• Kolom
  • PAYUNG HITAM #8: RKUHP dan Rendahnya Komitmen Pemerintah dalam Melindungi Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

PAYUNG HITAM #8: RKUHP dan Rendahnya Komitmen Pemerintah dalam Melindungi Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Munculnya pasal penghinaan bertentangan dengan semangat untuk keluar dari produk hukum kolonial yang sering diucapkan selama proses penyusunan RKUHP.

R. Faisal

Pegiat HAM dan Paralegal.

Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi membakar ban saat unjuk rasa peringatan Sumpah Pemuda di Bandung, 28 Oktober 2021. Mahasiswa terus mengkritik sistem oligarki saat ini. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

27 Juli 2022


BandungBergerak.id - Dalam beberapa waktu terakhir wacana mengenai pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menjadi topik perdebatan yang sangat panas di tengah-tengah masyarakat. Proses pengesahan RKUHP di tahun 2022 kembali menimbulkan polemik ketika diketahui bahwa di dalam draft terbarunya pemerintah masih tetap bersikukuh memasukan beberapa pasal problematis, yang di mana sebelumnya telah mendapat penolakan secara meluas dari seluruh kelompok masyarakat sipil di tahun 2019 silam. Masih dimasukannya pasal-pasal problematis tersebut menjadi bukti bahwa untuk sekian kalinya pemerintah telah mangabaikan/tidak menanggapi aspirasi rakyatnya.

Salah satu pasal yang sangat problematis adalah pasal-pasal berkaitan dengan defamasi, penghinaan, pencemaran nama baik (selanjutnya disebut penghinaan). Dalam RKUHP versi 04 Juli 2020 diketahui bahwa sedikitnya terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang hal-hal tersebut, yang pertama penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, yang diatur dalam pasal 217 - 220, kedua penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, yang diatur dalam pasal 351-352, dan ketiga penghinaan terhadap pemerintah, yang diatur dalam pasal 240 – 241. Pasal-pasal tersebut menjadi problematis karena:

  1. Menandakan terdapat perbedaan hukum antara presiden, wakil presiden, dan pejabat publik dengan warga negara biasa;
  2. Pasal-pasal tersebut berpotensi menjadi alat pemerintah untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat terhadap kinerja lembaga dan pejabat publik;
  3. Pasal-pasal tersebut bertentangan dengan tugas utama pemerintah dalam menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, terutama hak untuk bebas berpendapat dan berkspresi;
  4. Rendahnya komitmen yang ditunjukan pemerintah dalam melindungi hak kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan ancaman serius bagi jalannya demokrasi di Indonesia.

Bagi para pendukung pasal defamasi RKUHP, hal-hal di atas pada dasarnya dinilai hanya sebagai sebuah sebuah kecemasan/ketakutan yang berlebihan, yang ternyata secara fakta adalah sebaliknya. Dalam laporan yang dibuat oleh ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) pada tahun 2012 silam misalnya, diketahui fakta bahwa dalam penuntutan pidana penghinaan, masyarakat sipil menempati porsi tertinggi sebagai pelaku penghinaan dengan jumlah 160 kasus dari total 171 putusan, sementara korban penghinaan terbesar ditempati oleh pejabat publik atau orang-orang yang bekerja di sektor publik, yaitu sebanyak 63 kasus [Eddyono, Supriyadi Widodo dkk, Tindak Pidana Penghindaan dalam RKUHP (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016), hlm. 08].

Data tersebut menunjukkan bahwa hukum pidana penghinaan secara efektif banyak digunakan oleh para pejabat publik dan/atau orang-orang yang bekerja di sektor publik, sedangkan untuk mereka yang berpotensi menjadi pelakunya adalah masyarakat sipil. Tindak pidana penghinaan tergolong sebagai salah satu tindak pidana yang paling sering terjadi di Indonesia, berdasarkan laporan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas), diketahui bahwa di sepanjang tahun 2020-2021 jumlah kasus penghinaan mencapai 2.698 kasus [1.450 kasus pada tahun 2020], dan mencapai 1.248 kasus pada tahun 2021 [Pusiknas, 2020, hlm. 19 dan 157].

Tingginya jumlah kasus penghinaan lantas memunculkan dugaan bahwa aparat penegak hukum telah mengabaikan perlindungan terhadap hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi dalam menangani kasus-kasus penghinaan. Dugaan pengabaian tersebut semakin menebal ketika mulai bermuculan kasus-kasus penghinaan yang sangat dipaksakan serta dalam penanganannya tidak mengutamakan perlindungan hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi. Kasus penghinaan yang menjerat dosen Jurusan Statistika FMIPA Universitas Syiah Kuala Aceh, Saiful Mahdi, menjadi contoh pertama bagi buruknya kinerja penegak hukum dalam menangani tindak pidana penghinaan, Syaiful Mahdi menjadi tersangka kasus penghinaan setelah kritiknya atas kebijakan kampus dianggap telah mencemarkan nama baik salah satu dekan di universitas tersebut.

Selanjutnya ada Muhammad Sandi, seorang aktivis lingkungan yang dilaporkan telah melakukan penghinaan setelah melakukan serangkaian advokasi kerusakan lingkungan yang menimpa ratusan warga di enam desa, wilayah Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Terbaru adalah kasus penghinaan yang melibatkan dua aktivis HAM yaitu Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, keduanya dianggap melakukan penghinaan terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, setelah mempublikasikan hasil penelitiannya terkait keterlibatan Luhut di dalam bisnis operasi militer di Intan Jaya, Papua.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #5: Apa yang Bisa Diperbuat Setelah Pemekaran Papua?
PAYUNG HITAM #6: Rafi dan Impotensi Sistem Pendidikan
PAYUNG HITAM #7: 9 Tahun Aksi Kamisan Bandung, Kota Kembang (masih) tidak Ramah HAM

Masih Relevankah Penggunaan Pasal Penghinaan?

Tindak pidana penghinaan menurut Dictionary of Law yang diterbitkan oleh Oxford University didefinisikan sebagai sebuah tindakan penerbitan pernyataan yang cenderung merendahkan reputasi (nama baik) seseorang. Tindakan pidana tersebut dilakukan dalam bentuk pengutaraan kata-kata, publikasi gambar, gestur, dan tindakan lainnya yang dapat mencemarkan nama baik [Martin, Elizabeth A, A Dictionary of Law (Oxford: Oxford University Press, 2003), hlm. 140]. Berdasarkan defenisi tersebut tindak pidana defamasi juga disebut sebagai tindak pidana penghinaan. Lebih lanjut, jika merujuk pada Pasal 310 KUHP, pencemaran nama baik didefinisikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang dimaksudkan agar hal itu diketahui umum.

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih menerapkan praktik tindak pidana penghinaan ketika praktik tindak pidana tersebut sudah mulai ditinggalkan oleh banyak negara, ditinggalkannya tindak pidana penghinaan dilatarbelakangi oleh penerbitan komentar umum PBB No. 34 yang merekomendasikan penghapusan produk hukum tersebut bagi seluruh negara anggotanya, karena dianggap mengancam perlindungan hak untuk bebas berpendapat dan berkespresi.  

Berdasarkan laporan tahunan World Trends in Freedom of Expression and Media Development 2021 yang diterbitkan oleh UNESCO, dapat diketahui bahwa negara-negara Eropa menjadi negara yang paling berkomitmen melakukan penghapusan produk hukum defamasi, sementara sebaliknya negara-negara di Afrika dan Asia Pasifik menjadi negara yang paling rendah dalam berkomitmen melakukan penghapusan tindak pidana defamasi, bahkan penerapan hukum defamasi justru bertambah di wilayah Asia Pasifik [WORLD TRENDS IN Freedom of  Expression and Media Development GLOBAL REPORT 2021/2022, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), 2022, hlm. 48].

Data penerapan pidana penghinaan (defamation) di dunia. (Sumber: UNESCO)
Data penerapan pidana penghinaan (defamation) di dunia. (Sumber: UNESCO)

Rekomendasi penghapusan tindak pidana penghinaan secara spesifik tertuang pada paragraf 38 dan 47 komentar umum PBB No. 34. Pada paragraf dua secara gamblang dijelaskan bahwa setiap negara anggota harus mempertimbangkan dekriminalisasi [penghapusan] tindak pidana penghinaan, dan jika masih diterapkan maka perlu dilakukan dengan hati-hati dengan lebih mengutamakan perlindungan hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi.

Care should be taken by States parties to avoid excessively punitive measures and penalties. Where relevant, States parties should place reasonable limits on the requirement for a defendant to reimburse the expenses of the successful party.States parties should consider the decriminalisation of defamation and, in any case, the application of the criminal law should only be countenanced in the most serious of cases and imprisonment is never an appropriate penalty [Paragraf 47 komentar umum PBB No. 34].

Selain merekomendasikan penghapusan tindak pidana penghinaan, dalam komentar umumnya PBB juga menjelaskan menganai batasan-batasan bagi negara anggota yang masih menjalankan praktik tindak pidana tersebut, salah satu poin penting dari pembatasan tersebut adalah tidak memberikan hukuman penjara bagi mereka yang terjerat tindak pidana tersebut.

Berdasarkan pada fakta-fakta di atas, maka dapat dipahami bahwa semangat untuk keluar dari produk hukum kolonial yang sering diucapkan selama proses penyusunan RKUHP pada dasarnya hanyalah sebuah jargon penuh omong kosong semata, yang terjadi justru sebaliknya, dengan tetap memasukannya pasal penghinaan dalam RKUHP semakin menunjukan bahwa pemerintah telah melanggengkan praktik hukum kolonial dan abai terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia.

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//