BUKU BANDUNG #38: Dari Yogyakarta ke Bandung, dari Romusa ke Revolusi
Novel Hendak Berbakti karya Abdul Muis mengisahkan sejoli Suparjo dan Suratmi, dengan caranya masing-masing, mengabdikan diri di masa revolusi di Bandung.
Penulis Tri Joko Her Riadi3 April 2022
BandungBergerak.id - Suparjo terpukul menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa nahas nasib para pekerja romusa di Pangalengan. Bekerja berat sepanjang hari, dengan jatah makan seadanya, satu per satu orang-orang bumiputra itu berjatuhan sakit, lalu meregang nyawa karena tidak memperoleh pengobatan layak. Membuat perbaikan dalam praktik kerja romusa tidak semudah yang dibayangkan Suparjo.
Suparjo bergabung sebagai romusa secara sukarela, dengan niat lurus “hendak berbakti”, setelah mendengar banyak keluhan dari warga yang sampai kepadanya ketika berkantor di Djawa Hokokai di Bandung. Ini semacam jawatan bentukan Dai Nippon yang berurusan langsung dengan masyarakat golongan bawah. Suparjo diberi tanggung jawab mengelola sekelompok warga setingkat Rukun Tetangga (RT).
Namun apa daya? Kebengisan praktik romusa tidak menyisakan ruang bagi Suparjo, yang dipercaya sebagai semacam mandor yang disebut ‘hanco’, untuk mengusahakan perbaikan. Tepat belaka omongan seorang kepala kantor yang ia mintai surat keterangan agar bisa bergabung dalam kerja romusa.
“Orang Nippon agak lancang mulut, lancang tangan, dan lancang kaki,” katanya, mengingatkan pemuda Suparjo yang tergerak hati oleh keinginan hendak berbakti.
Bersama Arjo, salah seorang pekerja romusa asal Kebumen yang menceritakan kepadanya banyak hal buruk yang terjadi di Pangalengan, Suparjo memutuskan untuk melarikan diri. Di tengah malam buta, keduanya menyelinap pergi. Rute pelarian mereka: ke Sukabumi, lalu ke Bandung.
Suasana hari-hari terakhir pendudukan Jepang di Indonesia ketika itu amat mencekam. Kekejaman para tentara “Saudara Tua” tidak berkurang, meskipun mulai menyebar kasak-kusuk tentang kekalahannya dari Amerka Serikat dan sekutunya.
Agar selamat, Suparjo dan Arjo menyamar sebagai tukang beras. Berjalan kaki mengangkut pikulan selama beberapa pekan dari satu kampung ke kampung berikutnya. Dari Sukabumi, barulah kedua pemuda itu bisa masuk ke Kota Bandung, lalu bertahan hidup sebagai tukang loak dengan menyandang nama baru Prapto.
Di Kota Kembang inilah, Suparjo dan Arjo mengetahui kabar kemerdekaan Republik Indonesia, lalu revolusi yang mengikutinya. Ketika tentara republik baru ini membutuhkan tenaga para pemuda untuk bertempur, keduanya tanpa ragu mendaftarkan diri.
Dari tukang beras dan tukang loak, Suparjo, dan juga Arjo, menjadi bagian dari Tentara Republik Indonesia (TRI) yang ada di garis depan pertempuran.
Pengabdian Sebenarnya
Perjalanan hidup pemuda Suparjo yang meniti buih gelombang revolusi Republik Indonesia termuat dalam novel pendek Hendak Berbakti karangan Abdul Muis, atau Abdoel Moeis dalam ejaan lama. Setebal hanya 64 halaman, novel ini diterbitkan oleh Badan Penerbitan G. Kolff & Co yang beralamat di Jalan Sulanjana 18, Kota Bandung, pada 1951. Ada beberapa gambar ilustrasi, yang sayangnya tidak diketahui siapa penciptanya, di sepanjang ceritanya.
Suparjo dikisahkan sebagai seorang pemuda lulusan Sekolah Menengah Tinggi asal Yogyakarta yang hendak mencari kerja di Bandung agar pantas untuk segera meminang gadis pujaannya, Suratmi. Demikianlah novel Hendak Berbakti dibuka dengan adegan perpisahan dua sejoli itu di Stasiun Kereta Api Yogyakarta. Atas rekomendasi sahabat ayahnya, Suparjo melamar kerja di Jawatan Kereta Api di Kota Bandung.
Bahkan dalam adegan perpisahan sepasang kekasih nan melankolis di stasiun kereta api itu, Abdul Muis menyisipkan adegan kekejaman tentara Jepang. Seorang bumiputra tak bersalah yang dituduh sebagai copet dihajar habis-habisan oleh sang tentara, sementara si pencopet sesungguhnya sudah melenggang ke luar stasiun. Adegan pembuka ini juga menunjukkan besarnya rasa simpati yang dimiliki Suparjo. Juga Suratmi!
Dari kerja kantoran yang melulu terkait urusan administratif di Jawatan Kereta Api di Bandung. Suparjo pindah ke Djawa Hokokai yang membuatnya bisa banyak bersinggungan dengan rakyat biasa, sebelum akhirnya menawarkan diri bergabung dengan kerja romusa di Pangalengan.
Novel Hendak Berbakti menceritakan bagaimana Suparjo pada akhirnya menemukan jalan keprajuritan sebagai caranya berbakti pada Ibu Pertiwi, pada masyarakat. Berkat kepemimpinan dan keberaniannya, ia dipercaya memimpin serombongan prajurit. Dari Majalaya, mereka bergerak menghalau tentara Sekutu di Cililin.
Di ujung kisah, Letnan Suparjo, yang lebih dikenal sebagai Letnan Prapto, tertembak musuh. Sebutir peluru bersarang di paha, memaksanya mendapatkan perawatan yang panjang. Bahkan muncul kekhawatiran sang prajurit harus diamputasi.
Namun, sebuah kemalangan membawa juga berkatnya tersendiri. Ketika dirawat inilah, Suparjo dipertemukan lagi dengan Suratmi, sang kekasih yang telah bergabung sebagai perawat di Palang Merah. Sebagai penutup novel, keduanya menikah.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (37): Wajah Pudar Taman Lalu Lintas Kota Bandun
BUKU BANDUNG (36): Catatan Kekejaman Fasisme Jepang di Bandung Selatan
BUKU BANDUNG (35): Menjadi Wartawan Cilik di Koran Pikiran Rakyat
Bukan Perempuan Lemah
Dalam novel Hendak Mengabdi, Suratmi adalah karakter yang menarik, yang tak kalah kuatnya dengan Suparjo. Dia bukan stereotip perempuan lemah yang meratapi nasib ‘ditinggal’ sang tunangan merantau jauh tanpa kejelasan nasib.
Kabar yang dititpkan Suparjo dari Bandung kepada kawan yang menyamar sebagai seorang haji penjual kain batik membuat Suratmi gundah. Sang tunangan, yang merasa kurang pantas karena hanya bekerja sebagai tukang loak, membebaskannya untuk menentukan jalan hidup ke depan. Termasuk dalam urusan pasangan hidup.
Ternyata, Suratmi punya jalan pikirannya sendiri. Dia punya pilihannya sendiri: bergabung ke Palang Merah.
Dari Yogyakarta, Suratmi menerima penugasan di Jawa Barat, salah satu medan pertempuran paling sengit antara pemuda Indonesia melawan pasukan Inggris yang disokong tentara Gurka dan diboncengi juga oleh Belanda. Penempatan pertamanya di Majalaya. Di sana, aliran Sungai Citarum menjadi sekat pemisah kedua kubu yang saling berhadapan.
“Tapi Suratmi tidak bermaksud hendak ke Jawa Barat karena ada panggilan Suparjo. Benar, jelas terdengar olehnya suara panggilan, tapi suara itu ialah suara Ibu Pertiwi! Suara Suparjo hanyalah penambah saja…” begitu pengarang Abdul Muis mengabarkan keteguhan hati seorang Suratmi.
Di Majalaya ini juga keteguhan hati Suratmi teruji. Ketika pasukan musuh dilaporkan sudah mendekat, dan siap menyerbu posko perlindungan para pejuang bumiputra, sang perawat memilih bertahan. Suratmi bersetia hendak menemani seorang pejuang yang, akibat lukanya yang teramat parah, tidak mungkin lagi turut menyingkir menyelamatkan diri.
Dari Majalaya, Suratmi mengajukan diri pindah ke Cililin. Dari kabar yang sampai ke telinganya, dia tahu bahwa Letnan Prapto, yang nama aslinya adalah Suprapto, sedang memimpin pasukan untuk bertempur di sana.
Karakter Suratmi yang demikian kuat inilah yang menjadi salah satu keunggulan novel Hendak Mengabdi karangan Abdul Muis ini. Tidak terjebak dalam stereotip, sang penulis menampilkan sosok perempuan dalam derajat yang setara, bahkan dalam medan pertempuran di tengah masa revolusi.
Jelaslah bawa niat mulia “hendak mengabdi”, yang oleh pengarang dijadikan judul cerita, bukan semata milik Suparjo. Pun Suratmi memiliki dan mewujudkannya.
Informasi Buku
Judul: Hendak Berbakti
Pengarang: Abdul Muis
Penerbit: Badan Penerbitan G. Kolff & Co., Bandung
Cetakan: I, 1951