• Cerita
  • Sejarah Lain Pikiran Rakyat Bandung

Sejarah Lain Pikiran Rakyat Bandung

Pikiran Rakyat, atau Pikiran Rakjat dalam ejaan tahun 1950-an, lahir dari kenekatan Djamal Ali . Inilah penggal sejarah yang jarang diungkap.

Kantor pusat Pikiran Rakyat di Jalan Asia Afrika 77 Bandung. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Penulis Tri Joko Her Riadi24 Maret 2021


BandungBergerak.idPikiran Rakyat, atau Pikiran Rakjat dalam ejaan tahun 1950-an, lahir dari kenekatan Djamal Ali untuk menerbitkan sebuah koran bercorak nasional di Bandung. Ia mengistilahkannya sebagai “koran Republik” yang ketika itu belum satu pun dimiliki Kota Kembang. Modal awal mengambil alih sebuah koran lokal yang tak keruan hidupnya diperoleh dengan menggadaikan perhiasan sang istri.

“Itu pun belum lunas, dan sisanya saya cicil,” tulis Djamal Ali dalam buku biografinya Djamal Ali: Sekilas Perjuangan Hidup Saya (1995).

Pada 30 Mei 1950, warta harian Pikiran Rakjat menjumpai pembaca untuk pertama kalinya. Bersama Djamal Ali yang menjabat Pemimpin Umum, tokoh-tokoh yang jadi perintisnya antara lain A.Z. Sutan Palindih, H. Niti Sumantri, dan Semaun St. Kenaikan. Muncul juga nama Asmara Hadi yang jadi pilar Redaksi.

Mengusung moto “Mengajak Pembaca Berpikir Kritis”, Pikiran Rakjat tumbuh besar. Bukan hanya di Bandung, tapi juga Jawa Barat. Djamal Ali bahkan mengklaim koran ini menjadi satu-satunya yang “menguasai pemasaran di Jawa Barat”.

Lewat buku Almanak Pers Indonesia 1954-1955 (1955), kita bisa mengetahui oplah suratkabar yang berkantor di Jalan Raya Timur (sekarang Asia Afrika) 133 tersebut sebanyak 13.500 eksemplar per hari. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Kota Bandung tercatat sebanyak 659.977 jiwa pada 1952, lalu menjadi 986.880 pada 1959.

Warta harian Pikiran Rakjat berisi empat halaman kertas ukuran 44,5 x 62 centimeter. Harga langganannya Rp 14,50 sebulan, sementara harga eceran Rp 0,75. Juga diketahui tarif iklan Rp 0,80 per milimeter baris-kolom.

Almanak Pers Indonesia 1954-1955 menyebut Pikiran Rakjat berhaluan sosialis. Sebagai pembanding, harian berbahasa Sunda, Sipatahunan, ditulis berhaluan liberal. Sama seperti Harian Indonesia, surat kabar beralamat di Jalan Dalem Kaum yang sudah tidak terbit lagi.

Surat Kabar Independen

Corak pemberitaan Pikiran Rakjat-nya Djamal Ali yang sosialis itu menjadi bahan kajian skripsi Euis Iskantini di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada 2001. Perasan skripsi ini bisa dibaca di jurnal Historia edisi Desember 2002. Pada 12 Oktober 2019, artikel tersebut bisa diases secara daring di situs web Departemen Pendidikan Sejarah UPI.

Dengan menyelisik pemberitaan tiga isu besar nasional ketika itu, yakni Konferensi Asia Afrika 1955, Pemberontakan DI/TII, serta masalah penyelesaian Irian Barat, Euis menyajikan bagaimana Pikiran Rakjat tampil sebagai surat kabar independen di era demokrasi liberal (1950-1959) yang dipenuhi dengan kemunculan koran-koran corong partai.

“Meskipun lahir di saat pers mulai mengalami polarisasi pada berbagai golongan, namun Pikiran Rakjat adalah sebuah surat kabar independen dan tidak memiliki keterkaitan dengan partai politik tertentu,” tulis Euis.

Tentang pemberontakan DI/TII, misalnya, Pikiran Rakjat menjadikan keamanan warga Jawa Barat, yang juga merupakan basis utama pembacanya, sebagai prioritas. Pemberitaan surat kabar ini “mengecam aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh golongan DI/TII” dan “memihak sepenuhnya” kebijakan penumpasannya oleh pemerintah. Setelah Kartosuwirjo tertangkap Pikiran Rakjat “bertindak sebagai juru penerang bagi masyarakat maupun anggota gerakan DI/TII yang masih belum menyerahkan diri”.

Djamal Ali dan istri, yang perhiasannya digunakan untuk modal awal mendirikan Pikiran Rakjat pada tahun 1950, berfoto bersama pada tahun 1983. (Sumber foto: buku Djamal Ali: Sekilas Perjalanan Hidup Saya)
Djamal Ali dan istri, yang perhiasannya digunakan untuk modal awal mendirikan Pikiran Rakjat pada tahun 1950, berfoto bersama pada tahun 1983. (Sumber foto: buku Djamal Ali: Sekilas Perjalanan Hidup Saya)

Persimpangan Jalan Sejarah

Perjalanan Pikiran Rakjat versi Djamal Ali seketika terhenti ditelan pusaran peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Di tengah kegentingan situasi politik, pemerintah menerbitkan peraturan yang mengharuskan setiap surat kabar berafiliasi ke surat kabar partai atau pemerintah, dalam hal ini Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Djamal Ali bersikukuh menolak ketentuan tersebut. Ia menghadap Presiden Sukarno di Istana Negara dan mendapati tokoh yang ia idolai itu tidak mau mengubah kebijakannya. Begitulah kalau dua orang berkepala batu bertemu.

“Bagi saya Pikiran Rakyat adalah tetap Pikiran Rakyat, bukan pikiran partai atau pikiran ABRI,” tulis Djamal Ali, kelahiran Yogyakarta, 24 Desember 1914, dalam buku biografinya. 

Sikap keras kepala sang pucuk pimpinan ini berujung penyitaan seluruh aset Pikiran Rakjat. Di sinilah awal mula persimpangan sejarah Pikiran Rakyat Bandung.

Dalam penuturan Djamal Ali, tidak lama setelah penyitaan itu ia dipanggil Kepala Penerangan Kodam Siliwangi dan ditawari untuk kembali memimpin Pikiran Rakjat. Tentu saja Pikiran Rakjat kali ini adalah surat kabar yang menginduk media milik ABRI. Keras kepala-nya Djalam Ali belum hilang. Ia menolak tawaran tersebut.

“Saya ini bukan barang sitaan. Kalau saya memimpin koran yang disita, berarti saya orang sitaan,” demikian ucapan Djamal Ali yang memerahkan telinga Sang Kepala Penerangan Kodam Siliwangi.

Menurut Djamal Ali, Pikiran Rakjat di bawah ABRI bukan Pikiran Rakjat yang sama seperti sebelum September 1965. Isinya berubah, menyebabkan “para pembaca jadi tidak menyukainya”.

Begitulah jalan nasib Pikiran Rakjat-nya Djamal Ali. Ia lahir dari kenekatan mewujudkan niat, lalu tamat akibat kekeraskepalaan mempertahankan prinsip. 

Pikiran Rakyat Gaya Baru

Kisah satu lagi tentang persimpangan sejarah Pikiran Rakyat Bandung itu adalah cerita yang banyak beredar. Datangnya tentu saja dari para punggawa harian umum Pikiran Rakyat yang tepat hari ini merayakan ulang tahun ke-55.

Syafik Umar, dalam buku Jagat Kecil Wartawan dan Karyawan Pikiran Rakyat (2007), menceritakan apa yang terjadi sebagai selisih jalan antara jajaran direksi yang dipimpin Djamal Ali dengan redaksi yang dikomando oleh Sakti Alamsyah. Menurut Syafik, “Pikiran Rakyat gaya baru” justru lahir akibat kengototan direksi menerbitkan koran baru, dinamai Mertju Suar, dengan berafiliasi pada harian yang diterbitkan oleh organisasi massa (ormas) Muhammadiyah.

“Sedang pihak redaksi yang dimotori Sakti Alamsyah menginginkan PR (Pikiran Rakyat) ini berafiliasi dengan Kodam Siliwangi. Mengingat pihak Siliwangi banyak membantu dan menyelamatkan PR terutama dari manuver-manuver Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada waktu itu mendapat angin dari penguasa,” tulis Syafik.

Pikiran Rakyat gaya baru itu terbit perdana pada 24 Maret 1966 dengan nama resmi Harian Angkatan Bersenjata Edisi Jawa Barat Pikiran Rakyat. Huruf Pikiran Rakyat di halaman muka itu ditulis kecil. Modal pertamanya bersumber uang pinjaman dari Kodam Siliwangi berjangka enam bulan. Kantornya tetap di Jalan Asia Afrika 133.

Dalam artikel “PR dalam Tiga Dimensi” yang terbit di halaman pertama koran Pikiran Rakyat edisi 24 Maret 2016, Syafik Umar menceritakan ulang periode persimpangan jalan sejarah Pikiran Rakyat Bandung tersebut. Kali ini dengan nada yang jauh lebih heroik.

“Para wartawan PR yang ditinggalkan manajemen lama, terbangun semangat barunya. Dengan semangat idealismenya, konsisten untuk menerbitkan kembali Pikiran Rakyat independen,” tulis Syafik yang menjabat Dewan Redaksi Pikiran Rakyat.

Beberapa bulan setelah edisi perdana di bawah payung Angkatan Bersenjata itu, harian umum Pikiran Rakyat terbit dengan namanya sendiri terpampang di halaman muka. Motto-nya, “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”, berderet di bawahnya.

Pikiran Rakyat versi inilah yang bertahan hingga hari ini. Sempat menjadi koran nasional yang selama beberapa tahun menjangkau beberapa pulau di Indonesia, Pikiran Rakyat tumbuh besar berkat keputusan balik kandang ke Jawa Barat. Anak-anak perusahaannya menerbitkan koran-koran lokal di berbagai daerah di Jawa Barat.

“Keberadaan Pikiran Rakyat yang sampai sekarang menjadi salah satu surat kabar terbesar, khususnya di Jawa Barat memberi kontribusi besar kepada masyarakat, tidak hanya pasokan informasi tetapi juga dari sisi ekonomi telah membuka banyak lapangan pekerjaan,” tulis Indra Prayana, yang menyebut Pikiran Rakyat sebagai identitas Jawa Barat, dalam buku Jejak Pers di Bandung (2021).

Sebuah iklan Pikiran Rakyat di sampul belakang buku Teoritisi dan Praktisi Publisistik Berbicara (1980) menampilkan karakter karikatur Mang Ohle yang legendaris. (Sumber foto: buku Teoritisi dan Praktisi Publisistik Berbicara)
Sebuah iklan Pikiran Rakyat di sampul belakang buku Teoritisi dan Praktisi Publisistik Berbicara (1980) menampilkan karakter karikatur Mang Ohle yang legendaris. (Sumber foto: buku Teoritisi dan Praktisi Publisistik Berbicara)

Mang Ohle

Kaitan antara Pikiran Rakyat versi 24 Maret 1966 dan Pikiran Rakjat-nya Djamal Ali merupakan sebuah kajian yang penting dan menarik. Apakah keduanya betul-betul entitas berbeda yang tidak ada sangkut-pautnya? Kuncinya terletak pada penelusuran sejarah atas apa yang terjadi pada hari-hari menjelang pembekuan aset Pikiran Rakjat 

Perbedaan pendapat antara Djamal Ali (mewakili direksi atau manajemen) dan Sakti Alamsyah (yang mendapat kepercayaan dari awak redaksi) sejauh ini berhenti di adu klaim menjaga marwah independensi Pikiran Rakyat. Djamal Ali, lewat biografinya, mengaku menolak tawaran Kodam Siliwangi dengan alasan tidak mau perusahaan pers dikooptasi pemerintah. Awak redaksi Pikiran Rakyat, sebagaimana ditulis Syafik Umar, juga mengungkapkan alasan serupa, meski agak ganjil. Mereka memilih menginduk ke ABRI demi menjaga independensi. 

Namun, ada kaitan tak terbantahkan antara Pikiran Rakyat versi 1966 dengan Pikiran Rakjat versi 1950-an. Selain beberapa nama lama, Pikiran Rakyat versi 1966 juga membawa serta salah satu kekhasan Pikiran Rakjat era 1950-an. Bukan haluannya yang sosialis itu tentu saja. Tapi tokoh Mang Ohle, tokoh karikatur ciptaan Sakti Alamsyah yang mulai nongol di koran sejak 1958. 

Itulah keunikan tokoh Mang Ohle yang dibuat sebagai wakil orang Sunda kebanyakan. Ia berhasil bertahan hidup dengan melompati persimpangan jalan sejarah Pikiran Rakyat yang pelik itu. 

Tiada Penyesalan

Djamal Ali mengaku tidak menyesali keputusan yang ia buat di tahun-tahun genting menjelang peralihan kekuasaan nasional itu meski Mertju Suar tidak berumur panjang dan justru Pikiran Rakyat gaya baru itu yang terbukti awet. Ia merasa telah melakukan yang terbaik karena telah sekuat tenaga mempertahankan prinsip.

“Lebih baik saya kehilangan Pikiran Rakyat ketimbang kehilangan kepribadian, kehormatan, dan prinsip yang saya yakini benar,” katanya dalam buku Djamal Ali: Sekilas Perjalanan Hidup Saya.

Sesudah insiden itu, kiprah Djamal Ali di jagat pers Indonesia tidak lantas surut. Selain aktif di berbagai organisasi pers dan persuratkabaran, ia juga tercatat berkontribusi dalam kelahiran dan pengelolaan beberapa surat kabar. Salah satunya, Suara Karya. Ditambah lagi, karier sebagai dosen, pengacara, dan anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Tentu tidak semua yang pernah dimiliki Djamal Ali di Pikiran Rakjat bisa ia dapatkan kembali. Toh ia mengaku sudah cukup bahagia karena bisa mengembalikan sesuatu yang berharga milik istrinya: perhiasan yang dulu ia gunakan untuk membangun Pikiran Rakjat.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//