• Berita
  • Pasal-pasal Kontroversial RKUHP yang Ditolak Mahasiswa Bandung

Pasal-pasal Kontroversial RKUHP yang Ditolak Mahasiswa Bandung

Aksi penolakan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terus bergelombang. Ada banyak pasal yang dinilai kontroversial. Apa saja pasal-pasal tersebut?

Mahasiswa membawa poster saat berdemonstrasi menolak RUU KUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Dipenogoro, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). Mahasiswa kembali menggelar aksi demonstrasi untuk menolak RUU KUHP yang dianggap bermasalah. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

Penulis Virliya Putricantika1 Juli 2022


BandungBergerak.idAksi penolakan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terus bergelombang. Mahasiswa Bandung turun ke jalan untuk menyatakan tidak pada RKUHP yang mengandung pasal-pasal karet sekaligus melestarikan warisan pasal kolonial.

Aksi dilakukan sejumlah mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi dan aliansi Jawa Barat di depan Gedung Sate dan DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). Mereka menuntut transparansi terkait draft RKUHP terbaru yang telah dibahas oleh DPR RI sejak 25 Mei 2022 lalu.

Mereka menyatakan banyak pasal pada RKUHP yang membatasi dan melarang masyarakat Indonesia untuk berpendapat. Pasal-pasal karet ini dipandang hanya akan keuntungan pemerintah di masa sekarang dan yang akan datang.

“Indonesia negeri lucu, yang sebelumnya dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat, tapi sekarang dari wakil rakyat, oleh wakil rakyat, untuk rakyat,” demikian orasi Cut Arfa (19), salah seorang perwakilan massa aksi.

Pasal-pasal kontroversial RKUHP membahayakan semua kalangan masyarakat. Sebagai perempuan, Cut menjadi salah seorang yang harus melawan pasal-pasal karet itu. Baginya tidak ada alasan bagi seorang perempuan untuk tidak menyuarakan aspirasi rakyat. 

“Perempuan pun termasuk masyarakat Indonesia yang bisa mengkritisi hal-hal yang bermasalah di pemerintah,” tuturnya.

Sayangnya, pemikiran dan kesadaran yang dimiliki Cut dan kawan-kawan mahasiswa lainnya tidak terlihat di jajaran pemerintah yang dengan seenaknya mengatur dan mengubah regulasi di negeri ini.

Jika ditarik kembali ke tahun 2019, aksi unjuk rasa terkait penolakan RKUHP telah digelar saat itu. Mulai dari mahasiswa dan berbagai kalangan lainnya menolak aturan yang justru mengekang kebebasan aspirasi masyarakat.

Tapi tindakan gelap mata yang dilakukan pemerintah saat ini seakan mengacuhkan aksi tiga tahun lalu yang telah merenggut nyawa empat mahasiswa sebagai penerus bangsa Indonesia. 

Wakil rakyat yang semestinya berada di Gedung DPRD Jawa Barat tidak memiliki itikad untuk berdialog dengan perwakilan dari mahasiswa yang tengah berunjuk rasa. Sejumlah tuntutan yang dibawa massa aksi di antaranya meminta pemerintah melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan RKUHP, serta menuntut DPR RI menghapus pasal-pasal kontroversial.

Penyalahgunaan jabatan yang diemban pemerintah bukan hal yang dapat dianggap wajar. Karena semestinya setiap pemimpin dapat bersikap adil pada rakyatnya. Namun hari ini, ketamakan akan kekuasaan justru semakin terlihat jelas.

“Perempuan yang menyalahgunakan jabatan menurut saya itu sangat tidak dapat diindahkan. Karena siapa pun yang menjabat, seorang pemimpin harus berlaku adil pun tidak dapat menjadikan jabatan itu sebagai tombak kepentingan pribadi, dan sudah seharusnya (pemimpin) berjuang untuk masyarakat pun mengaspirasikan perubahan ke arah yang lebih baik,” tambah Cut, merujuk pada perempuan-perempuan yang duduk sebagai wakil rakyat.

Mahasiswa melakukan unjuk rasa menolak RKUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Dipenogoro, Bandung, Kamis (30/6/2022). Aksi  ini meminta wakil rakyat untuk berdialog sekaligus membuka draft RKUHP terbaru yang telah dibahas pada 25 Mei 2022 lalu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Mahasiswa melakukan unjuk rasa menolak RKUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Dipenogoro, Bandung, Kamis (30/6/2022). Aksi ini meminta wakil rakyat untuk berdialog sekaligus membuka draft RKUHP terbaru yang telah dibahas pada 25 Mei 2022 lalu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Pasal-pasal Kontroversial RKUHP

Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari YLBHI, KontraS, Imparsial, LBH Jakarta, PBHI Nasional mencatat banyak isu kontroversial yang diatur dalam RKUHP. Berikut ini rangkumannya:

1. Pola penghitungan pidana yang disebutkan Tim Pemerintah melalui metode tertentu namun belum pernah dijelaskan secara detail. Hal ini berpotensi besar menghasilkan ancaman pidana yang tidak proporsional dan mengakibatkan jumlah pemenjaraan meningkat drastis padahal kondisi saat ini telah mencapai extreme overcrowding.

Aturan tersebut berpotensi kontradiktif dengan Paket Kebijakan Hukum Jilid II untuk mengatasi kelebihan penghuni yang saat ini sudah sebesar 110 persen atau 277.672 orang (DitjenPAS, 2022).

2. Masalah pidana mati (Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 RKUHP)

Aliansi menilai bahwa pidana mati seharusnya dihapuskan sesuai dengan perkembangan bahwa 2/3 negara di dunia sudah mengahapuskan hukuman mati.

3. Masalah minimnya alternatif pemidanaan nonpemenjaraan

Pidana alternatif dalam RKUHP masih sangat minim, baru sebatas pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Pidana alternatif seharusnya tidak memuat syarat yang menyulitkan, misalnya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial hanya untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 tahun, seharusnya dikembalikan konsepnya sesuai dengan ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 14a-f KUHP saat ini, di mana pidana alternatif tersebut berlaku bagi semua tindak pidana selama hakim memutus di bawah 1 tahun (dalam Pasal 14a KUHP Belanda, berlaku bagi kasus pidana apabila hakim memutus pidana penjara dibawah 2 tahun), yang mana di Belanda menjelaskan pelaksanaan pidana pengawasan tersebut dengan jelas dalam KUHP-nya. Pidana pengawasan di Belanda diatur dalam Pasal 14a – 14k KUHP Belanda.

4. Masalah pengaturan “makar” (Pasal 167 RKUHP)

Pendefenisiannya tidak sesuai denga asal kata makar yaitu “aanslag” yang artinya serangan, RKUHP cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.

5. Masalah tindak pidana menghalang-halangi proses peradilan (Pasal 284 RKUHP)

Perbuatan yang dilarang dalam huruf a dirumuskan secara tidak jelas dan tidak ketat sehingga rentan disalahgunakan oleh penegak hukum. Dalam praktiknya, penegak hukum sering menggunakan ketentuan obstruction of justice ini di masing-masing undang-undang untuk ‘menekan’ saksi menyampaikan hal-hal yang sesuai dengan keyakinan penegak hukum atas kasus yang ditangani.

Asap dari pembakaran ban saat demonstrasi menolak RUU KUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)
Asap dari pembakaran ban saat demonstrasi menolak RUU KUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

Pasal Penghinaan

6. Masalah pengaturan tindak pidana penghinaan (Pasal 439-448 RKUHP)

Masih memuat pidana penjara sebagai hukuman, jika pun masih diatur maka pidana paling tidak pidana denda. Rumusan masih bermasalah, sama dengan KUHP, harusnya memuat pengecualian yang lebih beragam.

Pengecualian untuk penghinaan harusnya ditambahkan, dikecualikan untuk kepentingan umum, karena terpaksa membela diri serta tidak ada kerugian yang nyata.

7. Pasal penghinaan presiden (Pasal 218 - Pasal 220 RKUHP)

Ketentuan ini pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda. Pasal ini merupakan warisan kolonial. Pasal ini juga sudah dibatalkan oleh Putusan MK No 013- 022/PUUIV/2006 karena tidak relevan lagi dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum - Menghidupkan kembali pasal ini, berarti membangkang pada konstitusi.

8. Pasal penghinaan pemerintah yang sah (Pasal 240-241 RKUHP)

Pasal ini sudah dibatalkan dengan putusan MK No. 6/PUUV/2007. Ketentuan pidana yang ada dalam pasal ini dikenal sebagai haatzaai artikelen, pasal-pasal yang melarang orang mengemukakan rasa kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa. Pasal ini diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda, dengan demikian pasal ini merupakan pasal kolonial yang tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka.

Alasan pemerintah yang membuat ini menjadi delik materil pun tidak jelas, karena definisi “menimbulkan keonaran” tidak bisa diukur, sedangkan hukum pidana mewajibkan kejelasan norma dalam pengaturannya (lex certa, lex scripta, lex stricta).

Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara.

9. Pasal penghinaan Kekuasaan Umum/Lembaga Negara (Pasal 353-354 RKUHP)

Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara.

Berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar.

Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik.  

10. Pasal tentang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain terhadap bendera negara (Pasal 234 RKUHP)

Memang dalam rumusan RKUHP memuat perubahan ke arah perbaikan dari rumusan yang ada dalam UU No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, namun dalam pasal dalam RKUHP tetap memuat unsur yang belum jelas dengan adanya unsur “melakukan perbuatan lain”. 

Ancaman pidananya terlalu tinggi yaitu mencapai 5 tahun penjara, padahal penghinaan presiden saja dihukum dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan. Perlu disinkronisasi dengan pasal-pasal tentang ekspresi yang sejenis (penghinaan terhadap pemerintah yang sah 3 tahun, penghinaan terhadap kekuasaan umum/lembaga negara 1 tahun 6 bulan, penggunaan terhadap golongan pendudukan 3 tahun).

Mahasiswa melakukan unjuk rasa menolak RKUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Dipenogoro, Bandung, Kamis (30/6/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Mahasiswa melakukan unjuk rasa menolak RKUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Dipenogoro, Bandung, Kamis (30/6/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Negara terlalu Mengatur Urusan Pribadi

11. Pasal tindak pidana terhadap agama (Pasal 302 RKUHP)

Ayat (1) dalam pasal ini telah tepat dengan mengakomodir bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang berkaitan dengan menimbulkan permusuhan atau hate speech. Namun dalam ayat (2) masih dengan kerangka delik terhadap penodaan agama maupun kepercayaan di Indonesia yang tidak beroerientasi pada perlindungan kebebasan beragama bagi individu untuk melaksanakan kepercayaannya, melainkan digunakan untuk melindungi ajaran agama yang sifatnya dinamis dan subjektif sehingga pada penerapan justru menyerang minoritas agama tertentu.

Banyaknya kasus penodaan agama yang telah terjadi setelah tahun 2003 berdasarkan laporan YLBHI menunjukkan bahwa pada praktiknya unsur penodaan agama ditafsirkan berbeda dan cenderung mengikuti desakan publik sehingga menciptakan ketidakpastian hukum.

12. Kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan (Pasal 417 RKUHP)

Negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga negara yang bersifat privat. Delik aduan berdasarkan pengaduan orang tua dapat meningkatkan angka perkawinan anak. Sebanyak 89 persen perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.

Komitmen Presiden di Pepres SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) untuk menghilangkan semua praktik perkawinan anak dengan meningkatkan median usia perkawinan menjadi 21 tahun akan gagal.

Tidak pernah ada pembahasan tentang implikasi masalah pasal ini. Kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV. Transmisi HIV paling tinggi justru terjadi pada orang yang terestimasi telah menikah, sedangkan dalam KUHP yang saat ini berlaku sekalipun, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan di mana salah satu pihak terikat dalam perkawinan sudah dikriminalisasi.

Ikatan perkawinan tidak dapat menjamin bahwa perilaku beresiko tidak dilakukan. Dengan adanya bayang-bayang kriminalisasi, maka perbuatan melakukan hubungan seksual di luar hubungan perkawinan termasuk melakukan hubungan seks dengan pekerja seks dianggap sebagai tindak pidana. Itu berarti orang yang terlibat dalam perilaku beresiko tersebut tidak akan mengakses layanan.

Kementerian kesehatan berdasarkan pemetaan yang dilakukannya mengestimasi jumlah pekerja seks perempuan sampai dengan 2016 berjumlah 226.791 sampai dengan 364.313 orang, estimasi tertinggi datang dari jumlah pelanggan perempuan pekerja seks sebesar 5.254.065 orang. Ini berarti bahwa ada sekitar 5 juta laki-laki menggunakan jasa pekerja seks perempuan di Indonesia dan terlibat dalam persetubuhan di luar perkawinan.  

13. Pasal kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan (Pasal 418 RKUHP) - Kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri yang sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut yang pengaduannya hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak diperluas dengan diperbolehkannya kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, anak - Perluasan ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan overkriminalisasi  

14. Pasal kriminalisasi pencabulan sesama jenis (Pasal 420 RKUHP) - Dalam draft September 2019, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul yang berbeda atau sama jenisnya padahal syarat-syarat yang dapat mengkiriminalisasi pencabulan sesama jenis telah terpenuhi di dalam syarat pada pasal pencabulan - Penyebutan secara spesifik “sama jenisnya” merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksualnya

Kontraproduktif dengan Penanggulangan HIV/AIDS

15. Pasal kriminalisasi mempertunjukkan alat pencegah kehamilan (Pasal 414-415 RKUHP)

Faktanya sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN (1995):

- Kondom cara paling efektif pencegah penyebaran HIV;

- Kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV;

- Dari 10 peraturan perundangundangan tentang penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, 6 di antaranya memuat aturan tentang “kampanye penggunaan kondom” pada perilaku seks beresiko, dan kesemuanya memberikan kewenangan untuk memberikan informasi tersebut kepada masyarakat secara luas, secara jelas kriminalisasi perbuatan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan/kontrasepsi bertentangan dengan upaya penanggulangan HIV;

­- Kriminalisasi mengancam kesehatan masyarakat;

- Kontrasepsi menjadi penting untuk memastikan masyarakat terlindungi dari transmisi HIV/AIDS akibat perilaku beresiko.

- Pasal di RKUHP justru akan menghambat rencana kerja Pemerintah di bidang Kesehatan berdasarkan RPJMN 2015-2019 dan rancangan RPJMN 2020-2024. 

16. Sinkronisasi aturan kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan pengguguran (Pasal 469 s.d 471 RKUHP dengan Pasal 251 dan Pasal 415 RKUHP)

Pengeculian sudah dimuat untuk perempuan yang melakukan aborsi atas dasar kedaruratan medis dan karena perkosaan, namun korban yang menderita kehamilan tidak hanya korban perkosaan, namun bisa kekerasan seksual lainnya misalnya eksploitasi seksual, sehingga pengecualiannya perlu ditegaskan untuk korban kekerasan seksual.

Pengecualian ini harus disinkronkan dengan pasal yang berkaitan yaitu Pasal 251 RKUHP tentang memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan dan Pasal 415 tentang mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan.

Harusnya ketentuan Pasal 415 dan Pasal 251 tidak perlu diatur dengan adanya pengecualian dalam Pasal 467 ayat (2).

Masih Mempidanakan Pengguna Narkoba

17. Permasalahan pengaturan tindak pidana narkotika (Pasal 610-615 RKUHP)

Stigma narkotika sebagai masalah kriminal bukan sebagai masalah kesehatan:

Dengan diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP negara justru secara jelas mengakomodir bahwa pendekatan yang digunakan untuk menangani masalah narkotika adalah dengan pendekatan pidana. Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamasikan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat. 

Pendekatan pidana tidak terbukti efektif: Penanganan narkotika memerlukan komitmen yang berkelajutan antara pemerintah dan berbagai sektor untuk menyeimbangkan antara supply dan demand, serta mengkontrol agar peredaran gelap narkotika diminimalisir. Pendekatan yang hanya fokus pada pemberantasan supply telah terbukti tidak efektif. 

RKUHP masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009, tidak ada perbaikan yang lebih memadai. Padahal jika menelisik UU 35/2009 masih banyak terdapat ketimpangan didalamnya, sehingga saat ini juga sedang dirumuskan RUU Narkotika tersebut.

Massa aksi melakukan aksi bakar ban saat demontrasi menolak RUU KUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). Salah satu poin tuntutan dalam demonstrasi ini adalah penghapusan pasal yang mengatur urusan privat masyarakat. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)
Massa aksi melakukan aksi bakar ban saat demontrasi menolak RUU KUHP di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). Salah satu poin tuntutan dalam demonstrasi ini adalah penghapusan pasal yang mengatur urusan privat masyarakat. (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

Lemahnya Penegakan HAM

18. Masalah tindak pidana pelanggaran HAM yang berat tidak sesuai dengan standar HAM Internasional (Pasal 598-599 RKUHP)

Memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif. Tidak diatur klausul tentang kejahatan perang dan kejahatan agresi sesuai Statuta Roma 1998.

Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tergolong sebagai kejahatan internasional (international crimes) dan luar biasa (extra ordinary crimes). Sedangkan yang diatur dalam KUHP tergolong dalam kejahatan biasa (ordinary crimes) sehingga pengaturan pelanggaran HAM yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RKUHP harus dikeluarkan.

Asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP, akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000.

RKUHP tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai daluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM. Ancaman hukuman juga menjadi problem.

Di RKUHP ancaman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun (kejahatan biasa maksimal 20 tahun penjara) sedangkan dalam UU 26/2000 ancaman pidana minimal 10 tahun dan paling lama 25 tahun. Dengan dimasukkannya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam RKUHP, maka UU 26/2000 terutama soal ancaman pidana harus menyesuaikan KUHP baru yang akan berlaku dan ini tidak menguntungkan bagi korban pelanggaran HAM.

Penerjemahan dan pengadopsian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap Kemanusiaan yang mengalami kesalahan, yang akan memperburuk pendefinisiaan kejahatan-kejahatan ini. Pengaturan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam KUHP tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan lainnya, misalnya terkait dengan model pertanggungjawaban para pelakunya yang tidak mampu dijangkau RKUHP. 

Tumpang Tindih dengan UU ITE

19. Harmonisasi delik dalam RKUHP, utamanya berkaitan dengan UU ITE yang rumusan deliknya telah masuk dalam RKUHP, namun belum dicabut dalam ketentuan penutup RKUHP terdapat tumpang tindih antara RKUHP dengan UU ITE:

- Penyebaran konten melanggar kesusilaan dalam Pasal 412 dan Pasal 413 RKUHP dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE

  • Penghinaan dalam Pasal 439 ayat (2) dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE c) Penghinaan terhadap Golongan Penduduk (Pasal 243 RKUHP) dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE d) Penyiaran berita bohong yang merugikan konsumen dalam Pasal 512 RKUHP dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE e) Penyiaran berita bohong Pasal 262 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 263 RKUHP dengan ide kriminalisasi berita bohong baru dalam proses revisi UU ITE; 
  • Harusnya dalam aturan peralihan mencabut ketentuan dalam UU ITE yang menduplikasi pengaturan dalam RKUHP.  
Salah satu poster tuntutan dalam demonstrasi menolak RUU KUHP tertempel pada pagar kawat yang terpasang di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)
Salah satu poster tuntutan dalam demonstrasi menolak RUU KUHP tertempel pada pagar kawat yang terpasang di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). (Foto: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

Tindak Pidana Kekerasan Seksual

20. Harmonisasi delik dalam RKUHP berkaitan dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) 

UU TPKS memperluas cakupan tindak pidana kekerasan seksual melalui Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak hanya mencakup delik-delik yang secara khusus dirumuskan dalam UU tersebut, tetapi juga mengkualifikasikan delik-delik lain di luar UU TPKS sebagai tindak pidana kekerasan seksual.

Adapun delik-delik di luar UU TPKS yang dicakupkan sebagai delik kekerasan seksual, berdasarkan UU TPKS, di antaranya:

  • perkosaan;
  • perbuatan cabul;
  • persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; • perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
  • pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
  • pemaksaan pelacuran;
  • tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
  • kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
  • tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
  • tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Namun, dalam rumusan Pasal 4 ayat (2) UU TPKS yang menyebutkan bentuk-bentuk perbuatan dalam UU lain yang didefinisikan sebagai kekerasan seksual, tidak dituliskan acuan pasalnya, hanya menyebutkan nama delik, sedangkan perbuatan-perbuatan tersebut tidak semua menyebut secara tegas delik, misalnya perkosaan: yang menyebutkan perkosaan hanya Pasal 285 KUHP, sedangkan seluruh perbuatan perkosaan tersebut dalam Pasal 286, 287, 288.

Apabila dilihat secara saksama, model yang dipilih Pasal 4 ayat (2) UU TPKS untuk mengualifikasikan delik-delik di luar UU tersebut sebagai kekerasan seksual dapat dipilah menjadi dua pendekatan, yaitu: 

  • merinci daftar perbuatan dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebagai TPKS (listing). Ini terlihat dari perbuatan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a hingga i yang dicakupkan sebagai TPKS. 
  • menggunakan konsep blanco strafbepalingen sehingga, apabila ada UU lain di kemudian hari menyatakan delik yang diaturnya sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maka berbagai pengaturan yang diatur oleh UU TPKS dapat diterapkan. Model ini pertama kali digunakan dalam UU 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Penting untuk dipahami bahwa seandainya RKUHP diundangkan, maka tindak pidana yang dirumuskan RKUHP akan bertindak sebagai tindak pidana baru dalam kerangka legislasi Indonesia.  Oleh karena itu, khusus untuk delik-delik yang memiliki irisan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual seperti perkosaan, perbuatan cabul, pemaksaan aborsi dan sebagainya, RKUHP perlu menegaskannya kembali sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar mekanisme yang disusun UU TPKS dapat diberlakukan terhadap delikdelik tersebut, sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf j UU TPKS. 

Tanpa penegasan tersebut, delik-delik di RKUHP yang memiliki irisan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat diberlakukan berbagai pengaturan di UU TPKS mengingat model pendekatan listing hanya berlaku bagi tindak pidana yang sudah ada sebelum UU TPKS diundangkan. 

Tidak Terkodifikasi

21. Pentingnya penekanan RKUHP sebagai kodifikasi

Penjelasan Umum RKUHP memaparkan posisi penting RKUHP sebagai rekodifikasi hukum pidana untuk menyelaraskan perkembangan berbagai ketentuan pidana sejak kemerdekaan Indonesia, baik dalam konteks asas maupun rumusan delik.

Meski demikian, tidak satu pun batang tubuh RKUHP yang menjelaskan konsekuensi pengesahan RKUHP terhadap upaya mengkonsolidasikan hukum pidana dalam bentuk kodifikasi. Ketiadaan pengaturan tersebut akan membuka kemungkinan diulanginya kesalahan yang sama bahkan setelah RKUHP disahkan, yakni kecenderungan Pemerintah dan DPR untuk menciptakan ketentuan pidana baru hampir di setiap undang-undang dan tidak melihat proses pembangunan hukum pidana sebagai sebuah sistem yang terkodifikasi.   

Sebagai akibatnya, saat ini, Indonesia memiliki masalah serius dalam menyelaraskan keseriusan tindak pidana dan berat-ringannya ancaman pidana. Oleh karena itu, perlu dirumuskan suatu ketentuan yang menegaskan konsekuensi pengesahan RKUHP terhadap proses kriminalisasi yang akan dilakukan di kemudian hari, yaitu RKUHP dijadikan pedoman dalam melakukan kriminalisasi, baik dalam konteks perumusan asas dan unsur-unsur delik maupun penentuan ancaman pidana.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//