• Opini
  • Eksistensi Hukum terhadap Tradisi Adat yang Melanggar HAM

Eksistensi Hukum terhadap Tradisi Adat yang Melanggar HAM

Tradisi leluruh harus dihormati, namun bukan berarti tradisi meniadakan nilai HAM. Diperlukan peran negara dalam menyikapi adat yang disinyalir melanggar HAM.

Laurensia Putri Darma

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Ilustrasi. Ruangan Pengadilan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Selasa (5/7/2022). Gedung Indonesia Menggugat dahulu digunakan sebagai tempat pengadilan sekaligus menjadi tempat Sukarno diadili di zaman Belanda. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

24 Juli 2022


BandungBergerak.idIndonesia adalah negara yang kaya akan suku bangsa. Tak dapat dipungkiri bahwa negeri ini pun memiliki beragam adat istiadat atau hukum adat. Setiap adat istiadat tersebut merupakan warisan nenek moyang, sehingga menjadi suatu kewajiban bagi suku bangsa untuk melestarikan dan menjunjung tinggi. Oleh sebab itu, setiap adat istiadat maupun hukum adat di Indonesia terus diterapkan, dihormati, dan terus dijunjung tinggi hingga saat ini.

Namun, seiring perkembangan zaman, manusia modern mulai menyadari bahwa ada tradisi adat yang sesungguhnya melanggar hak asasi manusia (HAM). Banyak penerapan tradisi adat yang menyerang fisik dan mental, bahkan hingga merenggut nyawa. Sebagai contoh, suku Dani di Papua mempunyai suatu tradisi niki paleg yaitu tradisi bahwa setiap perempuan harus memotong jari menggunakan kapak sebagai lambang kesedihan dan duka cita atas kematian orang terdekat.

Selain itu, terdapat tradisi saling tikam Sigajang Laleng Lipa di Sulawesi Selatan, yang merupakan tradisi untuk penyelesaian masalah oleh kedua belah pihak dengan saling tikam menggunakan badik atau pisau dalam satu sarung hingga terdapat kekalahan. Kekalahan tersebut umumnya adalah kematian dari salah satu pihak yang berseteru.

Contoh-contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari tradisi adat yang melanggar hak asasi manusia. Padahal, Indonesia sendiri mengaku sebagai negara yang menjunjung HAM maupun akibat hukum bagi setiap pelanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga sudah sepantasnya menjadi pertanyaan, apakah Hukum Indonesia tidak berlaku bagi masyarakat adat? Apakah tradisi adat lebih tinggi daripada Hukum Indonesia? Penghormatan hukum adat tidak dapat mengecualikan penerapan hukum Indonesia, perlu penekanan eksistensi hukum terhadap tradisi adat yang melanggar Hak Asasi Manusia.   

Tradisi Adat yang Melanggar Hak Asasi Manusia

Tidak dapat dipungkiri kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam ruang lingkup masyarakat adat terus meningkat. Bahkan melalui media sosial, masyarakat modern dapat menyaksikan banyak unggahan pelanggaran HAM akibat tradisi adat. Salah satunya, kasus tradisi adat yang melanggar HAM yang sempat viral pada tahun 2020.

Kasus tersebut berawal dengan sebuah unggahan yang menampilkan tradisi perempuan dibawa dan diculik oleh sekelompok laki-laki untuk melangsungkan perkawinan. Tradisi tersebut dikenal masyarakat sumba sebagai kawin tangkap.

Kasus kawin tangkap tidak hanya terjadi pada 2020, melainkan sudah terdapat tujuh kasus sepanjang tahun 2016 sampai tahun 2020. Padahal dalam kasus-kasus yang terjadi, kawin tangkap tidak hanya melukai korban secara fisik, namun juga melukai psikis. Perkawinan yang seharusnya dilandasi oleh kebahagian, namun harus didorong atas paksaan yang mengatasnamakan tradisi.

Namun, para korban juga mengakui jika mereka telah terperangkap dalam stigma bahwa mereka akan dianggap sebagai aib keluarga jika mereka kabur dalam tradisi kawin tangkap. Para korban kawin tangkap juga mengakui bahwa mereka takut untuk melarikan diri karena para pelaku dilengkapi oleh senjata tajam

Di samping itu, terdapat kasus pernikahan dini di beberapa daerah yang semakin marak terjadi. Penyebab utama kasus pernikahan dini adalah penerapan tradisi kawin muda dalam beberapa daerah, salah satunya adalah di daerah Jawa Tengah.

Kasus ini terjadi ketika seorang anak perempuan berusia 11 tahun dijodohkan dan dinikahkan oleh kedua orang tuanya. Anak tersebut mengakui bahwa ia tidak dapat menolak perjodohan karena kuatnya tradisi adat yang sudah turun menurun diberlakukan. Adat daerah setempat mengajarkan bahwa “kalau punya anak perempuan sudah ada yang melamar, harus diterima, kalau tidak diterima bisa sulit jodohnya”.

Adat tersebut membuat banyak anak daerah setempat menikah dalam usia belasan. Tidak hanya di daerah Jawa Tengah, kasus pernikahan dini yang diakibatkan adat istiadat sudah dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Padahal perkawinan anak dalam usia dini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena anak usia dini secara fisik maupun psikis belum siap untuk melangsungkan sebuah pernikahan.

Kasus kawin tangkap dan kasus pernikahan dini merupakan sebagian kecil dari banyak kasus pelanggaran asasi manusia akibat tradisi adat.

Pemberlakuan Hukum dan Tradisi Adat

Sebagai pelanggaran HAM, tentunya tradisi adat tersebut juga sudah tergolong sebagai pelanggaran hukum. Dalam sistematika hukum, pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh tradisi adat tergolong sebagai tindak pidana dan pelanggaran undang-undang. Hal ini dapat dibuktikan dalam pasal 2 dan pasal 4 Undang-Undang No 39 Tahun 1999, Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Selain pasal-pasal tersebut, terdapat pasal lain yang menekankan tentang pelanggaran HAM. Setiap pasal berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk tradisi adat maupun masyarakat adat. Pemberlakuan pasal tersebut dilengkapi dengan sanksi pidana. Sanksi pidana ditentukan berdasarkan penilaian terkait pelanggaran tersebut termasuk pelanggaran HAM berat atau ringan.

Dalam pasal 37-40 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 jo pasal 9 undang-undang Nomor 26 tahun 2000, mencantumkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dapat diancam penjara hingga pidana mati. Ancaman tersebut juga berlaku bagi setiap pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang mengatasnamakan tradisi adat.

Namun pada praktiknya, pasal-pasal tersebut kerap hanya menjadi aturan semata. Sebab banyak aparat hukum yang memilih untuk tidak menindaklanjuti kasus tradisi adat yang melanggar hak asasi manusia. Aparat penegak hukum kerap merasa kesulitan jika harus berhadapan dengan tokoh-tokoh adat dengan tradisi yang sudah mendarah daging dalam lingkup masyarakat adat tersebut. Sehingga pada akhirnya, para pelaku tidak mendapat sanksi yang sepadan dengan perbuatannya, dan sebaliknya kasus-kasus baru terus bermunculan.

Padahal di sisi lain, masyarakat adat terutama para korban membutuhkan perlindungan dan kepastian hukum. Untuk itu, diperlukan pembaharuan untuk menjamin eksistensi hukum terhadap tradisi adat yang melanggar HAM.

Baca Juga: Terancamnya Nasib Hak Ulayat Masyarakat Adat Indonesia
Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri
Ritual Adat Sunda di Kaki Gunung Tangkuban Parahu

Pembaharuan terhadap Tradisi Adat yang Melanggar HAM

Dengan undang-undang yang sudah ada dan mengatur, pembaharuan dapat dilakukan dengan kerjasama antara negara, Komnas HAM, warga negara Indonesia, dan masyarakat adat setempat. Pertama, negara dapat membantu aparat penegak mengatasi kesulitan dalam menindaklanjuti kasus tradisi adat yang belum terselesaikan, para pelaku harus mendapat sanksi berdasarkan undang-undang.

Dalam hal ini, negara dapat meningkatkan jumlah aparat negara di berbagai daerah dan memfasilitasi pengadilan HAM di daerah-daerah untuk mengatasi kasus pelanggaran HAM akibat tradisi adat tersebut. Selanjutnya, negara dapat memberikan pemahaman mendasar terhadap masyarakat adat terutama tokoh-tokoh adat bahwa tradisi adat yang diterapkan adalah pelanggaran kemanusiaan.

Dengan kata lain negara dapat membimbing masyarakat adat untuk menyaring atau menghentikan tradisi adat yang melanggar HAM tanpa meniadakan atau mengganggu tradisi lainnya yang sudah sesuai dan layak.

Kedua, Komnas HAM dapat membantu pembaharuan dengan memberikan media dan penyuluhan terhadap para korban atau masyarakat adat bahwa hak asasi mereka dijamin oleh undang-undang, dan tradisi adat tidak dapat merampas hak asasi manusia. Ketiga, Warga Indonesia terutama terutama yang berada di luar ruang lingkup adat dapat membantu dengan memberikan bantuan kemanusiaan bagi para korban serta mendukung aparat penegak dengan melaporkan apabila menemukan tradisi adat yang melanggar HAM.

Selanjutnya, masyarakat adat dapat menunjang dengan melaporkan segala bentuk pelanggaran HAM, dengan kata lain jika masyarakat adat mengalami atau melihat harus segera melapor kepada aparat penegak untuk membantu mengatasinya. Masyarakat adat harus mulai menyadari bahwa tradisi memang harus dihormati, namun bukan berarti tradisi dapat meniadakan nilai kemanusiaan. Dengan adanya kerjasama dan pembaharuan, eksistensi hukum terhadap tradisi adat dapat mulai terlihat.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM dan menghormati tradisi adat, membuat kedua hal tersebut harus berjalan beriringan. Dengan kata lain, penghormatan terhadap tradisi adat tidak dapat mengecualikan penegakan HAM. Eksistensi hukum terhadap tradisi yang melanggar HAM harus selalu ditegakan dan ditekankan. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia yang sudah ada dan mengatur, harus diberlakukan terhadap setiap pelanggar termasuk yang disebabkan oleh tradisi adat.

Bukanlah suatu hal yang mudah dalam mengatasi kasus pelanggaran HAM akibat tradisi adat maupun melakukan penegakan hak asasi manusia dalam lingkup masyarakat adat, oleh sebab itu diperlukan kerja sama antara negara, Komnas HAM, warga negara Indonesia, dan masyarakat adat setempat.

Sehingga, kasus kejahatan kemanusiaan mengatasnamakan tradisi adat dapat teratasi dan eksistensi hukum terhadap tradisi adat yang melanggar hak asasi manusia tidak lagi menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan. “Kematian memang rahasia Tuhan, tapi kejahatan kemanusiaan, tak boleh dibiarkan,” kata Najwa Shihab.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//