• Opini
  • Kolaborasi Mahasiswa dan Platform Digital Versus RKUHP

Kolaborasi Mahasiswa dan Platform Digital Versus RKUHP

Tampaknya, pemerintah di Indonesia masih sulit untuk membedakan orang yang mengkritik dan menghina terutama dalam platform digital.

Muhammad Gilang Gymnastiar

Mahasiswa Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Seorang Mahasiswa wanita berorasi saat demontrasi menolak RKUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). Mahasiswa menolak RKUHP yang dianggap bermasalah. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

6 Juli 2022


BandungBergerak.idPerlu diketahui KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini masih memakai KUHP bekas negara jajahan kita sendiri yaitu Belanda. Seiring waktu berlalu dan Indonesia sudah menjadi negara merdeka muncul gagasan untuk membuat RKUHP asli buatan Indonesia yang diawali pada Seminar Hukum Nasional 1 di Semarang yang diselenggarakan tahun 1963.

Dalam seminar tersebut para pakar hukum memberi masukan untuk merumuskan RKUHP buatan asli Indonesia dengan cara rekodifikasi KUHP Hindia Belanda dan lalu RKUHP ini mulai dilakukan penyusunannya pada tahun 1986. Dalam perjalanannya RKUHP ini tak berjalan mulus dan tak kunjung disahkan karena kontranya mahasiswa dan publik terhadap pasal-pasal dalam RKUHP yang dinilai masih bermasalah, terutama pasal penghinaan kepada Presiden dan Lembaga Negara.

Tetapi dalam rapat kerja bersama komisi hukum DPR pada 25 Mei lalu, Wakil Menteri Hukum dan HAM menargetkan RKUHP akan disahkan pada Juli mendatang [Dea Davina, “Masih ada Pasal Kontroversial RUU KUHP akan Segera Disahkan”, diakses pada 21 Juni 2022]. Sehingga memicu polemik pada publik terutama mahasiswa karena menilai pemerintah tidak mendengar aspirasi masyarakatnya.

Di tengah perkembangan media digital saat ini yang bisa diakses oleh banyak orang, maka masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan platform tersebut sebagai sarana efektif dalam menyuarakan penolakan RKUHP yang bermasalah.

Pandangan Mahasiswa pada Pasal Penghinaan di RKUHP

Menurut Ketua BEM Fakultas Hukum UI, Adam Putra, keberadaan pasal tentang penghinaan pada Presiden dan Lembaga Negara ini berpotensi menjadi pasal karet [Annisa Lisya Bazlina, “BEM UI Heran, Pasal Penghinaan Presiden Bakal Dihidupkan Lagi di RKUHP?, diakses 21 Juni 2022] yang dapat mengancam sistem demokrasi di Indonesia dengan dikekangnya kebebasan berpendapat dan berekspresi rakyat Indonesia. Sedangkan pasal penghinaan pada Presiden di KUHP pernah dihilangkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 tepatnya pada pasal 134, 136, dan 137 KUHP [Muhammad Hendartyo, “Pasal Penghinaan Presiden, Pernah Dihapus MK Kini Muncul Lagi di RKUHP”, diakses pada 21 Juni 2022].

Pasal tersebut dihilangkan karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang tafsirannya dapat dimanipulasi pada praktiknya. Dalam hal ini pasal Penghinaan Presiden dan Lembaga Negara pada RKUHP juga sangat rentan dimanipulasi tafsirannya dikarenakan penghinaan sifatnya sangat subjektif dan menyangkut perasaan atau ketersinggungan, sedangkan ketersinggungan setiap orang berbeda-beda. Terlebih pada pasal Penghinaan Presiden dan Lembaga Negara dalam RKUHP ini berlaku pada orang-orang yang menghina melalui platform media sosial atau digital dengan diancam pidana penjara 4,5 tahun dan denda paling banyak 200 juta.

Tentunya pasal ini sangat bermasalah karena melihat kasus di masa lalu salah satunya menimpa seorang mahasiswa berinisial MJT yang saat itu menjabat sebagai Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) didakwa pasal 134 KUHP karena dianggap menghina presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat itu. Peristiwa ini terjadi saat mahasiswa melakukan aksi menolak kenaikan BBM di depan Istana Negara Jakarta pada 26 Januari 2005 [Ajie Ramdan, “Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam RKUHP”, Jurnal Yudisial, Vol 13 No. 2 Agustus 2020, hlm 2].

Tampaknya, pemerintah di Indonesia masih sulit untuk membedakan orang yang mengkritik dan menghina terutama dalam platform media digital. Sehingga kemungkinan orang-orang yang mengkritik pemerintah dapat dianggap menghina oleh pemerintah dan diancam pidana apabila RKUHP ini disahkan.

Pemanfaatan Platform Digital oleh Mahasiswa

RKUHP yang akan disahkan ini menuai perhatian banyak pihak terutama mahasiswa pada platform digital karena terdapat pasal kontroversial di dalamnya terutama pasal penghinaan pada Presiden dan Lembaga Negara. Hal ini membuat mahasiswa menyuarakan aspiransinya untuk menolak RKUHP disahkan.

Dengan perkembangan digitalisasi di Indonesia, platform media digital memudahkan publik menyuarakan aspirasi agar didengar pemerintah. Karena di Indonesia sendiri hal-hal yang viral di media sosial atau digital lebih mudah didengar pemerintah sehingga publik dan mahasiswa sebagai garda terdepan mengubah cara berpendapat mereka dengan menyuarakannya melalui platform media digital.

Maka mahasiswa melalui platform digitalnya menyuarakan penolakannya dengan menyerbarkan dampak negatif RKUHP apabila disahkan kepada publik agar masyarakat paham akan kecacatan hukum yang ada dalam RKUHP. Sehingga dengan edukasi yang diberi mahasiswa, diharapkan publik dapat ikut menyuarakan penolakan pada RKUHP terutama terkait pasal penghinaan Presiden dan Lembaga Negara karena menganggap melanggar prinsip demokrasi dan membuat kebebasan berpendapat dapat dikekang yang bisa membawa kembali ke zaman otoriter.

Baca Juga: Pasal-pasal Kontroversial RKUHP yang Ditolak Mahasiswa Bandung
Pasal-pasal Kontroversial RKUHP
RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi

Platform Digital Sarana Ampuh Beraspirasi

Di zaman yang sudah serba canggih ini keberadaan media digital sudah tak terelakkan lagi di dunia terutama Indonesia. Berdasarkan data dari Hootsuite dalam Digital Around The World melaporkan bahwa penggunaan media sosial di Indonesia pada 2020 sekitar 160 juta dengan penetrasi 64 persen.

Platform media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia per Januari 2020 yaitu Youtube (88 persen), Whatsapp (84 persen) Facebook (82 persen), Instagram (79 persen) dan Twitter (56 persen). Sedangkan dari sisi usia pengguna yang paling banyak menggunakan media sosial berasal dari 18 – 24 tahun dengan rincian 16,1 persen untuk berjenis kelamin laki-laki dan 14,2 persen perempuan. Selain itu, untuk usia 25- 34 tahun dengan rincian 20,6 persen berjenis kelamin laki-laki dan 14,8 persen untuk perempuan [Bambang Arianto, “Media Sosial Sebagai Saluran Aspirasi Kewargaan: Studi Pembahasan RUU Cipta Kerja”, Jurnal PIKMA, Vol 3 No. 2 Maret 2021, hlm 113].

Dalam hal ini mahasiswa sebagai garda terdepan bangsa perannya sangat diperlukan dalam beraspirasi melalui media digital terutama terkait kebijakan RKUHP yang masih bermasalah. Mahasiswa yang lebih melek teknologi dapat menggunakan platform media digitalnya untuk mewakilkan suara rakyat kepada kebijakan-kebijakan pemerintah terutama untuk menolak RKUHP yang melanggar prinsip demokrasi. Karena di Indonesia sendiri sesuatu yang viral lebih mudah menarik perhatian publik terutama pemerintah untuk mendengar aspirasi rakyatnya melalui platform media digital.

Kesimpulan

Dengan demikian keberadaan akses platform media digital yang tak terbatas, masyarakat terutama mahasiswa harus memanfaatkan media digital ini dengan sangat bijak. Contohnya mengkritik kebijakan pemerintah dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan undang-undang. Dan jangan jadikan platform media digital ini sebagai sesuatu untuk mencari eksistensi atau popularitas dengan melakukan konten yang tak bermanfaat hanya demi viral seperti yang sekarang ramai di Indonesia.

Selain itu, pemerintah seharusnya dengan adanya media digital ini bisa lebih mendengar suara-suara rakyatnya dengan tidak membuat kebijakan yang mayoritas rakyatnya sendiri tidak setuju dengan kebijakan yang dibuatnya. Saran penulis mengenai topik yang dibahas ini adalah pemerintah harus melakukan revisi pada pasal-pasal yang bermasalah pada RKUHP ini terutama Pasal Penghinaan Presiden dan Lembaga Negara. Karena hal tersebut melanggar prinsip demokrasi dan undang-undang mengebai kebebasan berpendapat.

Sangat rentan pemerintah memanipulasi tafsiran pasal tersebut untuk menangkap orang yang mengkritik tetapi dinilai menghina oleh pemerintah. Terakhir peran mahasiswa diharapkan untuk dapat lebih aktif dalam mewakilkan suara rakyatnya dengan memanfaatkan platform media digital yang ada dalam suarakan demokrasi. Karena bagaimanapun “Demokrasi adalah tentang kebebasan berpendapat bukan pembatasan berpendapat.”

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//