger, dijelaskan bahwa Jepang mencoba mengatasinya dengan mengembangkan new food resources - mengajarkan makan sesuatu yang dalam kondisi damai tidak mungkin dimakan. Entah bagaimana wujudnya.

Selain itu, dibentuk pula Kumiai Renmei; Koperasi Persatuan Desa di Bandung, Jakarta, Bogor, Garut, Ciamis, dan wilayah lainnya di pulau Jawa. Namun sistem kerja koperasi ini tidak bisa berjalan sebagaimana direncanakan. Untuk mengatasi hal ini, diciptakanlah kebijakan pengumpulan (secara paksa!) sebagian hasil panen petani. Hal ini semakin menyulut pecahnya pemberontakan (Halaman. 163-164).

Pemberontakan Peta di Cileunca, Pangalengan

Sebelum masuk ke pembahasan Pemberontakan Peta di Cileunca, Pangalengan, buku ini menyajikan paparan ihwal gerakan pembangkangan rakyat sipil sebelumnya yang terjadi di Sukamanah dan Indramayu. Kemudian menjalar ke Pangalengan yang —wilayah perkebunannya di daerah priangan— menjadi bagian sumber vital komoditi teh yang dapat dijual di pasaran dunia.

Barangkali hal ini bisa dikomparasikan serupa protes perang Vietnam, tepat di waktu Perancis mengalami keterpurukan ekonomi karena tingginya inflasi. Pemberontakan membesar seiring dengan skala represifitas dan solidaritas yang meluas. Kaum buruh dan petani seluruh Perancis bergabung, melakukan pemogokan-pemogokan dan aksi-aksi protes di hampir semua provinsi.

Dalam konteks Pangalengan, tercatat bahwa Pemberontakan berawal dari hilangnya satu ember nasi dan sekaleng sayuran dari dapur pasukan. Pimpinan kesatuan Peta di Cileunca yakni Sidokan Yamamoto saat itu menghukum para prajurit Peta yang mendapat giliran piket malam dengan sebuah hukuman yang kejam: seiza. Dalam temuan di berbagai rujukan, seiza adalah sikap berlutut di lantai (atau di tanah) dengan melipat kaki di bawah paha, sementara pantat ada di atas tumit. Mayoritas prajurit Jepang sendiri bahkan tidak pernah bisa bertahan dari hukuman ini lebih dari setengah jam.

Sebelumnya, dikisahkan terlebih dahulu persiapan upaya berontak. Dimulai pemanfaatan berbagai fasilitas untuk latihan. Gunung Wayang dipilih untuk dijadikan wahana menyatuan tekad dan pemahaman dalam mengatur langkah perlawanan (Halaman 253).

Hingga kemudian sampailah pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Seorang prajurit bernama Amar Soetisna mengajak rekan-rekannya untuk segera angkat senjata melawan para tentara Jepang. Seperti halnya protes sosial pesantren Sukamanah, pemberontakan diawali dengan pembunuhan tentara Jepang. Meski akhirnya para pemberontak dapat ditangkap dan dibawa ke markas Kempetai. Bundancho Amar Soetisna disiksa kemudian dihukum mati, hingga sekarang makamnya tidak ditemukan. Akibat pemberontakan itu pula, selain Bundancho Amar Soetisna, enam prajurit Peta yang dianggap provokator ditangkap oleh Kempeitai dan dikurung di sel markas mereka yang terletak di Jalan Sultan Agung, Bandung. Mereka adalah Bundancho Astika Lagino Syarief, Bundancho Toha, Bundancho Rohim, Gyuhei Nanang, Bundancho Rahmat, Gyuhei Sadki, Gyuhei Patah, Gyuhei Akub, dan Budancho Odang Iskandar, yang juga diperlakukan sangat kejam dan mengalami berbagai bentuk penyiksaan.

Satu hal yang menarik perhatian adalah analisa penulis mengenai keterangan tentara Jepang yang tidak berani mengadakan pengadilan militer secara terbuka. Hal ini dijelaskan dari perspektif geopolitik. Implikasinya mendasari asumsi dalam upaya menutup dan merahasiakan pemberontakan yang tercatat sebagai klimaks perlawanan sebelumnya.

Pada akhirnya, dinyatakan bahwa pemberontakan yang terjadi tidak lepas dari upaya menjawab tantangan penderitaan rakyat kebanyakan. Penanaman disiplin kemiliteran oleh Jepang tidak dapat menutup mata tentara peta dari realitas-aktual penderitaan. Apalagi bagi pemberontak yang memiliki keluarga bakal dengan mudah menyaksikan keluarganya dan orang tua, serta saudaranya di desa-desa, mengalami penderitaan yang sangat berat.

Yang agak membuat kurang sedap, buku ini terlalu menonjolkan peran satu kalangan. Barangkali bukan soal karena memang ditujukan demikian, sebagaimana terlihat dari banyaknya para elit politik yang memberi kata sambutan di awal. Tapi kiranya perlu dilengkapi sejumlah bahan bacaan lainnya agar tidak terperangkap sekadar glorifikasi. Meski terdapat hikmah yang dapat menjelaskan fakta sederhana bahwa di samping diksi “berontak” yang telah mengalami makna peyoratif saat ini, ternyata hampir semua kalangan pernah melakukan. Termasuk juga dunia ketentaraan.

Dan yang pasti, buku ini mampu melengkapi pemahaman mengenai gaya politik Jepang. Seturut argumen Benedict Anderson dalam disertasinya Jawa pada Masa Revolusi, bahwa gaya politik Jepang mampu mengondisikan corak baru dalam kehidupan dan tindakan politik pemuda: watak radikal yang mengandung gugatan terhadap nilai-nilai dan pandangan politik yang ditanamkan oleh penguasa Belanda kepada generasi sebelumnya.

Sederhananya, betapa faktor kebudayaan dan watak pendudukan Jepang turut mempengaruhi kesadaran bumiputera dalam perjuangan. Kebetulan corak baru itu juga sangat cocok dengan kenyataan dunia tradisional tempat sebagian besar pemuda itu berasal. Suatu hal yang berhasil memantik imajinasi politik sebelum akhirnya pecah revolusi nasional.

Informasi Buku

Judul: Pemberontakan Tentara Peta di Cileunca Pangalengan

Penulis: Ahmad Mansur Suryanegara

Penerbit: Yayasan Wira Patria Mandiri, Jakarta. 1996

Tebal: 300 halaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//