• HAM
  • Catatan YLBHI Terkait Narasi Presisi Polri dan Langgengnya Pelanggaran HAM

Catatan YLBHI Terkait Narasi Presisi Polri dan Langgengnya Pelanggaran HAM

Bertepatan dengan Hari Bhayangkara, YLBHI menunjukkan catatan pelanggaran HAM yang dilanggengkan anggota kepolisian di lapangan.

Polisi mengawal long march mahasisawa saat berdemontrasi menolak RKUHP di depan Gedung Sate, Kamis (30/6/2022). Salah satu poin tuntutan dalam demonstrasi ini adalah penghapusan pasal yang mengatur urusan privat masyarakat. Massa aksi juga menuntut transparansi dalam penyusunan draft RKUHP. (Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

Penulis Luqy Lukman Anugrah2 Juli 2022


BandungBergerak.idTanggal 1 Juli kemarin menjadi momentum penting bagi kepolisian, yaitu Hari Bhayangkara sekaligus peringatan hari jadi ke-76 tahun Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Di bawah Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Polri memperkenalkan konsep tranformasi kelembagaan bernama “Presisi”, akronim dari Prediktif, Responsibilitas, Tranparansi, Berkeadilan.

Jenderal bintang empat tersebut juga menjanjikan bahwa wajah Polri di bawah kepemimpinannya akan tegas dan humanis. Namun narasi ini nampaknya masih jauh panggang dari api atau tidak sesuai dari apa yang Kaporli nariskan.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melihat institusi kepolisian masih menjadi institusi yang secara terus menerus melanggengkan praktik pelanggaran HAM serta melanggar berbagai peratuan dalam melakukan tugasnya.

Dalam konferensi pers terkait Hari Bhayangkara Jumat (1/7/2022), YLBHI memaparkan masih banyaknya kasus pelanggaran HAM yang dilakukan institusi kepolisian. Zainal Arifin dari YLBHI mengungkap pelanggaran- pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian sejak tahun 2021-2022 berdasarkan data yang dihimpun dari 12 Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Sebanyak 95 kasus laporan pelanggaran HAM terjadi dalam rentang waktu 2021-2022, di mana 95 kasus tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian: pembubaran aksi, penyiksaan, dan pelanggaran HAM.

Pembubaran aksi berjumlah 15 kasus yang memakan 2.350 korban di mana 12 kasus terjadi pada tahun 2021 dan 3 kasus di 2022. Penyiksaan berjumlah 15 kasus dengan jumlah korban 58 orang. Selanjutnya, sekitar 70 kasus pelanggaran HAM di mana 495 korbannya adalah perempuan, 80 anak anak, dan 1.055 laki-laki.

Menurut Zainal Arifin, dalam kasus pembubaran aksi, pola yang dilakukan dalam pembubaran adalah dengan aksi kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, penghalangan aksi hukum, serta pembiaran represivitas yang dialkukan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas).

“Polisi melakukan pembiaran terhadap organisasi masyarakat yang melakukan pembubaran terhadap aksi-aksi di beberapa kota,” tambah Zainal Arifin.

Dalam kasus penyiksaan, setidaknya ada beberapa pola yang terjadi dalam temuan YLBHI. Pertama, penyiksaan saat pemeriksaan dalam proses pemeriksaan; kedua, salah tangkap yang berujung pada extra judicial killing.

Kemudian, YLBHI mencatat kasus pelanggaran HAM dengan beberapa pola salah satunya permintaan uang, extra judcial killing 5 kasus, intimidasi dan pelanggaran hak berkumpul dan berdiskusi sekitar 7 kasus, penahanan sewenang-wenang 11 kasus, penangkapan sewenang-wenang 13 kasus, pengrusakan lahan, salah tangkap, dan lainnya 28 kasus.

Baca Juga: Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti Tersangka Pencemaran Nama Baik Luhut Binsar Panjaitan
Mengapa Pegiat HAM tidak Setuju Pelaku Kejahatan Seksual Dihukum Mati?
Komnas HAM Beberkan Potret Kekerasan Negara terhadap Rakyatnya dalam Kurun 2020-2021

Rekomendasi YLBHI dan Laporan Kantor LBH

Dari beberapa kasus di atas, Zainal Arifin menyampaikan bahwa YLBHI memberikan rekomendasi: meminta presiden melakukan evalusi terhadap Kepolisian untuk mendorong reformasi di tubuh kepolisian; meminta DPRI mengoptimalkan pengawasan kepada pemerintah dan kepolisan; dan ketiga meminta Polri memenuhi standar Hak Asasi Manusia dalam proses hukum.     

Ardan dari LBH Palembang menyampaikan beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan institusi kepolisan di wilayah kerjanya, salah satunya penangkapan dan penyiksaan yang menyebabakan kematian.

“Kami menggangap bahwa telah terjadi bentuk penyalahgunaan kekuasaan melalui praktik aparatur negara, dan peristiwa ini merupakan bentuk pelanggaran HAM,” kata Ardan.

Selanjutnya, Teo Reffelsen dari LBH Jakarta menyampaikan bahwa Komnas HAM mencatat sekitar 661 pengaduan dan Ombusman RI mencatat sekitar 676 pengaduan.

Teo menambahkan untuk di Jakarta sejak 2011-2020 ada 22 orang korban di luar hukum atau extra judicial killing. Untuk korban penyiksaan sejak 2011-2022 dalam wilayah Jabodetabek yang LBH Jakarta tangani sejak 2013-2022 ditemukan 80 kasus, di antaranya 5 orang korban salah tangkap dan 6 orangnya merupakan anak-anak.

Selain itu, LBH Jakarta juga mencatat ada 153 orang yang menjadi korban kekerasan anggota kepolisian pada aksi 2019 hingga 2022. Bahakan 9 orang korban meninggal dunia pada 2019.

Teo juga menyoroti penangkapan sewenang-sewang. Sepanjang 2019 dan 2020 terkait aksi Reformasi Dikorupsi dan Omnibus Law, sebagaimana disampaikan dalam data Mabes Porli, ada sekitar 7.632 orang peserta aksi mengalami penangkapan sewenang-wenang di mana 394 orang ditetapkan sebagai tersangka, dan 197 orang ditahan.

Teo mencatat, ada 37 aktivis pembela HAM menjadi korban kriminalisasi sepanjang 2019-2020. “Ada fungsi control dan pengawasan yang lemah terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia,” tambahnya.

Adapun Nana dari LBH Yogyakarta menyampaikan lambatnya respons terhadap kasus-kasus pelecehan seksual, serta kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Desa Wadas.

“Menjadi lucu ketika Kaporli mengaungkan tranformasi kelembagaan yang diberi nama ‘Presisi’ yang di dalamnya ada narasi besar mengenai Prediktif, Responsibilitas, Tranparansi, Berkeadilan, namun berbanding terbalik dengan realita hari ini,” kata Nana.

Terakhir, ada pemaparan dari Khairil Anwar LBH Makassar, di mana masih banyak juga kasus penyiksiaan yang berujung extra judicial killing yang mengalami banyak tantangan dalam proses pelaporan kepada kepolisian.

Salah satu kasusnya terkait pengancaman dengan senjata api terhadap anak yang tidak diproses hukum, kecuali hanya pemrosesan berdasarkan kode etik yang masih simpang-siur. Khairil Anwar melihat pernyataan Kaporli tentang Presisi hanya gimik.

“Karena di lapangan kita melihatnya berbanding terbalik dengan statement tersebut,” tutupnya.

Tegas dan Humanis

Selain menyampaikan transformasi Presisi untuk Polri, Kapolri Listyo Sigit Prabowo menegaskan komitmennya untuk menampilkan potret institusi kepolisian sebagai penegak hukum yang tegas namun humanis, seperti disampaikan Listyo sesaat setelah dilantik Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (27/01/2021) pagi, dikutip dalam siaran pers Setkab.

“Apa yang menjadi harapan masyarakat terhadap Polri tentunya bagaimana menampilkan Polri yang tegas namun humanis, bagaimana menampilkan Polri yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik, bagaimana kita memberikan pelayanan secara transparan, dan bagaimana kita mampu memberikan penegakan hukum secara berkeadilan. Ini tentunya menjadi tugas kami ke depan,” ungkap Kapolri.

Ditambahkannya, komitmen tersebut akan ditindaklanjutinya dengan menjalankan program transformasi di empat bidang dan melaksanakan rencana aksi di 16 program kegiatan. Program dan rencana aksi tersebut telah disampaikan Listyo Sigit saat uji kepatutan dan kelayakan di hadapan Komisi III DPR RI.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//