• Opini
  • Belum Maksimalnya Perlindungan Hukum terhadap Korban Bullying

Belum Maksimalnya Perlindungan Hukum terhadap Korban Bullying

Anak yang pernah menjadi korban kekerasan atau pernah menyaksikan perkelahian orang tuanya atau orang terdekatnya cenderung akan melakukan aksi bullying.

Gabriella Amanda

Mahasiswi Jurusan Hukum Unpar.

Murid kelas 6 di sebuah SDN di Bandung menjalani ujian berbasis online, Jumat (17/5/2022). Perundungan kerap terjadi di lingkungan sekolah, semua pihak harus mencegahnya. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Juni 2022


BandungBergerak.idKasus bullying di Indonesia dapat dialami remaja hingga dewasa dan dalam berbagai bentuk bullying, baik verbal melalui perkataan maupun secara fisik melalui perbuatan. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, hasil salah satu survei membuktikan bahwa bullying yang terjadi pada umur 12-17 tahun mencapai 84 persen di Indonesia. Mayoritas korban mengalami bullying berjenis cyber bullying atau perundungan secara maya.

Cyber bullying merupakan suatu bentuk perundungan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi digital yang semakin maju. Cyber bullying merupakan salah satu dampak buruk dari kemajuan teknologi tanpa pengetahuan lebih lanjut atau pengaturan ketat mengenai siapa saja yang bisa memanfaatkan teknologi dengan bertanggung jawab. Pelaku dan korban tidak tatap muka secara langsung namun menggunakan media digital seperti sosial media yang mudah di unduh oleh siapa pun sebagai perantaranya.

Pada tahun 2021, tercatat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah terjadi sebanyak 17 kasus bullying yang melibatkan peserta didik. Dengan cukup tingginya kasus bullying, masyarakat menjadi mempertanyakan keberadaan hukum sebagai pelindungnya.

Pada umumnya, anak yang pernah menjadi korban kekerasan atau pernah menyaksikan perkelahian orang tuanya atau orang terdekatnya cenderung akan melakukan aksi bullying. Hal ini dikarenakan seorang anak mudah untuk mengimitasi kebiasaan dari orang tua maupun orang di sekitarnya.

Aksi bullying dapat teridentifikasi melalui beberapa karakteristik khusus yang biasa ditunjukkan baik oleh pelaku maupun korban bullying. Secara psikologis, pelaku akan bertindak secara agresif, mendominasi, emosional dan terlihat lebih kuat secara fisik. Secara psikologis, korban memiliki kemampuan yang berbanding terbalik dengan pelaku, biasanya korban bersifat lebih pemalu dan memiliki perbedaan secara fisik seperti dalam hal warna kulit, tinggi badan, perbedaan ras, suku bangsa, agama, etnis dan lain-lain. Dilihat dari karakteristik pelaku dan korban bullying, keduanya sangat berbeda secara psikologis maupun fisik sehingga mudah untuk mengidentifikasi jika ada aksi bullying.

Baca Juga: Membedah PSK dengan Kacamata Hukum
Hukuman Mati, Menjunjung Keadilan atau Melanggar Hak Asasai Manusia?
Kebebasan Berpendapat di Media Sosial Ditinjau dari Perspektif Hukum dan HAM

Dampak Serius Perundungan

Ada satu hal esensial yang kerap kali diabaikan oleh orang-orang di sekitar yang menyadari adanya aksi bullying, yaitu ketidakpedulian terhadap sesama. Kurangnya kepedulian terhadap sesama menyebabkan masih terjadinya kasus bullying terkhusus di lingkungan sekolah yang meliputi pihak-pihak outsider yang mencakup guru, murid lain, orang tua yang walaupun mereka menyadari adanya aksi bullying tapi tidak melapor ke pihak yang berwenang. Bahkan mereka yang menyaksikan aksi ini ikut melakukan aksi bullying karena dianggap seru dan keren karena bisa merundung seseorang. Sehingga seakan-akan semua orang menormalisasikan kebiasaan bullying ini dan akan terus berputar untuk melampiaskan dendam korban. Hal tersebut dapat menciptakan situasi sekolah yang tidak nyaman dan menjadi menakutkan bagi anak-anak lainnya yang bukan pelaku maupun korban.

Padahal, dampak dari bullying cukup menakutkan. Secara psikologis, korban akan depresif, marah, timbul perasaan tidak enak, mudah cemas, selalu gelisah, berani untuk menyakiti diri sendiri bahkan sampai pada percobaan bunuh diri. Selain itu, ada juga dampak sosial dari bullying yaitu korban akan cenderung menghindari keramaian, tidak percaya diri di depan publik, dan cenderung bertindak secara agresif dan emosional terhadap teman dan keluarga. Pada akhirnya, kebiasaan bullying dapat berdampak pada tumbuh kembang anak yang berdampak negatif di kemudian hari.

Kasus bullying yang tercatat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) belum mencakup korban-korban yang tidak berani melapor ke pihak yang berwenang. Alasan para korban tidak berani melapor adalah terkadang korban diancam oleh pelaku bila melapor dan merasa dirinya dipermalukan sehingga memilih untuk diam. Padahal, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) telah menjamin mengenai perlindungan anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dapat dilihat bahwa setiap anak sudah menerima perlindungan hukum yang sudah dijamin oleh negara, hanya saja keberanian untuk berbicara dan melapor yang belum maksimal.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menegaskan bahwa peranan guru dan orang tua tidak boleh lepas serta harus memberikan contoh yang baik pada anak-anaknya. Disarankan juga di dalam lingkungan sekolah sebaiknya ada tempat yang aman untuk anak-anak bercerita seperti ruang konseling beserta dengan gurunya.

Untuk lebih memaksimalkan peranan dari guru dan orang tua, diperlukan juga untuk mengadakan sosialisasi mengenai undang-undang yang menjamin perlindungan bagi anak-anak agar mereka mengetahui bahwa mereka dilindungi. Dengan mengetahui bahwa mereka dilindungi, diharapkan mereka akan lebih berani untuk berbicara dan melapor ke pihak yang berwenang.

Berdasarkan pemaparan mengenai korban bullying di atas, dapat diketahui bahwa para korban sebetulnya sudah menerima perlindungan hukum di negara ini. Hanya perlu ditekankan beberapa hal agar perlindungan hukum yang diberikan dapat diberlakukan secara maksimal dan dapat membantu mengurangi angka kasus bullying di Indonesia. Salah satu caranya yaitu melalui sosialisasi yang didukung oleh pihak sekolah maupun masyarakat dengan target utama pihak sekolah, murid, guru dan orang tua murid.

Sosialisasi tersebut dapat berupa berbagi pengetahuan mengenai hukum, workshop atau dalam bentuk presentasi serta film agar lebih menarik bagi anak-anak. Hal ini ditujukan untuk mengurangi dampak-dampak buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari terhadap para korban. Jika penyampaian sosialisasi tepat pada sasaran audiensnya, maka masa depan penerus bangsa tidak terhalangi oleh trauma masa lalu yang menyelimuti pikiran mereka.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//