• Buku
  • BUKU BANDUNG (37): Wajah Pudar Taman Lalu Lintas Kota Bandung

BUKU BANDUNG (37): Wajah Pudar Taman Lalu Lintas Kota Bandung

Taman Lalu Lintas awalnya dibangun sebagai taman tropis yang menampung pohon-pohon nusantara. Konservasi alam menjadi fungsi utama, tempat bermain anak nomor dua.

Buku Insulinde Park, Sudarsono Katam, penerbit PT Kiblat Buku Utama (2014). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman13 Maret 2022


BandungBergerak.id – Pembangunan yang mengubah wajah teduh dan asri Kota Bandung sudah lama dikhawatirkan Kuncen Bandung, Haryoto Kunto. Sejak tahun 1986, ia mengingatkan tentang pentingnya fungsi taman kota atau ruang terbuka hijau (RTH). Saat ini, RTH Kota Bandung terus terdesak bangunan atau beton.

Taman-taman yang berdiri di Kota Bandung pun banyak yang berisi beton ketimbang pohon. Sebagai contoh, tengoklah Taman Vanda di simpang Jalan Merdeka dan Jalan Wastukancana yang didominasi tembok. Pada musim kemarau, taman ini terasa panas. Pada musim hujan tidak ada resapan.

Haryoto Kunto menjelaskan bawa taman adalah lahan hijau dalam kota yang lebih mengutamakan dan menonjolkan semerbak bunga dan hijaunya pepohonan. Dengan kata lain, tampan mesti didominasi tanaman atau pohon yang menunjang konservasi alam.

“Cukup sudah bangunan fisik di taman itu. Jangan ditambah lagi. Hindarkan kemungkinan terjadinya penebangan pohon, sekadar memberi tempat bagi bangunan baru,” tuturnya, dikutip dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya.

Namun setelah dua dasawarsa berlalu, apa yang dikhawatirkan oleh Haryoto Kunto menjadi kenyataan. Pembangunan kota dan fasilitasnya tidak dapat dihentikan. Banyak pepohonan di ruang terbuka hijau dikebiri demi berdirinya bangunan baru atau fasilitas rekreasi lainnya.

Salah satu taman yang menjadi korban bangunan fisik adalah Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution. Pada zaman kompeni Belanda, taman ini dulunya bernama Insulinde Park. Dalam pembangunannya, taman ini dirancang sebagai taman tropis untuk mengingatkan orang akan hutan tropis Indonesia.

Namun niat awal itu pudar akibat arus pembangunan yang tidak terkontrol. Taman yang kemudian diproyeksikan sebagai ruang pendidikan lalu lintas pada tahun 1958 itu kini perannya tidak lebih sekadar menjadi arena bermain anak.

Sudarsono Katam dalam buku Insulinde Park mengupas cukup tuntas tentang sejarah Taman Lalu Lintas. Pak Katam, ahli sejarah Bandung itu biasa disapa, membandingkan keadaan Taman Lalu Lintas pada masa lalu hingga periode 2008 berikut permasalahannya.

 Insulinde Park yang kini Taman Lalu Lintas, Bandung. (Sumber: OBJ Datastream)
Insulinde Park yang kini Taman Lalu Lintas, Bandung. (Sumber: OBJ Datastream)

Dari Peralihan ke Peralihan

Pada periode 1898, lahan cikal-bakal Taman Lalu Lintas ini hanyalah berupa tanah kosong berbentuk rawa yang ditumbuhi beberapa rumpun-rumpun bambu. Kemudian masyarakat memanfaatkannya sebagai persawahan.

Seiring pembangunan, wilayah sekitar lahan tersebut banyak dibangun gedung-gedung dan rumah-rumah bagi anggota militer. Pada tahun 1915, lahan sawah dikeringkan untuk dijadikan lapangan militer.

“Tahun 1915, lahan tersebut dijadikan Lapangan Militer yang berfungsi sebagai tempat latihan, olahraga, dan upacara militer. Di sekililing Lapangan Militer ditanami pohon-pohon yang dapat tumbuh tinggi dan besar,” kata Pak Katam (Insulinde Park, halaman 13).

Penanaman pohon di sekeliling lapangan dan di sepanjang jalan yang mengililingi lapangan tersebut bertujuan agar permasalahan panas dan angin kencang di saat musim pancaroba dapat teratasi.

Tahun 1920, lapangan ini beralih fungsi lagi menjadi sebuah taman kota yang diperindah bentuknya dengan kolam air berbentuk kanal setengah lingkaran yang letaknya di sebelah utara, di seberang gedung Paleis van de Leger Commandant (Rumah Panglima Bala Tentara Hindia Belanda). Baru pada tahun 1925 pemerintah Kota Bandung menamai taman ini dengan nama Insulinde Park, karena letaknya yang berada di kawasan yang memiliki identitas jalan dengan nama pulau-pulau di nusantara (insulinde).

Tahun 1923, arsitek Hendrik Petrus Berlage mengusulkan agar taman ini lebih ditonjolkan aksen tropisnya. Insulinde Park pun ditata sebagai taman tropis. Hingga tahun 1935 taman ini sudah memiliki 96 jenis tanaman keras dan tanaman bunga.

Waktu berjalan dan berlalu. Pada masa pemerintahan Jepang taman ini relatif tidak terurus, sehingga Insulinde Park memiliki kesan tidak rapi dan berubah menjadi hutan belukar. Namun taman ini kembali ditata kembali, dan pada tahun 1950 DPR Kota Bandung mengubah taman ini mejadi Taman Nusantara.

Nama Taman Nusantara tidak berlangsung lama. Pada tahun 1958 Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) mengelola taman ini dan mengubah namanya menjadi Traffic Garden yang kemudian dikenal sebagai Taman Lalu Lintas. Traffic Garden ditata untuk dijadikan sebagai taman pendidikan informal tentang kelalulintasan bagi anak-anak dan wahana pembinaan bagi para remaja.

Pengelolaan Taman Lalu Lintas beralih ke Yayasan Taman Lalu Lintas Bandung yang dibentuk pada 26 Juni 1960. Peristiwa kelam G30S yang menewaskan Ade Irma Suryani Nasution mengubah nama taman menjadi Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution. Perubahan nama taman yang berlangsung pada tahun 1966 itu untuk memperingati dan mengenang putri dari Jenderal Besar (Purn) Abdul Haris Nasution (almarhum).

Baca Juga: BUKU BANDUNG (34): Keterpurukan Persib yang Terlihat Samar di Masa Silam
BUKU BANDUNG (35): Menjadi Wartawan Cilik di Koran Pikiran Rakyat
BUKU BANDUNG (36): Catatan Kekejaman Fasisme Jepang di Bandung Selatan

 Insulinde Park yang kini Taman Lalu Lintas, Bandung. (Sumber: OBJ Datastream)
Insulinde Park yang kini Taman Lalu Lintas, Bandung. (Sumber: OBJ Datastream)

Wajah Pudar Taman Lalu Lintas

“Awal tahun 1970, keindahan Taman Lalu Lintas menyuram, tidak terawat dan menjadi padang ilalang, jaringan rel kereta api hilang terbenam sampah dedaunan,” kata Pak Katam (halaman 50).

Inilah titik awal pudarnya peran Taman Lalu Lintas sebagai taman pendidikan bagi anak-anak dan para remaja. Meskipun mendapat dukungan dari beberapa organisasi di Kota Bandung, taman ini kemudian bangkit dengan wajah yang baru.

Sayangnya aksen tropis dari Taman Lalu Lintas perlahan hilang dari tahun ke tahun sampai akhirnya taman ini tidak lebih sekadar menjadi arena bermain anak saja. Banyak tumbuhan dan lahan hijau yang dikorbankan demi lengkapnya fasilitias taman.

Jika pada tahun 1935 terdapat 96 jenis tanaman, kemudian berkurang menjadi 62 jenis tanaman pada tahun 1983 ketika melakukan inventarisasi tanaman, maka kini sudah sangat sedikit sekali tanaman yang masih tersisa. Bahkan menurut Sudarsono Katam, tidak semua petugas Taman Lalu Lintas mengetahui baik tanaman yang tersisa di sana.

Fungsi taman yang direncanakan pemerintah Belanda – atau seperti yang dicita-citakan kuncen Bandung Haryoto Kunto – sebagai konservasi alam, sekarang malah jungkir balik. Dulu arena bermain menjadi pelengkap taman saja, namun kini tamanlah yang menjadi pelengkap arena bermain.

Meski demikian, masih ada kesempatan untuk mengembalikan citra taman Kota Bandung agar memiliki nuansa yang menonjolkan semerbak bunga dan hijaunya dedaunan. Kendati semangat ini tentunya memerlukan kesadaran akan pentingnya konservasi alam dan tata kota yang ramah lingkungan dari pemerintah kota Bandung.

Kota Bandung tempo dulu. (Sumber: KITLV)
Kota Bandung tempo dulu. (Sumber: KITLV)

Informasi Buku:

Judul: Insulinde Park

Penulis: Sudarsono Katam

Penerbit: PT Kiblat Buku Utama

Cetakan: pertama, tahun 2014

Jumlah Halaman: 94 Halaman

ISBN: 978-979-8003-41-7  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//