• Buku
  • BUKU BANDUNG (35): Menjadi Wartawan Cilik di Koran Pikiran Rakyat

BUKU BANDUNG (35): Menjadi Wartawan Cilik di Koran Pikiran Rakyat

Buku Wartawan Cilik menyajikan kisah Arman yang rajin menulis dan mengirimkan karyanya ke koran Pikiran Rakyat. Menjadi wartawan masih merupakan profesi memesona.

Gambar ilustrasi sampul buku Wartawan Cilik menampilkan Arman menunjukkan tulisannya yang termuat di Lembar Remaja koran Pikiran Rakyat. (Sumber: buku Wartawan Cilik, 1976)

Penulis Tri Joko Her Riadi27 Februari 2022


BandungBergerak.id - Arman, murid kelas V Sekolah Dasar (SD) Sukagalih, sangat senang bercerita. Di ruang tamu keluarganya, setiap sore ia jadi bintang. Cerita-ceritanya ditunggu oleh ayah, ibu, dan kedua kakaknya.

Kadang cerita-cerita Arman berlebihan. Sepulang menonton tukang obat yang pintar bermain sulap, ia mengabarkan terjadinya perkelahian massal yang dipicu oleh para penonton yang merasa tertipu. Padahal, yang terjadi hanyalah adu mulut.

Di lain waktu, Arman bercerita secara tepat sesuai kejadian. Kesaksiannya tentang seorang pencuri yang tertangkap akibat terjerat benang gelasan layang-layang, sama dengan fakta yang disampaikan dalam berita koran keesokan harinya.

Selain bercerita, Arman yang doyan membaca buku juga gemar menulis. Ketika bertamasya bersama teman-teman sekelasnya ke Gunung Tangkuban Parahu, ia menjadi satu-satunya yang membawa buku catatan dan bolpoin.

“Kau mau mengadakan ulangan di Tangkubanperahu, Man?” ejek teman-temannya.

Ketika Pak Guru menugaskan seluruh murid untuk menuliskan pengalaman mengunjungi Gunung Tangkuban Parahu, barulah teman-teman Arman itu menyadari pentingnya membuat catatan. Mereka kesulitan menulis karena semata-mata mengandalkan semua pada ketajaman ingatan, sementara Arman dengan lancar menyelesaikan karangan sepanjang lima halaman.

Tak hanya melaporkan apa yang ia lihat selama berada di destinasi wisata kesohor di utara Bandung itu, Arman melengkapi tulisannya dengan hasil wawancara dengan salah seorang turis asal Rotterdam, Belanda. Ketika Pak Guru memintanya menjelaskan di depan kelas bagaimana caranya bisa mewawancarai orang bule itu, si murid punya jawaban.

“Betul, Pak. Saya tidak tahu apa-apa tentang bahasa asing. Tapi saya bertanya dengan perantaraan seorang pengantar wisatawan,” kata Arman merujuk pada Mang Wahyu, tetangganya yang menjadi seorang pemandu wisata, yang secara tidak sengaja ia temui di Gunung Tangkuban Parahu.

Pak Guru dibuat terkesan oleh karangan Arman. Ia pun meminta sang murid untuk mengirimkan tulisannya ke koran Pikiran Rakyat.

“Anak-anak, ternyata kita mempunyai seorang wartawan,” ujarnya. 

Gambar ilustrasi karya Fatimah menampilkan kegembiraan keluarga Arman ketika membaca bersama tulisan si wartawan cilik yang termuat di koran Pikiran Rakyat. (Sumber: buku Wartawan Cilik, 1976)
Gambar ilustrasi karya Fatimah menampilkan kegembiraan keluarga Arman ketika membaca bersama tulisan si wartawan cilik yang termuat di koran Pikiran Rakyat. (Sumber: buku Wartawan Cilik, 1976)

Dimuat di Pikiran Rakyat, Dilengkapi dengan Ilustrasi

Kisah Arman dengan keluarga, guru, dan teman-teman sekelasnya itu termuat dalam buku Wartawan Cilik (1976) karangan M. O. Koesman. Diterbitkan oleh Penerbit Tarate Bandung, buku cerita anak setebal 48 halaman ini dihiasi dengan beberapa gambar ilustrasi karya Fatimah.

Diceritakan, Arman mengirimkan tulisannya tentang perjalanan ke Gunung Tangkuban Parahu itu dengan cara memasukkannya ke dalam kotak surat di depan kantor surat kabar Pikiran Rakyat di Jalan Asia-Afrika, Kota Bandung. Dan betul, tulisan itu kemudian dimuat di lembar remaja yang terbit sekali sepekan. Pak Guru yang menyampaikan informasi itu secara langsung di depan kelas.

Arman, yang girang bukan kepalang, segera membawa kabar itu ke rumah. Semua orang bangga. Pak Basuki, ayah Arman, lantas menjelaskan sedikit tentang profesi wartawan yang “tiap hari harus mengisi surat kabar dengan macam-macam tulisan dan gambar”. Kepada si bungsu, sang ayah juga menyebut secara khusus apa saja yang biasa dikerjakan oleh seorang jurnalis.

“Ada juga wartawan yang membuat tulisan tentang perjalanan. Misalnya, ia meninjau ke daerah transmigrasi di Lampung. Lalu ia menulis tentang keadaan di Lampung. Bisa juga wartawan itu disuruh ke medan perang. Lalu ia harus membuat tulisan tentang pertempuran,” tuturnya.

Arman kemudian bersepakat dengan sang ayah. Ia akan menulis sesering mungkin, lalu mengirimkannya ke redaksi surat kabar.

Tulisan Arman berikutnya yang dimuat di koran Pikiran Rakyat dijuduli “Si Manis Kucingku”. Kali ini, ia mengirimkannya dengan menyertakan gambar ilustrasi buatan Pardi, teman sekelas yang beberapa hari sebelumnya berkelahi dengannya. Arman dan Pardi selanjutnya menjadi kawan baik dan selalu bareng-bareng mengirimkan karya ke surat kabar.

Pada 1976, tahun ketika buku Wartawan Cilik terbit, Pikiran Rakyat sudah relatif mapan sebagai koran terbesar dan paling berpengaruh di Jawa Barat, dan terus menguat di dekade-dekade berikutnya. Pada tahun 1985 terbit buku 5 Successful Asian Community Newspapers yang ditulis oleh Crispin C. Maslog, seorang profesor di Universitas Filipina. Pikiran Rakyat bersanding empat surat kabar lokal lain di Asia, yakni Amod dan Jugabheri di Bangladesh, Rajasthan Patrika di India, serta Sunday Punch di Filipina.

Dalam kajiannya, Crispin C. Maslog menyebutkan tiga faktor kesuksesan Pikiran Rakyat yang ia labeli sebagai “Korannya Para Pekerja”, baik secara finansial maupun secara editorial, yakni lokasi kantor pusat di Bandung, kompetensi para pegawai, terutama para jurnalisnya, serta kepemilikan kolektif perusahaan ini.

“Pikiran Rakyat secara sadar mengembangkan kualifikasi pegawainya lewat perekrutan, selain magang dan beasiswa dalam beberapa tahun terakhir,” tulis Maslog.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (34): Keterpurukan Persib yang Terlihat Samar di Masa Silam
BUKU BANDUNG (33): Gedung Balai Kota Bandung dan Sekitarnya yang Berawal dari Kebun Kopi
BUKU BANDUNG (32): Petualangan Franz Wilhelm Junghuhn, dari Eropa Berakhir di Lembang

Profesi Memesona

Buku Wartawan Cilik mewakili napas buku-buku cerita anak tentang dunia kewartawanan di masa lalu, atau setidaknya tahun-tahun sebelum internet dengan media sosialnya muncul. Wartawan digambarkan sebagai profesi yang memesona. Kadang bahkan: heroik.

Tidak heran jika ada tidak sedikit buku cerita anak di masa lalu yang menyebut pekerjaan wartawan perang. Atau, tersaji adegan-adegan dramatis yang melibatkan sang wartawan cilik. Yang terakhir inilah yang muncul di buku Wartawan Cilik.  

Menjelang akhir cerita, dikisahkan bagaimana Arman dan Pardi menelusuri kasus pencurian anting yang menimpa seorang bocah perempuan yang ditemukan sedang menangis di pinggir jalan. Kedua sahabat itu kemudian melacak jejak si pencuri hingga ke toko emas di pasar. Tentu saja cerita berikutnya bisa ditebak: si pencuri tertangkap.

Setelah aksi heroik itu, Arman dan Parman menuliskan kisahnya, dilengkapi dengan gambar ilustrasi, kemudian mengirimkannya ke koran Pikiran Rakyat. Tidak hanya dimuat, reportase mereka terpilih sebagai yang terbaik dan kedua pembuatnya diganjar hadiah.

Melekatkan pekerjaan wartawan dengan aksi heroik yang menyerempet bahaya, buku Wartawan Cilik tidak lupa menampilkan pesan tentang inti sari kerja jurnalistik, yakni melaporkan fakta yang telah terverifikasi. Di adegan awal, ayah Arman mengucapkannya ketika mendapati sang anak melebih-lebihkan kisahnya tentang tukang obat di pasar.

“Kalau mau jadi wartawan, kau jangan mengarang sendiri. Apa yang sesungguhnya terjadi, itulah yang kharus diceritakan,” kata Pak Basuki.

Informasi Buku

Judul: Wartawan Cilik

Penulis: M. O. Koesman

Penerbit: Tarate Bandung

Cetakan: II, 1976

Tebal: 48 halaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//