Mengapa Transgender di Indonesia masih Terus Didiskriminasi?
Terdapat studi kasus bahwa masih terdapat Peraturan Daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas seksual.
Audrey Prajna Aulia
Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
30 Juni 2022
BandungBergerak.id - Hak Asasi Manusia pada dasarnya berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali, tetapi pada kenyataannya terdapat berbagai kelompok minoritas yang tidak mendapat perlakuan yang sama. Di Indonesia sendiri terdapat dua identitas gender yang diakui yaitu perempuan dan laki-laki. Hal ini menyebabkan, kaum minoritas seperti transgender sulit merasa diterima di Indonesia.
Transgender sendiri adalah istilah umum untuk individu yang identitas gendernya berbeda dari apa yang diberikan kepada mereka saat lahir. Transgender berurusan dengan identitas gender; dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki saat lahir, tetapi mengidentifikasi dengan lawan jenis yang ditetapkan saat lahir. Karena identitas ini tidak biasa dan dianggap sebagai penyakit mental oleh masyarakat Indonesia, mereka merasakan begitu banyak diskriminasi yang sangat ekstrem dan keras. Transgender merupakan manusia juga seperti identitas gender lainnya, maka dari itu transgender berhak diperlakukan seperti manusia biasa oleh masyarakat Indonesia tanpa adanya diskriminasi.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap transgender merupakan penyakit mental. Riset yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menyatakan bahwa pandangan terhadap kelompok transgender sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti agama, budaya, kelompok sosial, keluarga, media, gender dan interaksi dengan individu LGBT.
Hal ini menyebabkan banyaknya keberagaman dalam pandangan masyarakat Indonesia terhadap transgender. Bagi masyarakat yang pemikirannya didasari oleh agama, transgender ini masih sangat tabu. Ditambah pada tahun 2015 MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan menyatakan bahwa seseorang yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan dan ditegaskan sebagai penyimpangan yang harus diluruskan.
Baca Juga: Jawa Barat Terus Bergelut dengan Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Mengapa Pegiat HAM tidak Setuju Pelaku Kejahatan Seksual Dihukum Mati?
Komnas HAM Beberkan Potret Kekerasan Negara terhadap Rakyatnya dalam Kurun 2020-2021
WHO: Transgender Bukan Penyakit Mental
Sedangkan World Health Organization dalam buku ICD-11, versi terbaru standar global untuk informasi kesehatan dan penyebab kematian di dalamnya tertulis bahwa masalah transgender sudah tidak diklasifikasi sebagai gangguan mental seperti dalam versi sebelumnya yaitu ICD-10. Dalam versi terbaru tertulis bahwa inkongruensi gender didefinisikan sebagai ketidaksesuaian yang nyata dan terus-menerus antaragender yang dialami seseorang dan jenis kelamin yang ditetapkan. Maka dari itu sebenarnya sudah tidak dapat dikatakan lagi bahwa transgender adalah penyakit mental. Transgender nyata adanya dan mereka berhak memilih identitas yang mereka inginkan.
Stigma yang terbentuk dalam masyarakat ini mengakibatkan diskriminasi terhadap transgender. Kata-kata seperti “sesat” dan “menyimpang” sepertinya selalu menempel pada individu transgender. Stigma ini lalu berdampak pada diskriminasi terhadap transgender dalam lingkungan sekolah, kerja, layanan kesehatan hingga Hak Asasi Manusianya.
Terdapat studi kasus bahwa masih terdapat Peraturan Daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas seksual. Pada Peraturan Daerah Kota Bogor No. 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual, pada Pasal 6 tertulis bahwa laki-laki penyuka laki-laki (homoseksual), perempuan penyuka perempuan (lesbian), biseksual, dan waria (transvetisme) termasuk dalam perilaku penyimpangan seksual yang harus diberantas. Hal ini akan terlihat bahwa kekerasan terhadap kaum transgender dibenarkan oleh pemerintah. Stigma yang sudah ada pada masyarakat akan semakin parah. Diskriminasi yang seharusnya diberantas, malah tanpa sengaja didukung oleh pemerintah.
Stigma-stigma yang didukung oleh agama, lingkungan sosial, dan pemerintah menghasilkan sebuah ketakutan masyarakat terhadap kaum transgender. Merasa bahwa transgender adalah sebuah penyakit yang menular yang harus dijauhkan dan dihindari. Alhasil kaum transgender sulit mendapat pekerjaan, teman, diasingkan oleh keluarga dan lain sebagainya.
Teman-teman transgender juga kesulitan dalam mendapatkan layanan publik karena terdapat diskriminasi dari petugas pelayanan. Kesulitan yang dilewati oleh transgender tiap harinya seharusnya tidak boleh dirasakan oleh transgender. Pada dasarnya setiap manusia memiliki derajat dan hak yang sama mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia tanpa pandang bulu. Sama halnya dengan teman-teman transgender yang sedang memperjuangkan haknya.
Teman-teman transgender sudah merasa terperangkap di tubuh yang salah tidak seharusnya kita sebagai masyarakat Indonesia memenjarakan transgender dengan memberikan lingkungan yang tidak mendukungnya. Toleransi adalah hal yang paling mudah yang dapat kita lakukan. Di luar agama, gender, suku, dan kelompok sosial kita tetaplah manusia. Tidak seharusnya kita mendiskriminasi dan membeda-bedakan manusia. Semua manusia berhak atas hak-haknya, begitupun transgender. Ke depannya pemerintah diharapkan dapat menertibkan peraturan-peraturan yang diskriminatif. Transgender juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia, mereka patut didukung oleh negara.