• Nusantara
  • Kriminalisasi terhadap Partisipasi Publik, Cara Negara Menjegal Kritik

Kriminalisasi terhadap Partisipasi Publik, Cara Negara Menjegal Kritik

Pelaporan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar, Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, dan Ubedilah Badrun sebagai kriminalisasi terhadap partisipasi publik.

Pemilik warung tenda duduk di sisi dinding penuh kalimat bernada kritik sosial di kawasan Kopo Citarip, Bandung, 2 September 2021. Selama pandemi dalam 2 tahun terakhir, grafiti, mural, dan paste up, jadi medium seni jalanan untuk mengkritik pemerintah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen20 Januari 2022


BandungBergerak.idPemidanaan terhadap Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dan Ubedilah Badrun menjadi kabar buruk bagi demokrasi di Indonesia. Pembungkaman kritik dengan strategi Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPPs) atau kriminalisasi terhadap partisipasi publik patut diwaspadai. Salah satu praktik strategi ini adalah melaporkan pencemaran nama baik kepada partisipasi publik; pengkritik, akademisi, peneliti, dan jurnalis.

Diketahui, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dilaporkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan atas dugaan pencemaran nama baik. Haris dan Fatia dilaporkan karena hasil risetnya mengenai keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Papua. Sementara dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun dilaporkan relawan Jokowi Mania atas dugaan fitnah karena melaporkan dua putra Presiden Joko Widodo, Gibran dan Kaesan,g ke KPK.

Direktur LBH Jakarta, juga kuasa hukum Haris Azhar dan Fatia, Arif Maulana mengatakan pemidanaan terhadap Haris dan Fatia adalah bentuk kriminalisasi terhadap partisipasi publik. Arif mengatakan, bahwa yang disampaikan oleh kliennya dalam podcast merupakan fakta dan hasil riset. Ini merupakan bentuk pengawasan publik terhadap dugaan konflik kepentingan pejabat publik.

“Ini yang kita yang sangat kita sayangkan. Pejabat publik semestinya memahami posisi dirinya sebagai representasi dari negara yang memang sudah selayaknya untuk dikritik dan dikontrol, dan diawasi. Tapi yang terjadi bukanya pejabat tersebut memberikan klarifikasi dan informasi penyeimbang, justru yang terjadi adalah somasi dan pelaporan pidana,” ungkap Arif, Selasa (18/01/2022) di kanal Youtube Nalar TV.

Pengawasan publik terhadap pejabat publik, kata Arif, merupakan bagian dari partisipasi masyarakat yang secara sah dilindungi oleh konstitusi. Ia mengkhawatirkan tren kriminalisasi terhadap partisipasi publik yang terjadi belakangan ini kian langgeng dan merusak demokrasi. Alih-alih memaknai kritik tersebut sebagai masukan dan bagian dinamika demokrasi, justru kritik dianggap sebagai ancaman bagi negara.

“Ini yang kemudian kita khawatirkan. Jika kemudian seperti ini yang terjadi, ke depan tidak ada lagi warga negara yang berani untuk mengatakan kebenaran dan mengkritik pejabat publik yang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan etika pejabat,” ujar Arif.

Komnas HAM: Hormati Kritik

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga menegaskan bahwa ekspresi yang dilakukan organisasi masyarakat sipil dengan tujuan untuk mengkritik dan mengontrol pemerintahan harus dilindungi dan dihormati. Komnas HAM menilai ekspresi seperti itu dibutuhkan dalam rangka pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis.

Komnas HAM juga mengingatkan kepada pejabat publik harus membuka diri terhadap pengawasan yang dilakukan publik. Oleh karena itu, kata Komnas HAM, pejabat publik harus menghormati terhadap kritik sebagai akibat dari jabatannya. Komnas HAM, melalui Komite HAM, juga menekankan bahwa dalam diskursus politik ketika adanya fakta mengenai ekspresi publik yang dianggap menghina pejabat publik tidak cukup untuk membenarkan pengenaan pidana.

“Karena pejabat publik adalah sah untuk dikritik,” tegas Sandra.

Partisipasi Publik Memberantas Rasuah

Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti berpendapat yang dilakukan Ubedilah Badrun adalah peranan dari seorang akademisi. Bagaimana, kata Bivitri, akademisi bisa bersikap lurus dan kritis terhadap apa pun yang seharusnya dikritik, termasuk soal dugaan korupsi. Pemidanaan ini juga merupakan bentuk mencederai kebebasan akademik.

Pelaporan ke KPK atas dugaan tindak pidana korupsi, kata dia, merupakan hal yang lumrah dalam negara hukum. Siapa pun dapat melaporkan adanya dugaan korupsi ke KPK dan itu merupakan bentuk budaya penguatan antikorupsi di masyarakat. Kemudian, tugas KPK selanjutnya adalah melakukan verifikasi dan telaah untuk mencari bukti lebih lanjut.

“Mengadukan sesuatu yang dianggap tidak benar [dugaan korupsi] ke KPK adalah sesuatu yang wajar. Sementara yang tidak wajar adalah ketika pejabat publik dan keluarganya melakukan transaksi bisnis dengan begitu terang-terangan,” kata Bivitri dalam diskusi FNN TV, Selasa (18/01/2022).

Sementara itu, aktivis mahasiswa Universitas Pasundan, Alam Borneo Albar, menilai langkah Ubedilah melaporkan dugaan korupsi Gibran dan Kaesang ke KPK adalah bentuk kesukarelaan atau partisipasi publik mengungkap dugaan perkara rasuh. Sebaliknya, yang dilancarkan Jokowi Mania hanya membela figur politik, bukan membela rakyat.

“Hal ini bentuk menghambat inisiatif publik, merusak kepercayaan dari masyarakat, dan merusak upaya pemerintah mendorong partisipasi warga memerangi korupsi. Buruknya perlindungan hukum bagi para pelapor dapat menjadi catatan buruk bagi kesungguhan pemerintah memenuhi komitmennya sebagai negara dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC),” ujar Alam.

Langkah Jokowi Mania mengadukan Ubedilah ke polisi, kata dia, memperlihatkan bahwa mereka tidak peduli pemberantasan rasuah, serta tidak peduli terhadap tata kelola pemerintahan yang baik, jujur dan bersih. Perbuatan Jokowi Mania gambaran dari pemerintahan yang tidak propemberangusan korupsi. Ia berpendapat bahwa penegakan hukum akan lebih berfokus pada pemidanaan Ubedilah, sementara kasus Gibran dan Kaesang senyap.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Penutur Bahasa Sunda: Pernyataan Arteria Dahlan Mencederai Kebebasan Berekspresi
Komnas HAM Beberkan Potret Kekerasan Negara terhadap Rakyatnya dalam Kurun 2020-2021
AJI Mendorong Jaksa Mengajukan Banding terkait Vonis terhadap Polisi Penganiaya Jurnalis Nurhadi

Meningkatnya Serangan

Berdasarkan catatan akhir yang dirilis Amnesty International Indonesia, tercatat ada 95 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan total 297 korban. Kasus ini menyerang para pembela HAM dari pelbagai sektor, mulai dari jurnalis, aktivis, masyarakat adat, hingga mahasiswa.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pembela HAM menjadi salah satu kelompok yang paling dalam bahaya sepanjang tahun 2021. Serangan-serangan ini datang dalam berbagai bentuk, mulai dari pelaporan ke polisi, ancaman dan intimidasi, kekerasan fisik hingga pembunuhan.

Sebanyak 55 kasus dari 95 yang terjadi sepanjang tahun 2021 tersebut diduga adanya keterlibatan aktor negara, mulai dari aparat kepolisian dan TNI, serta pejabat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Angka tersebut tak jauh berbeda dengan tahun 2020, di mana 60 dari 93 kasus serangan terhadap pembela HAM juga diduga dilakukan oleh aktor negara.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//