PAYUNG HITAM #10: Agustus, Menerka Merdeka dalam (Belenggu) Kebebasan
Ibu-ibu nyaman berkomunikasi dengan para tetangganya di grup WhatsApp komplek dan bapak-bapak yang asyik janjian main gapleh gak perlu diintip oleh negara lewat PSE!
Rama Zatriya Galih Panuntun
Pegiat Aksi Kamisan Bandung.
11 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Undang-Undang kita berfatwa bahwa: Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadila”.
Fatwa hanyalah sekadar fatwa jika tak diiringi oleh implementasi yang penuh dengan kesungguhan. Baik implementasi yang akan diterapkan oleh sang pembual fatwa maupun jamaahnya dalam mengerti eja maknanya.
Bagaimana kita merdeka di angka yang sudah sepuh di 77 tahun, tahun ini. Sudah sepuh dan renta akan banyak godaan pandangan ideologi baik di dalam maupun di luar negeri yang terus menghantui bangsa ini.
Tidak berhenti pada perayaan setiap 17-an, kemerdekaan adalah napas seluruh insan. Bagaimana kita ingin merdeka wong berekspresi saja lho dilarang? Bagaimana kita ingin berkeyakinan dengan nyaman wong kita saling bongkar dan saling silang pendapat hingga rumah adat orang lain. Lha bagaimana kita ingin menaruh percaya pada ibu bapak pemerintah, wong kita diberi banyak kecewa daripada bukti yang dijanjikan di muka?
Komnas HAM mencatat sepanjang tahun 2020-2021 terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Angka tersebut berasal dari 29 kasus pengaduan masyarakat dan 15 kasus dari media monitoring yang dilakukan oleh Tim Pemantauan Situasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat.
Komnas HAM juga mengidentifikasi lebih mendalam terkait pola serangan digital dalam konteks kebebasan berpendapat dan berekspresi. “Ada sembilan bentuk serangan digital. Dari sembilan tindakan tersebut, tindakan kekerasan atau hijacking adalah modus yang paling tinggi dalam kasus pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ucap Anggota Tim sekaligus Analis Pelanggaran HAM Arief.
Yang paling anget adalah polah Kominfo dalam memblokir beberapa situs dan aplikasi dalam rangka menjaga “kedaulatan bangsa”. Sehararusnya pemerintah dalam hal ini Kominfo belajar dari kasus pembatasan layanan internet di Papua beberapa waktu lalu.
Kominfo jelas dinyatakan telah melakukan pelanggaran hukum karena asal melakukan pemblokiran dan melanggar hak asasi warganet. Eh, kali ini masih melakukan hal yang sama. Lebih jauh, ada beberapa aturan dalam Perkominfo 20/2022 yang berpotensi melanggar hak privasi masyarakat. “Seperti penghapusan konten sepihak, hingga pemberian akses akun privat ke negara.
Kebijakan (yang lagi-lagi) merugikan banyak orang yang menggunakan satu dua aplikasi sebagai mata pencaharian utama mengundang gelombang protes hingga #BlokirKOMINFO di twitter pun sempat melayang trending.
Bayangkan jika hari ini tidak ada lagi ruang privasi atau kebijakan yang berpihak pada rakyat minimal untuk membuat rakyat tenang mengantar anaknya ke sekolah, ibu-ibu nyaman berkomunikasi dengan para tetangganya di grup WhatsApp komplek dan bapak-bapak yang asyik janjian main gapleh gak perlu diintip oleh negara lewat PSE!
Saatnya kita raih kebali hak-hak dasar yang kita miliki guna mewariskan kewarasan pada generasi selanjutnya. Upaya ini lebih mahal daripada menurunkan jabatan bahkan kursi kekuasaan!
Blok Pelajar Politik telah memulai protes dengan “mengencingi” pikiran gapura Kominfo hari ini (01/08)[Tempo.co].
Kita berhak mengutarakan ekspresi pujian hingga makian pada wakil rakyat yang kita beri mandat! Undang-undang 1945 sebagai landasan tertinggi menjamin bahwa Pasal 28E ayat (3) yang jelas menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #7: 9 Tahun Aksi Kamisan Bandung, Kota Kembang (masih) tidak Ramah HAM
PAYUNG HITAM #8: RKUHP dan Rendahnya Komitmen Pemerintah dalam Melindungi Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
PAYUNG HITAM #9: Aku Ingin Ikut Aksi Tanpa Direpresi!
Muka Kolonial Kebebasan Akademik, Mati Suri Jiwa Raga Pendidikan Kita
Tidak berhenti dalam mimbar berpendapat, nyatanya berpikir dijaman milenial kini terkesan kolonial. Kenapa? Karena kemerdekaan dalam lingkup akademik (baca: kebebasan akademik) dan kebebasan dalam beragama-berkeyakinan masih berwatak penindasan dan rimbun akan pelecehan.
Kebebasan akademik yang diyakini sebagai laboratorium merdeka dalam menciptakan ilmuwan berkaliber padi dalam etika dan berstandar NASA dalam prestasi, justru diciderai dengan pelecehan hingga kekerasan seksual, pembungkaman aspirasi pelajar-mahasiswa hingga pembunuhan baik karakter maupun raga di kelas-kelas.
Buku Merebut (kembali) Ruang Akademik mengantarkan kita untuk membaca sekaligus memahami kebebasan akademik tercoreng. Gubahan Luthfian Haekal dan Ahmad Shalahuddin menyoroti tiga aktor—negara, korporasi, dan kampus—yang diduga menjadi penjerat kebebasan akademik. Mereka kerap memberangus kebebasan akademik baik dengan jalur keras maupun secara halus. Bentuk pemberangusan yang dilakukan juga bersimplifikasi terhadap berkembangnya neoliberalisme dalam pendidikan. Kampus yang notabene menghasilkan pemikiran-pemikiran dengan orientasi pada kemajuan agaknya hanya memproduksi para kuli yang bebas dieksploitasi oleh korporasi demi menggaet keuntungan sebesar-besarnya. Ironinya hal ini didukung negara melalui kebijakan-kebijakan yang menyeret kampus menjadi “binatang peliharaan” yang menuruti tuannya [Lini Kampus].
Kekerasan seksual dan pembunuhan dalam selimut pengkaderan hanya puncak gunug es yang dapat dilihat. Misalnya, menurut siaran pers Komnas Perempuan tentang Catatan Tahunan (Catahu) 2022, tercatat sebanyak 338.496 kasus. Kasus kekerasan seksual ini telah diadukan pada tahun 2021. Yogyakarta, misalnya, memiliki angka kekerasan seksual yang diterima LBH Yogyakarta sejak Maret 2020 hingga April 2021 sebanyak 42 kasus dan LSM Rifka Annisa WCC, sejak Januari-April 2021, juga menerima aduan kekerasan seksual sebanyak 350 kasus yang terjadi di DIY.
Data tersebut tidak serta merta menjadi data keseluruhan kekerasan seksual yang terjadi karena berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek pada tahun 2020 di 29 kota pada 79 kampus, terdapat 63 persen kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata-mata untuk tetap menjaga nama baik kampus.
Terbaru, tewasnya mahasiswi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Zhifarah Azis Syah Alam (20) saat mengikuti perkaderan tingkat senat Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, menambah warna gelap pemberangusan kebebasan akademik yang harus meregang nyawa [detik.com].
Pekerjaan rumah yang tidak ringan dan tidak mudah pula bagi kita semua untuk menciptakan sendi-sendi kebebasan dalam segala urusan. Kebebasan bukan dalam artian sebebas-bebasnya namun mengamini hak pribadi dan komunal dalam teras kemanusiaan agar mampu menyapu masalah hingga penyakit yang sudah kolot melekat pada mereka yang tak paham kemerdekaan!
Jangan Diam, Lawan!
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung