• Nusantara
  • Petak Umpet Draft RKUHP, KKJ Mengajukan Keterbukaan Informasi Publik

Petak Umpet Draft RKUHP, KKJ Mengajukan Keterbukaan Informasi Publik

Adanya pasal tentang pers hingga penerbitan memunculkan dugaan bahwa RKUHP sengaja disusun untuk membungkam pers. KKJ pun meminta DPR agar memberi draft RKUHP.

Muhammad Asrul, jurnalis yang dijerat UU ITE karena memberitakan kasus korupsi. (Sumber: SAFEnet)

Penulis Iman Herdiana19 Juli 2022


BandungBergerak.idKomite Keselamatan Jurnalis melayangkan surat keterbukaan informasi publik untuk mendapatkan draft resmi RKUHP ke DPR RI. Permohonan dilakukan karena baik pemerintah maupun DPR RI tidak mau memberikan draft RKUHP kepada publik. Ini menunjukkan ada yang ditutup-tutupi dalam RUU kontroversial tersebut.

Zaky Yamani dari Komite Keselamatan Jurnalis, mengatakan permohonan keterbukaan informasi publik ke DPR RI penting dilakukan mengingat draft RKUHP yang beredar saat ini versi tidak resminya. Pembahasan, kajian, masukan, dan kritik terhadap RKUHP yang tidak resmi sangat rentan dimentahkan oleh pemerintah maupun DPR RI di kemudian hari.

“Kami akan melayangkan surat keterbukaan informasi publik terkait draft. Mengirim surat ini seharusnya tidak perlu, karena kita sudah ramai-ramai membicarakan draft ini sejak lama, dan upaya meminta draft sudah dilakukan ketika bola masih di tangan pemerintah. Tapi pemerintah menyatakan tidak akan men-share sebelum menyerahkan draft ke DPR. Itu saja sudah menimbulkan pertanyaan, karena publik ramai membicarakan RKUHP ini, publik gelisah dengan RKUHP,” kata Zaky Yamani, dalam konferensi pers di Youtube Amnesty Internasional Indonesia, Senin (19/7/2022).

Padahal di negara demokrasi, pemerintah seharusnya berlaku transparan dengan memberikan draft RKUHP kepada publik. Publik berhak tahu dan memberikan masukan terhadap rancanagan aturan tersebut.

Pemerintah maupun DPR dinilai mengabaikan tingginya keingintahuan publik terhadap RKUHP. Adanya gelombang demonstrasi besar-besaran yang menolak RKUHP pada 2019, menunjukkan betapa besarnya keingintahuan publik. Namun sepertinya pemerintah dan DPR malah tutup mata.

“Rupanya kejadian 2019 tidak menjadi contoh bagi pemerintah bahwa keterlibatan bermakna bagi publik penting dalam menyusun sebuah peraturan yang berdampak luas pada publik sampai pada level personal,” katanya.

Publik berhak memberikan masukan dan kritik melalui partisipasi bermakna terhadap RKUHP. Namun kegiatan partisipasi bermakna ini sama sekali ditutup oleh pemerintah dan DPR. Mereka hanya melakukan serangkaian diskusi terkait RKUHP tanpa memberikan draft resmi yang konon sudah final dan siap disahkan.

“Dari kami, masyarakat sipil dan Komite Keselamatan Jurnalis, itu saja tidak cukup. Karena walaupun pemerintah sudah keliling melakukan diskusi tapi toh drafnya sendiri tidak dibagikan ke masyarakat,” katanya.

Draft RKUHP yang Beredar

Sejumlah organisasi masyarakat sipil telah melakukan kajian dan kritik terhadap draft RKUHP yang beredar di masyarakat saat ini. Namun pemerintah maupun DPR tak sekalipun mengomentari soal keberadaan draft ini. Tidak ada pernyataan bahwa draft yang beredar adalah memang draft resmi.

“Kami khawatir kalau ada perubahan atau apa pun itu, kemudian kritik dan kajian yang dilakukan masarakat sipil berdasarkan draft yang beredar itu di waktu kemudian berisiko bahwa draft itu bukan draft final. Itu pernah kejadian ketika kami menciba memberikan masukan untuk merevisi UU ITE. Masyarakat sipil sudah memberikan kajian panjang lebar kepada DPR, tapi ternyata draft yang diberikan ke DPR itu berbeda dengan yang beredar di masyarakat sipil. Kami tidak mau hal itu terulang kembali, karena kok pemerintah main kucing-kucingan, petak umpet, untuk urusan yang sangat berkaitan dengan kepentingan publik ini,” paparnya.

Karena itulah Komite Keselamatan Jurnalis menempuh jalur permohonan keterbukaan informasi publik untuk mendapatkan draft resmi. Sehingga draft yang kini beredar bisa dibandingkan dengan versi resminya, publik pun bisa maksimal dalam melakukan partisipasi bermaknanya.

“Mudah-mudahan DPR mau menjawab dan merespons permohonan keterbukaan informasi publik dari kami ini, sehingga kita masyarakat sipil bisa ikut berpartisipasi lagi dalam memberikan kritik dan masukan pada RKUHP,” katanya.

Selain meminta respons DPR, Zaky mengingatkan DPR harus mau membuka kembali partisipasi bermakna dan tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan bahwa pembahasan draft sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.

Draft tersebut tidak mungkin sudah final mengingat banyak sekali pasal-pasal yang bermasalah dan berbahaya terutama bagi kehidupan demokrasi, khususnya di bidang pers dan kebebasan berekspresi. Pemerintah menyebut hanya 14 isu yang dianggap bermasalah. Pada kenyataannya, masyarakat sipil memiliki lebih dari 14 isu yang bermasalah yang ada pada RKUHP.

Baca Juga: Pasal-pasal Kontroversial RKUHP
Pasal-pasal Kontroversial RKUHP yang Ditolak Mahasiswa Bandung
SUARA SETARA: Karut-marut RKUHP, Beraroma Pembungkaman hingga Ikut Campur Negara pada Urusan Pribadi

Akan Banyak Jurnalis Dipenjara Jika RKUHP Disahkan

RKUHP memiliki banyak pasal karet warisan kolonial yang sudah tidak relevan lagi dengan sistem demokrasi saat ini. RKUHP bahkan berbahaya bagi kebebasan pers. Namun rancangan undang-undang yang genting ini dibahas secara tertutup, tidak mau melibatkan publik.

“Kritik sudah banyak disampaikan. Pada 2019 memantik gelombang demonstrasi cukup luas di daerah-daerah. Dan pesan masyarakat sipil dan komunitas pers jelas bahwa pemerintah dan DPR harus lebih transparan dan harus mendengarkan aspirasi publik terhadap pasal-pasal yang antidemokrasi itu,” kata Ika Ningtyas, Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Tertutupnya pembahasan RKUHP menjadi indikasi indikasi bahwa pemerintah telah mengabaikan prinsip demokrasi yang mensyaratkan partisipasi publik dalam setiap pengambilan keputusan. Apalagi pembahasan RKUHP ini menyangkut kehidupan masyarakat luas, bukan hanya komunitas pers saja.

Sementara peran DPR yang mestinya menjadi kontrol bagi eksekutif, kini justru cenderung seiya-sekata dengan pemerintah. Tak heran jika publik menduga bahwa RKUHP dirancang demi kepentingan eksekutif atau para politikus.

“Jangan sampai RKUHP digunakan sebagai alat kekuasan termasuk oleh politisi untuk membungkam pers dan masyarakat sipil yang kritis. Yang harus kita catat, DPR RI seharusnya menjalankan mandat sebagai wakil rakyat karena mereka dipilh oleh rakyat dan saat ini justru mengangkangi mandat tersebut. Peran ini harus dikembalikan ke DPR RI agar mau membuka draft RKUHP resmi agar masyarakat bisa mengkaji, memberikan kritik, bisa memberikan masukan bagaimana seharunya semangat melakukan pembaruan dan dekoloniasi terhadap RKUHP,” papar Ika.

Menurutnya, di dalam RKUHP terdapat banyak sekali pasal-pasal warisan kolonial yang seharusnya didekolonisasi. Misalnya, ada banyak pasal yang berpotensi menyeret jurnalis ke penjara.

“Misalnya, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, kemudian tindak pidana kepada lembaga kekuasaan umum, berita bohong dan tidak pasti, ini semuanya secara langsung berkaitan dengan kerja jurnalis. Ketika jurnalis melakukan kritik terhadap presiden dan wakil presiden, bahkan sampai ke level pemerintah daerah, nanti akan mudah bagi pihak terkait dalam kritik itu mempidanaakan dengan pasal ini,” urainya.

Celakanya, pasal-pasal karet seperti penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebenarnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Mahkamah Konstitusi menjelaskan, bahwa pasal tersebut tidak relevan dengan prinsip negara hukum, dapat mengurangi kebebasan mengekspresikan pendapat, mengancam kebebasan terhadap informasi, dan prinsip kepastian hukum.

Tapi pada draft RKUHP yang sekarang beredar, pasal-pasal tersebut muncul kembali. Karena itu, Ika menduga ada semangat serius untuk membungkam pers dan kelompok masyarakat sipil yang kritis pada RKUHP.

Kasus pers yang dikriminalisasi telah terjadi di masa lalu ketika masih berlakunya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Pada 2003, redaktur eksekutif Rakyat Merdeka pernah divonis 6 bulan penjara dan masa percobaan 12 bulan tekait pencemaran nama baik Presiden Megawati Soekarnoputri.

Artinya, kata Ika, preseden penggunaan pasal tersebut sudah memakan korban jurnalis. Padahal jurnalis yang menjalankan kerja jurnalistiknya tidak bisa dipidana. Dia diatur dan dilindungi oleh UU Pers. Tetapi redaktur eksekutif Rakyat Merdek tersebut tetap dipenjara karena kritiknya yang kemudian disalahgunakan menjadi kasus pencemaran nama baik.

“Tidak menutup kemungkinan kalau RKUHP disahkan akan makin banyak jurnalis-jurnalis yang divonis. Ditambah dengan keberadaan pasal berita bohong yang sangat rawan disalahgunakan oleh pihak tertentu, tak terkecuali oleh institusi pemerintah sendiri termasuk Polri,” katanya.

Dalam dua tahun terakhir, AJI mencatat ada kasus di mana karya jurnalistik yang sudah melewati verifikasi ketat justru dilabeli sebagai berita hoaks oleh institusi seperti Polri. Sehingga munculnya pasal berita bohong pada RKUHP akan mudah dipakai untuk menjerat berita kritis dan mencapnya sebagai berita bohong.

“Jadi bayangkan jika pasal ini masuk RKUHP, besok-besok akan semakin banyak berita yang krtitis terhadap penyelenggara negara kemudian semakin mudah dilabeli hoaks lalu diseret dengan pasal 263,” katanya.

Bahkan ada pasal 264 yang menurunya amat kacau karena mengatur berita yang tidak lengkap. Pasal ini akan mudah diterapkan pada karya jurnalistik beraking news yang bersifat segera untuk ditayangkan dan memerlukan pembaruan dalam penayangan berikutnya. Pasal tersebut menunjukkan kekacauan logika penyusun RKUHP yang melakukan generalisasi bahwa berita yang tidak lengkap sama dengan informasi palsu. “Ini bukti ketidakpahaman perumusan pasal RKUHP ini terhadap kerja jurnalistik,” tandasnya.

Tak hanya itu, ada pasal 598, 599, dan 600 yang mengatur masalah penerbitan dan pencetakan. Adanya beragam pasal tentang pers hingga penerbitan ini memunculkan dugaan bahwa RKUHP memang sengaja disusun untuk memasukkan pers sebagai delik umum, bukan lagi delik khusus atau leks spesialis yang diatur di dalam UU Pers.

“Pembahasan RKUHP ini terjadi di tengah pembahasan revisii UU ITE yang belum rampung dan tidak jelas juga nasibnya. Jika RKUHP disahkan dalam waktu dekat, artinya ada sekian pasal duplikasi atau ganda yang makin memberatkan jurnalis karena dia terancam dengan UU ITE dan KUHP yang baru kalau itu disahkan,” katanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//