Mengkritik Pemblokiran PSE Berujung Serangan Digital
Pembiaran terhadap serangan digital pada para pengkritik pemblokiran PSE adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.
Penulis Delpedro Marhaen3 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Para penolak kebijakan pemblokiran penyelenggara sistem elektronik (PSE) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mendapatkan intimidasi lewat serangan digital. Setidaknya ada 10 orang yang menjadi korban. Menanggapi hal tersebut Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena mengatakan pembiaran serangan digital kepada suara kritis ini adalah bentuk pembungkaman.
“Peretasan dan pelecehan digital kembali ditujukan kepada orang-orang yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, seakan untuk membuat kita gentar mengungkapkan kritik kita.” kata Wirya, pada Senin, (8/3/2022).
Wirya mengatakan bahwa pihak berwenang tidak serius menangani kasus serangan digital ini dan kasus-kasus serupa. Ia menegaskan hal seperti ini sudah sering berulang, namun tetap dibiarkan. Menurutnya pembiaran ini sama saja dengan membenarkan tindakan intimidasi lewat serangan digital untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi.
“Karena itu kami mendesak pemerintah dan penegak hukum untuk menunjukkan secara nyata komitmen melindungi kebebasan berekspresi sebagaimana yang sering disampaikan dalam pernyataan publik, dan mengusut kasus ini secara transparan, akuntabel dan jelas. Jika ada bukti yang memadai, semua pelaku peretasan dan intimidasi wajib ditangkap, dibawa ke persidangan yang adil dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku.” tegasnya.
Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, sepanjang 2021 ada setidaknya 26 kasus peretasan atau serangan digital terhadap setidaknya 52 akun pembela HAM, yang terdiri dari aktivis, jurnalis, akademisi, dan mahasiswa. Padahal, kata dia, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum.
“Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di pasal 19 di ICCPR serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” katanya.
Wirya Adiwena juga mengingatkan pemerintah agar mendengarkan suara-suara penolakan dari masyarakat mengenai pemberlakuan Permenkominfo 5/2020 yang berpotensi melanggar hak atas informasi dan privasi.
Sementara lembaga kajian demokrasi dan aktivisme masyarakat Public Virtue Research Institute (PVRI) mengatakan bahwa kebijakan Permenkominfo 5/2020 ini memberi wewenang pemerintah untuk memaksa platform digital mengungkapkan data pengguna, bahkan hingga penghapusan konten. Menurutnya, pemblokiran platform digital tersebut dan serangan digital terhadap masyarakat ini merupakan praktik represif dalam ranah digital di era demokrasi.
Baca Juga: Permenkominfo tentang PSE Merugikan Masyarakat, Presiden Didesak Turun Tangan untuk Mencabutnya
Putusan MK tentang Uji Materi terhadap Pasal Narkotika Golongan I (Ganja), Koalisi Menuntut Pemerintah segera Melakukan Riset Ilmiah
Permenkominfo Penyelenggara Sistem Elektronik, Ancaman Baru Bagi Kebebasan Pers dan Berekspresi
Berawal dari Diskusi Daring #BlokirKominfo
Pemblokiran sejumlah platform digital yang belum terdaftar sebagai PSE dari Kominfo menuai kritik dari warganet. Tagar #BlokirKominfo memuncaki trending topic di Twitter selama beberapa hari. Trending tersebut kemudian membuka diskusi daring yang diinisiasi oleh sejumlah anggota organisasi masyarakat sipil dan warganet di Twitter Space dengan tajuk #BlokirKominfo untuk menanggapi pemblokiran tersebut.
Host Diskusi, Teguh Aprianto mengungkapkan bahwa selama dan setelah diskusi berlangsung setidaknya ada 10 orang yang menjadi korban serangan digital. Bentuknya mulai dari pembongkaran identitas pribadi, spam chat, terror, hingga ancaman. Satu di antara korbanya merupakan anak di bawah umur.
"Sesi pertama didengarkan lebih dari 14 ribu pendengar ketika space sedang berlangsung, versi rekamannya didengarkan lebih dari 67 ribu kali. Lalu sesi kedua yang berlangsung kemarin malam didengarkan lebih dari 27 ribu pendengar ketika space sedang berlangsung dan versi rekamannya telah didengarkan lebih dari 115 ribu kali," kata Teguh.
Diskusi daring yang dilakukan selama dua kali itu membahas tentang keresahan masyarakat atas Permenkominfo 5/2020. Dalam diskusi tersebut Teguh mengatakan bahwa Permenkominfo 5/2020 bisa menjadi senjata baru yang akan digunakan oleh pemerintah untuk merepresi rakyatnya.