• Kolom
  • PAYUNG HITAM #11: Seberapa Penting, sih, Hak Masyarakat Adat di Mata Negara?

PAYUNG HITAM #11: Seberapa Penting, sih, Hak Masyarakat Adat di Mata Negara?

Sering kali banyak kebudayaan dan keberagaman di tanah adat menjadi terabaikan dengan dalih nasionalisme yang disalahartikan.

Aoelia M.

Penulis lepas dan aktivis perempuan, bergiat dalam gerakan literasi dan pemberdayaan perempuan

Acara ngarumat pusaka di Bumi Alit, Arjasari, Kabupaten Bandung, Selasa 19/10/2021. Perlindungan negara terhadap masyarakat adat masih kurang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

18 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Hari Masyarakat Adat Internasional yang diselenggarakan tiap tanggal 9 Agustus, baru saja berlalu. Pernah nggak, sih, kalian memikirkan sejauh apa implementasi yang diberikan negara kepada masyarakat adat yang jumlahnya lebih dari 365 subetnis di Indonesia?

Peringatan Hari Masyarakat Adat sendiri pertama kali dicetuskan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1994, mendeklarasikan kerjasama internasional dalam menghadapi isu-isu masyarakat adat termasuk didalamnya terkait isu perlindungan HAM, lingkungan, pendidikan, kesehatan, ruang hidup serta pengakuan dari hak-hak masyarakat adat itu sendiri.

Indonesia sendiri secara legal mengakui keberadaan masyarakat adat dalam Pasal 18B Ayat (2) dalam amandemen kedua UUD 1945 yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Tidak hanya dalam pasal tersebut, Indonesia juga menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk dihormati tradisinya sebagaimana tercantum dalam pasal 28I Ayat (3) yang berbunyi:

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Namun, dengan adanya perundang-undangan tersebut, apakah di hari ini kita sudah bisa melihat implementasinya di dalam kehidupan bermasyarakat?

Mari kita lihat refleksinya pada kasus sengketa tanah Sunda Wiwitan. Sepuluh tahun lalu si penggugat, Jaka Rumantaka, menggugat 224 meter tanah ulayat dan mengakuinya sebagai lahan milik ibunya. Namun, sebenarnya yang Jaka gugat adalah tanah komunal yang dikelola oleh masyarakat secara bersama-sama. PTUN lantas mengabulkan gugatan tersebut dan hendak melanggengkan eksekusi atas 224 meter tanah Mayasih tersebut.

Berkenaan dengan hal ini, Karuhun Sunda Wiwitan mengungkapkan bahwa mereka dengan tegas menolak putusan MA atas lahan tersebut dan bahwa mereka tak akan gentar melakukan perlawanan. Karuhun Sunda Wiwitan juga menegaskan bahwa tanah komunal itu diwariskan untuk kemudian dikelola masyarakat bukannya untuk diperjualbelikan demi kepentingan pribadi.

Kasus-kasus sengketa di tanah adat akan terus bermunculan di tahun-tahun yang akan datang bila negara Indonesia tidak kunjung merumuskan perundangan lain yang lebih spesifik melindungi masyarakat adat. Implementasi dari perundangan yang sudah adapun bisa dinilai loyo karena hukum norma yang diserahkan begitu saja kepada daerah otonom berpotensi menimbulkan kesalahan interpretasi. Nihilnya mekanisme yang memungkinkan masyarakat adat mendaftarkan jenis tanah komunal yang dikelola bersama-sama menjadi tantangan setiap daerah, salah satunya bisa kita lihat dalam kasus sengketa Sunda Wiwitan ini

Baca Juga: PAYUNG HITAM #8: RKUHP dan Rendahnya Komitmen Pemerintah dalam Melindungi Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
PAYUNG HITAM #9: Aku Ingin Ikut Aksi Tanpa Direpresi!
PAYUNG HITAM #10: Agustus, Menerka Merdeka dalam (Belenggu) Kebebasan

Nasionalisme yang Salah Arti

Sering kali banyak kebudayaan dan keberagaman di tanah adat menjadi terabaikan dengan dalih nasionalisme yang disalahartikan. Seperti yang bisa kita lihat dalam kasus sengketa Sunda Wiwitan ini, berkaitan dengan tanah ulayat dan bagaimana masyarakat Sunda Wiwitan mengelola daerahnya pada zaman penjajahan Belanda tempo lalu, kepentingan nasionalisme adalah bagaimana masyarakat berkumpul menjadi satu demi melawan penjajahan atas tanah mereka.

Berbeda dengan nasionalisme di hari ini, khususnya bagi orang-orang tamak, adalah sebuah celah untuk mengakui segala jenis kekayaan dan kekuasaan atas nama negara. Lalu tidak jarang kita dibuat lupa bahwa Indonesia sesungguhnya begitu plural dalam berbagai aspek. Kita dituntut untuk bersikap ‘nasionalis’ sebagai tanda cinta akan tanah air namun lantas nasionalisme tersebut hanya berhenti pada ideologi politik semata. Nasionalisme yang tadinya digunakan untuk menyatukan keberagaman Indonesia justru menimbulkan banyak perpecahan di hari ini.

Tidak hanya terjadi pada Sunda Wiwitan; warga Besipae di NTT pun harus kehilangan hutan mereka, masyarakat Kinipan terus mendapatkan kekerasan dalam memperjuangkan tanah mereka, dan Sangihe diancam pembangunan tambang.

Masyarakat dituntut untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, mengabdi penuh kepada negara namun beranikah kita untuk balik bertanya, apakah hak-hak kita sebagai warga negara sudah dipenuhi oleh pemerintah? Apakah kita sudah merasa ‘cukup’ dilindungi oleh negara? Apakah pemerintah di hari ini sudah berlaku adil dan mementingkan kehidupan rakyatnya?

Sudah 77 tahun Indonesia (katanya) merdeka, namun masyarakatnya masih cedera dan tanah-tanahnya masih terus dirampas.

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//