Putusan MK tentang Uji Materi terhadap Pasal Narkotika Golongan I (Ganja), Koalisi Menuntut Pemerintah segera Melakukan Riset Ilmiah
MK memerintahkan pemerintah untuk segera melakukan riset terhadap Narkotika Golongan I dengan kepentingan praktis pelayanan kesehatan.
Penulis Iman Herdiana22 Juli 2022
BandungBergerak.id - Beberapa ibu dengan anak cerebral palsy (penyakit pada otak) harus menempuh jalan panjang untuk mendapatkan pengobatan dengan zat yang ada pada ganja [Narkotika Golongan I]. Mereka termasuk pihak yang melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal pelarangan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.
Namun putusan telah diketuk, Mahkamah Konstitusi menyatkaan menolak permohonan uji materil pasal ini [Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada 20 Juli 2022]. Kendati secercah harapan muncul manakala Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah untuk segera melakukan riset terhadap Narkotika Golongan I dengan kepentingan praktis pelayanan kesehatan.
Kaum ibu yang tergabung dalam pemohon perorangan terdiri dari Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Muharyanti yang masing-masing memiliki anak dengan cerebral palsy dan membutuhkan pengobatan dengan Narkotika Golongan I.
Cerebral palsy adalah penyakit yang menyebabkan menurunnya fungsi otak sehingga dibutuhkan intervensi yang segera. Jika makin lama dibiarkan maka fungsi otak semakin menurun. Pengobatan konvensional hanya mampu untuk mereduksi intensitas kejang, tapi tidak mengatasi kejang.
“Obat modern apapun yang aku kasihkan ke Musa nggak ada yang sebagus ganja,” jelas Bude Dwi, dikutip dari laman Rumah Cemara, Jumat (22/7/2022).
Bude Dwi, demikian ia biasa disapa, bersama dua ibu lain melakukan pengajuan uji materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi sejak 2020. Sempat berlarut-larut meski persidangan telah usai. Sementara pengobatan anaknya dengan ganja tak bisa ditunda.
Anak dengan cerebral palsy memerlukan penanganan dan pengobatan yang cepat dan tepat. Jika dibiarkan terlalu lama akan memicu penurunan fungsi otak. Pengobatan konvensional mampu mereduksi intensitas kejang, namun tidak menghentikan total. Sedangkan pengalaman Bude Dwi saat memberikan ganja medis untuk anaknya memberikan hasil yang baik.
Dalam putusannya, MK menekankan pentingnya pemerintah melakukan penelitian ilmiah terhadap Narkotika Golongan I. Hasil pengkajian dan penelitian ilmiah ini harus dijadikan sebagai bahan oleh pembuat kebijakan untuk mengubah peraturan terkait pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan.
Permohonan uji materi Dewi dan kawan-kawan mendapat dukungand ari pemohon lembaga yaitu ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara masing-masing merupakan bagian dari Koalisi Jaringan Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang mengupayakan reformasi kebijakan narkotika di Indonesia.
Juru bicara Koalisi, Ardhany Suryadarma, menjelaskan sebelumnya pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk mencabut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.
Para Pemohon berargumen bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak atas kesehatan dan Pasal 28C ayat (1) tentang hak untuk memperoleh manfaat dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sidang permohonan perkara ini telah digelar sebanyak sepuluh kali sejak permohonan dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi pada 19 November 2020.
Dalam pertimbangannya, MK berpandangan bahwa meskipun berbagai negara telah mengatur soal penggunaan beberapa jenis Narkotika Golongan I untuk pengobatan, namun bukan berarti negara-negara lain yang belum mengatur seperti Indonesia juga tidak mengoptimalkan penggunaan narkotika untuk pelayanan kesehatan.
Salah satu alasan MK yakni bahwa jenis narkotika yang mungkin dapat bermanfaat untuk pelayanan kesehatan tidak berbanding lurus dengan besar akibat yang ditimbulkan dari tingkat ketergantungannya yang tinggi.
“MK menyatakan bahwa fakta berbagai negara sudah mengatur hal tersebut, tidak dapat dijadikan parameter untuk diterapkan semua negara karena ada karakter yang berbeda, jenis bahan narkotika, struktur budaya hukum, sarana prasarana yang dibutuhkan,” papar Ardhany Suryadarma, dalam keterangan tertulis.
Selebihnya, MK juga menyatakan bahwa ketentuan penggolongan dan pengaturan sebagaimana dalam pasal aquo termasuk dalam open legal policy atau kewenangan dari pembuat undang-undang. Dengan demikian reformasi kebijakan narkotika sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah dan DPR.
Untuk itu, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar:
1. Sebagai open legal policy, maka dalam proses revisi UU Narkotika, Pemerintah dan DPR harus mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk kepentingan kesehatan, sehingga Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 UU Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika.
Dengan revisi ini, maka pemerintah maupun swasta sesuai dengan amanat MK akan memiliki peluang yang besar untuk menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika, dan teknis pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan, bahkan sampai dengan membangun sistem yang kuat terkait dengan hal tersebut.
2. Pemerintah segera melakukan penelitian dan pengkajian ilmiah terhadap jenis-jenis narkotika golongan I yang dapat dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan. Penelitian ini juga penting untuk menghasilkan skema yang jelas dan komprehensif tentang pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Sebagai catatan, MK menekankan kata “segera” pada putusannya, sehingga hal ini harus dimaknai tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotika untuk pelayanan kesehatan.
Pemerintah Indonesia juga dapat merujuk penelitian-penelitian lain di luar negeri maupun yang dikelarkan badan PBB seperti kajian pada 2019 dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang menjadi dasar rekomendasi perubahan golongan dan pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di the Commission on Narcotics Drugs (CND).
3. Bersamaan dengan itu, pemerintah harus memberikan solusi kepada anak-anak yang menderita cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja. Pemerintah harus membantu memikirkan pembiayaan pengobatan di Indonesia yang tidak “tercover” BPJS dan peralatan penunjang lain yang berbiaya tinggi.
Kajian Ilmiah Ganja untuk Medis
Studi menunjukkan bahwa CBD (zat yang terkandung dalam ganja) memberikan efek antikejang. Jika yang digunakan hanya CBD-nya, telah banyak dukungan dari kajian ilmiah dan mungkin dapat digunakan, menurut Zullies, Guru Besar Farmasi UGM, dikutip dari situs resmi Rumah Cemara.
Zullies menjelaskan tentang cannabis-based medicine yang merupakan obat yang berasal dari ganja, bukan tanaman ganja utuh karena senyawa-senyawanya masih bercampur.
Senyawa yang terkandung dalam tanaman ganja ada yang bersifat psikoaktif, aktif, dan inaktif. Zat memabukkan atau psikoaktifnya antara lain THC dan cannabinol, sedangkan zat aktif tapi tidak memabukkan, bernama cannabidiol (CBD). Ada pula zat inaktif yang terdiri lebih dari 60 senyawa.
Riset tentang senyawa ganja ini sangat cepat, setidaknya simposium internasionalnya sudah diadakan 32 kali. Ganja medis sudah digunakan untuk epilepsi yang kebal obat seperti sindrom Dravet dan Lennox Gastaut, tapi tidak di Indonesia.
“Di sini, peraturan hukum untuk ganja sangat ketat lantaran ketakutan akan penyalahgunaannya dan alasan-alasan politis lainnya yang dikaitkan dengan konsumsi rekreasional ganja,” demikian dikutip dari Rumah Cemara.