Catatan Akhir Tahun 2021 LBH Bandung: Ruang Demokrasi Menyempit, Pembela HAM Kian Terancam
Sepanjang tahun 2021, LBH Bandung menangani 134 aduan yang datang dari berbagai daerah di Jawa Barat. Ancaman terhadap pembela HAM kian menguat.
Penulis Delpedro Marhaen19 Januari 2022
BandungBergerak.id - Para pembela hak asasi manusia (HAM) di Jawa Barat hari ini harus berhadapan dengan semakin banyak bahaya dan ancaman demi mengatakan kebenaran. Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Bandung mengungkapkan, sepanjang 2021 terjadi 6 peristiwa serangan terhadap pembela HAM, mulai dari ancaman kekerasan hingga kriminalisasi.
Direktur LBH Bandung Lasma Natalia, menilai situasi HAM di Jawa Barat, sama seperti yang terjadi di tingkat nasional, berada pada titik mengkhawatirkan. Catatan LBH Bandung, mengungkapkan bahwa situasi HAM di Jawa Barat masih diselimuti penyempitan ruang demokrasi karena meningkatnya angka kriminalisasi terhadap pembela HAM. Serangan tersebut menyasar pembela HAM di sektor perburuhan, lingkungan hidup, kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan akademik, dan pengabdi bantuan hukum.
“Penyebabnya adalah ancaman dan hambatan, terutama angka kriminalisasi terhadap pembela HAM itu sangat tinggi,” ungkap Lasma dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun 2021 sekaligus pembukaan Kelas Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) Angkatan ke-27 LBH Bandung di Kator Sinode Gereja Kristen Pasundan, Kota Bandung, Senin (17/1/2022).
LBH Bandung menandai beberapa pola yang digunakan dalam menyerang pembela HAM. Yang utama adalah dengan cara kekerasan fisik secara langsung. Cara lainnya, menggunakan pasal-pasal karet sebagai jerat pidana serta upaya-upaya administratif seperti gugatan dan sanksi drop out.
“Baik itu dia pengabdi bantuan hukum, buruh, pejuang lingkungan, kelompok minoritas, mahasiswa, atau masyarakat sipil lainnya, semua mengalami hal yang sama, yaitu ancaman dan kriminalisasi,” kata Lasma.
Menurut Lasma, pembungkaman ruang demokrasi dan gerakan masyarakat sipil ketika sedang memperjuangkan haknya itu dilegitimasi sejumlah regulasi. Misalnya, oleh pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Minerba terbaru, serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di Jawa Barat, jerat UU ITE digunakan kepada aktivis lingkungan dan seorang pendeta yang juga pejuang keberagaman.
Lebih jauh lagi, langgengnya praktik pemberangusan dan serangan terhadap gerakan rakyat itu ditengarai sebagai ciri dari menguatnya otoritarianisme negara. Artinya, ada kebebasan rakyat yang dilemahkan, berimbas pada menyusutnya ruang demokrasi yang kemudian hanya berkutat pada ajang berebut kekuasaan, bukan tentang kedaulatan rakyat.
Menangani 134 Aduan
Sepanjang tahun 2021 lalu, LBH Bandung tercatat menangani 134 aduan dengan layanan berbentuk konsultasi, asistensi, dan pendampingan hukum. Mayoritas aduan masih datang dari kota dan kabupaten di kawasan Bandung Raya.
Aduan kasus paling banyak datang dari Kota Bandung, mencapai 84 kasus. Urutan kedua terbanyak dicatat oleh Kabupaten Bandung dengan 24 kasus. Menyusul kemudian Kabupaten Bandung Barat dengan 9 kasus, Garut 3 kasus, serta Sumedang dan Pangandaran dengan masing-masing 2 kasus.
Berdasarkan segmentasi kasusnya, LBH Bandung menangani 69 kasus masyarakat umum, yakni layanan berbentuk konsultasi hukum yang berjalan setiap harinya. Kasus perempuan dan anak menjadi kedua terbanyak. Sepanjang 2021, terjadi 32 kasus yang melibatkan perempuan dan anak.
LBH Bandung juga menangani 16 kasus yang melibatkan isu buruh, 12 kasus mengenai isu rakyat miskin kota, dan 6 kasus mengenai isu agraria dan lingkungan. Sementara itu, kasus sipil politik tercatat sebanyak 3 kasus.
Baca Juga: Data Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia 2015-2021, meski Jumlah Kasus Relatif Menurun, Situasi HAM di Indonesia Belum Tentu Membaik
Hari Demokrasi Internasional 2021: Maraknya Parade Kekerasan dan Serangan terhadap Pembela HAM
Komnas HAM Beberkan Potret Kekerasan Negara terhadap Rakyatnya dalam Kurun 2020-2021
Kriminalisasi Buruh
Aan Aminah, mantan buruh CV. Sandang Sari, juga seorang pengurus F-Sebumi (Federasi Serikat Buruh Militan) dipidanakan karena menggigit lengan petugas keamanan perusahaan sebagai upaya membela diri. Pihak perusahaan melaporkan Aan ke Polsek Antapani atas dugaan telah melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. Pada tanggal 22 Oktober 2020. Aan ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini berawal dari upaya Aan beserta anggota F-Sebumi menuntut hak upah para buruh yang dipotong serta pembayaran tunjangan hari raya (THR) secara berangsur Kebijakan soal upah dan THR yang diberlakukan secara sepihak tanpa melalui mediasi ini memicu para anggota serikat untuk menggelar aksi. Nahas, inisiatif tersebut berbuntut panjang.
Kendati putusan Pengadilan Negeri Bandung membebaskan Aan Aminah terkait tindak penganiayaan ringan yang dituduhkan kepadanya, upaya kriminalisasi berlanjut. Kasasi dilayangkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), enam hari setelah Aan divonis bebas. JPU memohon Mahkamah Agung membatalkan putusan bebas Aan serta menyatakan ia bersalah atas tindak pidana penganiayaan.
Jerat UU ITE
Terjadi dua kasus kriminalisasi terhadap pembela HAM menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sepanjang tahun 2021. Salah satunya yang menjerat pembela HAM di sektor lingkungan. Abah Atang yang dikriminalisasi setelah mengkritisi peralihan fungsi lahan ruang terbuka hijau kawasan Bandung Utara oleh PT DAM.
Kasus lain dialami Pendeta Ferdinand dan Pendeta Franky yang dilaporkan ke Polda Jabar atas dugaan pencemaran nama baik. Mereka mengunggah kesaksian jamaahnya mengenai adanya gangguan dalam menjalan ibadah Jumat Agung di rumah ibadah ketika menjalani hari Paskah.
Serangan terhadap Penolakan Tambang
Kasus bermula dari aksi warga yang tergabung Aliansi Masyarakat Peduli Galunggung (AMPEG) dalam menolak tambang pasir di Blok Leuweung Keusik, Kampung Pasir Ipis, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. AMPEG meminta kepada Dinas ESDM Jabar untuk memberikan hasil kajian ulang soal tambang pasir dan menagih janji Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, untuk segera mencabut Izin Usaha Penambangan (IUP) CV. Trican yang dinilai merusak lingkungan dan ekosistem alam.
Penolakan itu lantas berbuntut pada kriminalisasi terhadap pembela HAM yang memperjuangan lingkungannya tersebut. Sebanyak 6 orang dari AMPEG dipidanakan karena dianggap menghalang-halangi kegiatan pertambangan galian C di kawasan tersebut. Undang-undang Minerba menjadi dasar untuk mempidanakan keenam pembela HAM ini.
Protes Berujung Di-DO
Muhamad Ari diberhentikan alias di-drop out sepihak sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia Membangun (STIE Inaba) Bandung. Pangkalnya karena Ari aktif dalam Aliansi Mahasiswa Inaba, perhimpunan yang getol mendesak pemotongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di masa pandemi Covid-19.
Dalam salinan surat keputusan pemberhentian Ari, dijelaskan bahwa Ari diberhentikan dengan dasar surat rekomendasi Tim Komisi Etik Mahasiswa Nomor 02/TKEM-2/VIII/2021 tertanggal 23 Agustus 2021 tentang Pelanggaran Etika Mahasiswa STIE Indonesia Membangun (Inaba). Kampus memperimbangkan perihal menjaga kualitas lulusan dan pendidikan. Pertimbangan selanjutnya perihal mahasiswa yang tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan studi.
Serangan Fisik terhadap Pembela HAM
Kasus kekerasan fisik dialami seorang Pengabdi Bantuan Hukum dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Jawa Barat. Ia dianiaya ketika sedang menjalani pendampingan hukum. Kala itu ia mendampingi warga Tamansari Bandung yang menolak rumah deret.
Kisruh antara warga yang menolak dan mendukung pembangunan rumah deret di Tamansari, Bandung, jadi akar persoalan kasus kekerasan ini. Pengabdi bantuan hukum yang mendampingi kasus ini kerap mendapatkan serangan fisik dari pihak yang mendukung proyek ini. Naasnya, kata LBH Bandung, berbagai bentuk kekerasan, intimidasi, dan berbagai ancaman ini justru dibiarkan oleh pihak kepolisian.
HAM di Bandung
Sepanjang 2021, LBH Bandung menilai ruang kebebasan masyarakat sipil di kota Bandung telah direnggut negara dengan dalih keamanan dan kondusivitas. Ada mural-mural kritik yang dihapus, serta aktivis buruh yang ditangkap dan serikatnya diberangus. Kemudian teror UU ITE di dunia maya yang siap menjerat siapa saja pengkritik pemerintah.
Bahkan di institusi pendidikan sekalipun, bayang-bayang penyempitan ruang kebebasan sipil terus mengintai. Institusi pendidikan, dalam hal ini perguruan tinggi, kata Lasma, seharusnya dapat menjadi ruang aman bagi pemikiran. Namun, yang terjadi sepanjang 2021 kampus justru jadi salah satu tempat tumbuh kembangnya pemberangusan kebebasan berpendapat itu sendiri.
Senada dengan LBH Bandung, aktivis mahasiswa dari Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB), Ilyasa Ali Husni, mengatakan situasi HAM di kota Bandung jauh dari jargon “Kota Ramah HAM”. Menurutnya, ada persoalan mendasar yang jarang terjamah oleh publik, yakni persoalan hak atas pendidikan yang tidak merata.
Ilyas menilai yang terjadi di kota Bandung bukan hanya perihal pemberangusan HAM saja, melainkan sedari awal HAM itu sendiri tidak dipenuhi dan dihormati oleh pemerintah. Ia tak merasakan ada regulasi atau sebuah komitmen dari pemerintah untuk pemerataan akses terhadap pendidikan. Permasalahan mendasar lainnya mengenai kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Salah satunya adalah akses air bersih yang masih sulit.
“Dengan tidak dipenuhinya kebutuhan mendasar masyarakat, yakni pendidikan dan akses terhadap air bersih, menurut saya, ini sudah bentuk pembiaran ataupun tindakan langsung pemerintah dalam gagalnya pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar tersebut. Saya rasa itu persoalan pelanggaran HAM di Kota Bandung juga,” ujarnya.