• Opini
  • Terancamnya Nasib Hak Ulayat Masyarakat Adat Indonesia

Terancamnya Nasib Hak Ulayat Masyarakat Adat Indonesia

Peraturan-peraturan baru yang meminggirkan hukum adat (hak ulayat) Indonesia kini terbukti menimbulkan banyak konflik antara masyarakat adat dan investor.

Raden Roro Azahra Fitriayu Nugroho

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Indonesia memiliki banyak masyarakat adat yang memiliki hak ulayat. Hak ini harus dihormati dan dijamin oleh negara. (Sumber: Kemendikbud RI)

4 Juli 2022


BandungBergerak.idJarang diekspos oleh media, nasib hak ulayat masyarakat adat Indonesia kini kian terancam. Dalam bukunya, Hukum Adat Indonesia, Dewi Wulansari mengatakan bahwa hak ulayat adalah hak bersama atas tanah atau hak persekutuan atas tanah.

Sebagaimana telah disebutkan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia merupakan “negara hukum” tetapi keberadaan hukum adat malah disimpangi dengan peraturan yang baru. Menjadi penting untuk diketahui bahwa hukum adat sebagai hukum yang paling terdahulu yang ada di Indonesia.

Peraturan-peraturan baru yang mengenyampingkan hukum adat Indonesia kini terbukti menimbulkan banyak konflik karena berbagai hal yang akan dijelaskan pada inti tubuh esai ini. Menjadi urgensi bagi pemerintah harus segera mengesahkan regulasi mengenai hak ulayat demi perlindungan hukum masyarakat adat Indonesia. Namun mengapa menjadi urgensi? Hal ini yang akan coba penulis bahas.

Gema Masyarakat Adat Demi Tanah Ulayat

Keberadaan tanah ulayat saat ini memang sudah diakui dalam Pasal 18 B Ayat (2) Konstitusi menjelaskan bahwa negara akan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI yang nantinya akan diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan pada ketentuan 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dapat ditafsirkan bahwa UU Agraria yang berlaku di Indonesia sudah mengakui adanya hak ulayat. Namun pada kenyataanya, konflik yang terjadi terkait dengan penggunaan tanah ulayat berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Timbul dari para investor yang semestinya berurusan langsung dengan masyarakat adat apabila ingin membuat suatu perjanjian tetapi malah mendapatkan hak tanah melalui pemerintah.

Hak individu dengan hak ulayat mempunyai hubungan yang lentur atau fleksibel (Afrizal, 2006). Hal tersebutlah yang membuat masyarakat adat selaku pemilik atas tanahnya protes karena tentu dengan adanya pihak investor yang menggunakan tanah mereka melalui izin pemerintah tersebut akan merugikan banyak pihak.

Sebagai salah satu contoh sengketa tanah adat terjadi antara masyarakat adat Barambang Katute dengan Pemerinta Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Diawali dari dikeluarkannya penetapan wilayah Kawasan Hutan Lindung Apparang tahun 1982 tanpa sepengetahuan masyarakat. Pada tahun 2005, Disbunhut menerapkan program GN-RHL di Bonto Katute sampai sebanyak 11 orang dilaporkan oleh Disbunhut dan dituduh merusak kawasan hutan lindung (Hutan Apparang). Tentunya masyarakat adat menolak karena merekalah yang mengelola lahan tersebut secara turun menurun.

Pada tahun 2010 dikeluarkan izin perpanjangan tambang kepada PT. Galena Sumber Energi di Desa Bonto Katute yang menimbulkan aksi perlawanan dari masyarakat adat dibantu dengan LSM dan organisasi mahasiswa. Konflik ini menjadi puncak dari perlawanan masyarakat terhadap pemerintah karena akhirnya didapatkan kesepakatan dengan DPRD Kabupaten Sinjai yang menyatakan bahwa masyarakat menolak eksplorasi tambang tersebut.

Selama konflik terjadi tentunya masyarakat merasakan dampak baik dari segi ekonomi maupun sosial. Konflik seperti ini terjadi karena belum ada legalitas yang jelas mengenai pengakuan tanah adat (tanah ulayat) di Indonesia.

Baca Juga: Hukum Indonesia Memandang Sebelah Mata Hukum tidak Tertulis (Hukum Adat)
Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri
NGULIK BANDUNG: Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Sejarah dan Tugas yang Diemban

Preventif dan Represif Pelestarian Hukum Adat

Dengan banyaknya konflik terkait tanah ulayat di Indonesia, maka penulis merasa perlu ada tindakan pemerintah baik secara preventif maupun represif. Tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah tentunya dengan mengesahkan berbagai regulasi yang masih menjadi rancangan. Salah satunya adalah Rancangan Undang-undang tentang Masyarakat Adat yang sudah mengakui adanya hak ulayat terhadap tanah adat melalui sertifikat hak ulayat.

Hal tersebut dapat dilihat dari bagian penjelasan Pasal 19 Huruf A. Pengaturan mengenai hukum adat lebih spesifiknya hak ulayat juga dapat dilakukan oleh masing-masing pemerintahan daerah yang dicantumkan dalam peraturan daerahnya. Kepala daerah setempat perlu menginternalisasi pengakuan terhadap hak ulayat dalam visi misi agar dapat disahkan dalam peraturan daerah masing-masing daerah.

Melihat belum ada legalitas yang jelas pada saat ini maka penulis berpendapat tindakan represif yang dapat apabila sudah terjadi konflik yang merugikan adalah dengan melakukan gugatan citizen lawsuit maupun class action. Masyarakat adat dapat menggugat secara class action sebagai pihak yang dirugikan langsung dan mendapat ganti rugi materiil atau immaterial atas itu. Begitu pula masyarakat Indonesia yang sudah sewajarnya membela ciri khas bangsa dapat melakukan gugatan citizen lawsuit kepada pemerintah agar dapat dilakukan penetapan yang dapat memperbaiki keadaan tanah ulayat akibat konflik yang terjadi.

Sebagai negara hukum, Indonesia sudah sepatutnya menghargai keberadaan hukum adat. Nilai-nilai luhur Indonesia tertuang dalam hukum adat yang sudah ada secara turun-menurun harus diakui keberadaannya. Tanah merupakan hal yang sangat penting apabila membicarakan tentang hukum adat. Hak ulayat yang kini tidak jelas legalitasnya menimbulkan banyak konflik yang sudah banyak merugikan masyarakat adat. Sehingga perlu diperhatikan oleh pemerintah agar ada regulasi yang jelas mengatur agar hak ulayat ini diakui keberadaannya. Hal ini dapat dilakukan dengan pengesahan Rancangan UU tentang Masyarakat Adat yang pada bagian penjelasan Pasal 19 Huruf A sudah mengatur mengenai adanya sertifikasi hak ulayat.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//