• Opini
  • Hukum Indonesia Memandang Sebelah Mata Hukum tidak Tertulis (Hukum Adat)

Hukum Indonesia Memandang Sebelah Mata Hukum tidak Tertulis (Hukum Adat)

Pemerintah daerah harus membuat sebuah kompilasi yang berisikan hukum tidak tertulis apa saja yang dianggap dan memiliki kedudukan setara dengan hukum tertulis.

Glen Fandy

Jurusan Hukum Unpar.

Ruang sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/12/2022). Hukum tidak tertulis (hukum adat) di Indonesia masih dipandang sebelah mata. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Juni 2022


BandungBergerak.idHukum tidak tertulis atau hukum adat merupakan suatu hal yang orisinil sebagai buah pikir masyarakat Indonesia terdahulu. Kondisinya kini miris karena kurang dihargai oleh generasi-generasi penerus yang saat ini memegang ujung tombak dari eksistensi hukum di Indonesia. 

Padahal, Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana disebutkan Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang Dasar 1945. Berdasarkan hal itu, penulis akan mencoba untuk memaparkan alasan bersama bukti-bukti yang sekiranya dapat mendukung argumen penulis tentang mengapa hukum Indonesia dikatakan memandang sebelah mata hukum tidak tertulis dalam masyarakat. Bersamaan dengan saran yang menurut penulis dapat mengatasi isu yang akan dibahas dalam penulisan esai ini.

Bagaimana RKUHP Memberi Solusi bagi Hukum tidak Tertulis?

Sempat menjadi polemik hangat terutama bagi para ahli hukum juga pembentuk undang-undang yang oleh penulis akan diangkat dalam esai ini, sehingga hal itu juga yang kemudian menjadi alasan mengapa di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat penambahan pasal sebagai sikap antisipatif dari lembaga legislatif selaku pembentuk undang-undang untuk menyiasati keadaan ini.

Persoalan realita bahwasanya hukum pidana positif dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana memiliki sikap yang acuh terhadap hukum pidana adat sebagai karya orisinil bangsa Indonesia yang senyatanya dan sudah menjadi kewajiban untuk kita hargai juga lestarikan. Namun ketentuan pidana yang saat ini kita pakai sekian lama sejak adanya aturan peralihan, tetap dipertahankan bersama realita bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu mengenyampingkan hukum tidak tertulis yang selanjutnya disebut sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat dan dalam hal ini contohnya hukum pidana adat.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Dalam pasal yang mengandung asas legalitas tersebut tertulis kata “perundang-undangan” di mana kata tersebut mengacu pada aturan tertulis. Sehingga dari itu juga dikatakan bahwa KUHP menentukan apakah suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak dengan sistem formil yang dengan kata lain mengacu pada aturan tertulis.

Sebagai simplifikasi, jika ada perbuatan yang menurut hukum adat atau menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap termasuk perbuatan yang melawan hukum, maka KUHP tidak akan mengatakan perbuatan tersebut bersifat melawan hukum karena KUHP hanya mengacu pada aturan tertulis. Tetapi mengapa KUHP bisa bersifat seperti itu? KUHP bersifat seperti itu karena bila kita lihat dari sudut pandang sejarahnya bahwa ketentuan pidana yang saat ini berlaku di Indonesia diadopsi dari Belanda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa segala Badan-badan Negara dan Peraturan-peraturan yang ada, masih berlaku sampai diadakan peraturan yang baru.

Berdasarkan aturan tersebutlah KUHP hingga saat ini berlaku yang tentu akan bersifat formil karena sebenarnya dibentuk oleh Belanda di mana Belanda mengenyampingkan hukum yang hidup dalam masyarakat demi terwujudnya unifikasi ketentuan pidana.

Selanjutnya mari kita lihat bagaimana ketentuan Pasal 1 Ayat 1 yang notabenenya merupakan asas legalitas dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dirumuskan. Pasal 1 Ayat 1 RKUHP yang berbunyi, “Tidak ada suatu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas ketentuan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”, kemudian dilanjutkan dalam Pasal 2 Ayat 1 RKUHP yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-undang ini”.

Tertuang jelas bahwasanya RKUHP bersifat materiil dalam arti menempatkan hukum tidak tertulis atau yang disebut sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP setara dengan hukum yang diterbitkan oleh lembaga berwenang. Mungkin timbul pertanyaan bagaimana persoalan kepastian hukum, mengetahui bahwa masyarakat itu luas dan pasti hukum yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat pun sangat heterogen.

Menyiasati hal tersebut, tertuang dalam lembar Penjelasan Pasal 2 Ayat 1 yang mengatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum maka pemerintah daerah harus membuat sebuah kompilasi yang berisikan hukum tidak tertulis apa saja yang dianggap dan memiliki kedudukan setara dengan hukum tertulis.

Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa RKUHP di sini sebagai sebuah mahakarya dari pembentuk Undang-undang di mana hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai warna dari masyarakat Indonesia bisa berkedudukan sama rata dengan aturan tertulis. Terlepas dari perdebatan yang masih ada sehingga pengesahan RKUHP ini tersendat, ketentuan pidana masa depan ini sudah sepatutnya segera disahkan sebagai bentuk kemajuan dalam dunia hukum pidana.

Baca Juga: Belum Maksimalnya Perlindungan Hukum terhadap Korban Bullying
Membedah PSK dengan Kacamata Hukum
Hukuman Mati, Menjunjung Keadilan atau Melanggar Hak Asasai Manusia?

UUPA Menyerang Eksistensi Tanah Ulayat

Hal yang heterogen sudah terbiasa ada di kehidupan kita sebagai masyarakat Indonesia, melihat latar belakang sejarah dari bagaimana masuknya berbagai agama di Indonesia, suku, budaya dan keberagaman lainnya. Menjadi latar belakang mengapa hingga saat ini pun persatuan bangsa Indonesia terus digempur oleh perbedaan yang ada. Selayaknya koin dengan dua sisi yang tak dapat dipisahkan di mana keberagaman yang ada menjadi nilai tambah serta ciri khas bagi Indonesia, namun di sisi lain juga menjadi bumerang bagi eksistensi persatuan bangsa Indonesia.

Salah satunya polemik yang ada dan selanjutnya akan diangkat oleh penulis yaitu berkenaan disahkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Ketika Undang-undang tersebut disahkan, terjadi protes dari masyarakat adat di mana keluarga adat tersebut mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena Undang-undang Pokok Agraria dianggap menghapuskan keberadaan tanah ulayat atau tanah kepemilikan bersama yang sudah sedari dulu menjadi budaya bagi masyarakat pemeluk adat. 

Sebagaimana dikutip dari Voai Indonesia dalam terbitan media massanya, di dalam berita tersebut disebutkan bahwa terjadi permasalahan antara masyarakat adat Dayak dan sebuah pabrik pengolah kelapa sawit di Kinipan, Kalimantan. Konflik tersebut terjadi karena sebuah hutan sawit yang sudah lama dikelola oleh masyarakat adat Dayak di sana begitu saja diambil dan dilakukan ekstraksi oleh pabrik tersebut. Pihak pabrik mengatakan bahwa hal yang dilakukannya itu sah-sah saja karena memang tidak ada pengakuan khusus dari bupati mengenai kepemilikan hutan tersebut sebagai tanah ulayat dari masyarakat adat Dayak sehingga bisa begitu saja diambil alih dan diakui sebagai hak milik dari pihak pabrik.

Bila kita telaah, hal ini sendiri sebenarnya bisa terjadi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria yang berbunyi, “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Memang benar bahwa tujuan dari pasal ini sendiri yaitu untuk menjamin kepastian hukum yang di mana hal itu merupakan hal positif. Tetapi tampaknya tak selalu kebaikan akan sepenuhnya baik dalam kiasan selalu ada gelap di dalam terang, selalu ada putih di dalam hitam dan selalu ada panas yang membakar dalam api yang juga menghangatkan.

Memang betul bahwa Indonesia yang merupakan negara rumpun Civil Law di mana aturan tertulis terbitan lembaga berwenang selalu diutamakan. Bila kita melihat salah satu perbedaan dari negara rumpun Civil Law dan Common Law, yaitu di dalam Civil Law kita mengenal adanya Hukum Administrasi, di mana hukum tersebut menjadi landasan bagi pemerintah dalam bergerak menyelenggarakan serta menjamin kesejahteraan masyarakat juga sekaligus melindungi hak-hak rakyatnya.

Namun dengan bukti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya tentang gugatan dari masyarakat adat Dayak, sepertinya Undang-undang Pokok Agraria di sini masih memiliki kekurangan yang menyerang kepentingan hukum masyarakat adat. Kembali ke poin yang ingin disampaikan dalam penulisan esai ini mengenai pernyataan bahwa seharusnya kita sebagai pengendali kemudi hukum Indonesia lebih bisa menghargai apa yang sudah sedari dulu ada di Indonesia, selain hal itu juga menjadi ciri khas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri.

Sampai pada penghujung esai ini, penulis ingin menyampaikan pendapatnya serta saran yang mungkin dapat diberlakukan menyikapi masalah yang ada. Bersama ketidaksempurnaan dan ilmu pengetahuan yang masih terbatas, penulis paham bahwasanya RKUHP masih berada di tengah perdebatan sehingga masih belum bisa disahkan. Tetapi apa yang ingin ditekankan di sini bukan persoalan polemik yang ada, justru persoalan bagaimana Pembentuk Undang-undang bisa menyiasati keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat agar selaras dan berkedudukan setara dengan aturan diterbitkan oleh lembaga berwenang.

Berhubungan dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur tentang agraria atau pertanahan di Indonesia beserta keberadaan adat tanah ulayat di Indonesia, seharusnya dilakukan revisi terhadap UUPA agar lebih mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat dan dalam hal ini yaitu tanah ulayat sendiri sebagai perspektif utama.

Hal tersebut menjadi urgensi karena berbagai hukum adat seperti tanah ulayat, lokika sanggraha dan ketentuan adat lainnya seperti kita ketahui merupakan ciri khas dan pembeda dari negara lainnya. Selain itu juga hukum adat menjadi bentuk orisinalitas Indonesia yang tak kalah dengan hukum-hukum dari luar Indonesia seperti dalam sejarah pembentukan Wetboek van Strafrecht, Burgerlijk Wetboek, dan hukum lainnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//