• Buku
  • BUKU BANDUNG #41: Bandoeng Waktoe Itoe

BUKU BANDUNG #41: Bandoeng Waktoe Itoe

Buku Bandoeng Waktoe Itoe dimulai dengan bab Bandung sebelum Bandung. Kemudian bab Tatar Ukur dan Dipati Ukur.

Buku Bandoeng Waktoe Itoe, ditulis Ojel Sansan Yusandi, dan diterbitkan ProPublic.Info (2022). (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

Penulis Hernadi Tanzil29 Mei 2022


BandungBergerak.idSejarah Kota Bandung yang di tahun 2022 ini genap berusia 212 tahun sepertinya tidak pernah berhenti untuk terus ditulis. Buku-buku tentang sejarah Bandung terus diterbitkan, para penulis terus berusaha meng-update-nya, baik itu berupa data-data yang belum terungkap di buku-buku sebelumnya, menambah rentang kesejarahannya, memfokuskan pada hal-hal tertentu, atau sekedar menulis dengan gaya bahasa kekinian yang mudah dibaca dengan sumber-sumber data yang telah ada di buku-buku sebelumnya. 

Buku Bandoeng Waktoe Itoe - jilid 1 adalah buku tentang sejarah Bandung yang kembali mengisi khazanah buku-buku tentang sejarah Bandung. Lalu apa yang membedakan buku ini dengan buku-buku sejenis? 

Buku ini dibagi dalam tujuh bab yang dimulai dari bab Bandung sebelum Bandung yang membahas terbentuknya dataran Bandung secara geologis. Setelah itu dilanjutkan dengan bab Tatar Ukur dan Dipati Ukur yang membahas terbentuknya wilayah-wilayah Tatar Ukur dan Wangsanata yang kemudian diangkat menjadi Bupati Ukur yang dikenal dengan Dipati Ukur yang hingga tahun 1624 mengabdi kepada Kerajaan Mataram. 

Setelah membahas asal usul Tatar Ukur dengan rinci penulis kemudian melanjutkannya dengan pemberontakan Dipati Ukur terhadap kerajaan Mataram. Kisah pemberontakkan Dipati Ukur beserta penumpasannya yang memiliki berbagai versi dibahas dalam buku ini baik dari versi tradisional (babad Tanah Jawi, Babad Sengkala, dan Babad Nithik) yang mengisahkan Dipati Ukur dengan lebih sastrawi ketimbang historis, dan versi historis yang berasal dari catatan-catatan VOC. Kesemua versi tersebut disajikan secara rinci sehingga pembaca dapat melihat berbagai perbedaan  dari kisah-kisah Dipati Ukur

Terbentuknya Kabupaten Bandung pascamasa Dipati Ukur dengan Krapyak sebagai ibu kotanya dan penyerahan Priangan kepada VOC dibahas dalam bab selanjutnya. Melalui perjanjian-perjanjian antara raja-raja Mataram dan VOC Belanda maka sejak 1677 Bandung dan seluruh wilayah Priangan diserahkan kepada kekuasaan VOC.  Uniknya para bupatinya tetap sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten. Tidak ada ikatan birokrasi dengan kompeni. Kompeni hanya menuntut agar para bupati mengakui kekuasaan kompeni dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Yang tidak diizinkan adalah para bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Di bab ini dibahas juga 6 bupati Bandung dimulai dari Tumenggung Wira Angun-Agun (1641-1681) hingga R.A. Wiranatakusumah II (1749-1829)

Di masa pemerintahan R.A. Wiranatakusumah II inilah ibu kota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke lokasi seperti sekarang. Proses pemindahan dan atas dasar apa pemindahan tersebut dibahas secara detail di bab berjudul Dari Tepi Citarum ke Sisi Cikapundung. Di bab ini juga dibahas tentang Kabupaten sebagai Istana Bupati dan tentang dua bangunan yang terdapat dalam kabupaten yaitu Pendopo dan Dalem baik secara simbolik maupun struktur bangunannya. 

Setelah membahas mengenai proses pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung ke area alun-alun sekarang, penulis menyajikan bab khusus tentang Alun-alun dan Masjid Agung Bandung. Di bagian ini dibahas fungsi dari alun-alun secara umum khususnya Alun-alun Bandung dari masa ke masa mulai dari sebagai tempat rakyat bertemu raja untuk merpersembahkan upeti di zaman kerajaan, ajang lomba-lomba tradisional, sebagai lapangan sepak bola, hingga sebagai pusat gaul dan administratif di zaman kolonia.

Di masa lampau Alun-alun Bandung juga kerap dijadikan tempat untuk menyuarakan aspirasi politik. Di masa revolusi kemerdekaan hingga demokrasi terpimpin, Alun-alun Bandung pernah dijadikan tempat diproklamasikannya Negara Pasundan, tempat dikumandangkannya pengangkatan Ir. Sukarno sebagai Presiden seumur hidup,  hingga tempat demonstrasi mahasiswa yang menuntuk Sukarno turun dari kursi kepersidennya. 

Bangunan bagunan di sekitar alun-alun tidak luput dari bahasan penulis yaitu Bale Bandung, tempat Patih dan Jaksa Bandung mengadakan rapat, bersidang, dan menerima tamu,  tiang hukuman gantung  di pojok tenggara Alun-alun, dan kantor pos. Untuk Masjid Agung yang semula bernama Masjid Kaum Bandung dibahas  mengenai asal mula keberadaannya hingga berubahnya atap masjid dari bentuk limas (nyungcung dalam bahasa Sunda) hingga dirubah  berbentuk bawang atas prakarsa Presiden Sukarno dalam rangka dilaksanakannya Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #38: Dari Yogyakarta ke Bandung, dari Romusa ke Revolusi
BUKU BANDUNG #39: Pernak-pernik Ramadan dalam Ingatan Haryoto Kunto
BUKU BANDUNG #40: Riwayat Sarekat Islam Bandung 1912-1916

Kehidupan Bupati-Bupati Bandung

Buku ini ditutup dengan bab khusus tentang kehidupan Bupati-Bupati Bandung antara lain tentang poligami (beristri lebih dari satu) dan konkubinasi (berselir banyak) yang hampir semuanya melakukan kedua hal tersebut. Dalam hal konkubasi bahkan ada yang menyebutkan bila seorang bupati baru dilantik, kesibukan pertamanya adalah mencari selir. Untuk mempertahankan  kemurnian darah bangsawan sekaligus untuk mempertahankan status tidak jarang para bupati di Priangan melakukan pernikahan antara keluarga. Selain mempertakankan status perkawinan juga kadang dimaksud untuk mengatasi dendam antarbupati. 

Dampak dari poligami dan konkubinasi menyebabkan sering terjadinya perceraian. Contoh yang diungkap dalam buku ini adalah perceraian Wiranatakusumah V dengan istrinya, Syarifah Nawawi. Syarifah dicerai lewat telegram ketika ia pulang kampung ke Bukittinngi, Sumatera Barat sementara sang bupati sedang dalam perjalanan ke Mekah. Adapun alasan perceraian adalah karena istrinya dinilai tidak pandai menyesuaikan diri dengan kehidupan kabupaten sehingga banyak menimbulkan perselisihan.  Di bagian ini dikisahkan juga tentang Tan Malaka yang pernah menaruh hati pada Syarifah namun Syarifah memilih menikah dengan sang bupati. 

Bupati yang mendapat porsi bahasan cukup banyak di buku ini adalah Bupati R.A.A Martanegara. Disebut bupati penyelang karena bukan dari trah Wiranatakusumah. Martanegara adalah tokoh yang benpendidikan, sejak kecil sudah dititipkan di pelukis terkenal Raden Saleh dan disekolahkan di sekolah teknik di Semarang. Walau diawal kepemimpinannya ada yang berusaha membunuhnya karena tidak senang mendapat bupati yang bukan berdarah Bandung namun hal ini tidak membuat sang Bupati ciut, ia malah bersemangat berkarya untuk membuktikan bahwa dirinya, walau bukan orang Bandung, mampu membuat kemajuan-kemajuan bagi warga Bandung.

Beberapa karya monumental dari Bupati Martanegara antara lain mengganti atap-atap rumah di Bandung dengan genteng, ia mendatangkan ahli dari luar untuk melatih penduduk di Balubur Hilir membuat genteng, memajukan penanaman singkong, membangun irigasi dan sawah-sawah baru, membantu Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri, dan yang paling monumental adalah membangunn jembatan bambu di lima titik kali Citarum. Walau terbuat dari bambu dan seherhana namun jembatan tersebut mendapat banyak pujian. Bahkan ada yang menduga ia sudah pernah sekolah teknik di Belanda, padahal sang bupati hanya lulusan sekolah teknik di Semarang. 

Masih banyak hal-hal menarik yang bisa kita peroleh dari buku ini terkait sejarah Bandung sejak bernama Tatar Ukur, menjadi kabupaten dengan ibu kota di Krapyak, Dayeuhkolot, hingga berlokasi di Cikapundung. Era Bandung yang dipimpin secara tradisional hingga era menjelang Bandung mengalami pembaratan oleh pemerintah kolonial. 

Sebagai sebuah buku sejarah Bandung yang disajikan ditulis dengan gaya naratif membuat buku ini akan mudah dipahami oleh berbagai kalangan terlebih bagi generasi milenial sehingga sejarah Bandung akan terus dibaca dari generasi ke generasi. 

Dari segi cakupan bahasannya buku ini tentunya menambah atau melengkapi apa yang mungkin belum ditulis secara tuntas di buku-buku sejarah Bandung yang pernah terbit sebelumnya terlebih tentang wilayah Ukur dan konflik Dipati Ukur dengan kerajaan Mataram di abad ke-17 yang pada akhirnya akan melahirkan wilayah yang disebut Bandung dan menurunkan dinasti bupati Bandung selama berabad-abad. 

Initnya lewat buku ini kita akan mengetahui  siapakah penghuni wilayah Tatar Ukur di mana Bandung termasuk di dalamnya. Buku ini juga sekaligus menjawab pertanyaan besar benarkah Kabupaten Bandung lahir dari  akibat perseteruan politik tingkat tinggi antara Dipati Ukur versus Sultan Agung Mataram di abad XVII?

Berdasarkan kata pengantar dari penulis, buku ini akan terbit dalam tiga jilid. Jilid selanjutnya dari buku ini akan membahas dimulainya pembaratan (westernisasi) atas Bandung sebagai permukiman kolonial di akhir abad XIX, sebagai gemeente (kotapraja) di zaman Parijs van Java hingga sejarah Pasar Baru dan pasar-pasar lainnya. Dilanjutkan dengan jilid ketiga tentang sejarah Bandung di masa pendudukan Jepang hingga tahun 1960-an

Semoga penulis dapat menuntaskan ketiga jilid bukunya sehingga generasi masa kini dan akan datang dapat membaca sebuah buku sejarah Bandung secara utuh sejak zaman Dipati Ukur hingga tahun 1960-an.  

Informasi Buku:

Judul: Bandoeng Waktoe Itoe jilid 1: Dari Tepi Kali Citarum ke Sisi Cikapundung
Penulis: Ojel Sansan Yusandi
Penerbit: ProPublic.Info
Cetakan: I, April 2022
Tebal: 236 hlm; 18,2 x25,7cm
ISBN: 978-623-99666-1-4

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//