Warga Wadas Dikepung dan Ditangkap Aparat Kepolisian, Solidaritas Mengalir
Pengepungan dan penangkapan warga Wadas, Purworejo, yang menolak tambang, melahirkan banyak solidaritas. Perampasan ruang hidup jadi isu bersama.
Penulis Awla Rajul9 Februari 2022
BandungBergerak.id - Desa Wadas, Kecematan Bener, Purwarejo, Jawa Tengah, kembali memanas setelah ribuan aparat kepolisian datang dan bersama tim pengukur dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan melakukan pengukuran terhadap kawasan tambang batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener, Senin (7/2/2022). Terjadi pengepungan dan penangkapan warga yang kemudian melahirkan gelombang protes sekaligus solidaritas.
Heronimus Heron dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) menceritakan kronologi pengepungan warga Desa Wadas yang dilakukan oleh aparat Kepolisian. Pada Senin (7/2/2022), ribuat aparat kepolisian mencoba kembali memasuki Desa Wadas. Aparat kepolisian ini melakukan baris-berbaris di Purwarejo dan mendirikan tenda di lapangan Kaliboto, tepat di belakang Polsek Bener. Malam harinya, terjadi pemadaman listrik di Desa Wadas. Sementara di desa-desa sekitarnya listrik tetap menyala.
Keesokan harinya, Selasa (8/2/2022), sekitar pukul tujuh pagi, salah satu warga Wadas bersama istrinya yang kebetulan akan ke kota Purworejo menyempatkan sarapan di warung yang dekat dengan Polsek Bener, sambil melihat kondisi di sekitar. Warga ini pun kemudian didatangi oleh beberapa orang polisi dan dibawa ke Polsek Bener. Sementara istrinya berhasil lolos dan kembali ke Desa Wadas untuk mengabarkan informasi kepada warga.
Sekitar pukul delapan pagi, ribuan polisi bersenjata lengkap dengan anjing-anjingnya melalukan apel di Lapangan Kaliboto. Pukul sembilan, tim pengukur dari Kantor Pertanahan Purwarejo mulai memasuki Desa Wadas. 30 menit berselang akses masuk ke Desa Wadas sudah dipadati aparat kepolisian. Beberapa mobil polisi mulai memasuki Wadas dan merobek serta mencopot poster-poster yang berisikan penolakan terhadap pertambangan di Desa Wadas.
“Jadi poster-poster yang digunakan sebagai ekspresi penolakan terhadap rencana penambangan di Wadas untuk Bendungan Bener itu dirobek aparat. Mereka masuk dan merobek itu. Semua poster dirobek mereka,” ungkap Heron pada konferensi pers yang dilakukan oleh Genpadewa dan jaringannya melalui Zoom Meeting, Rabu (9/2/2022).
Selanjutnya, sekitar pukul 10.48 WIB ribuan aparat kepolisian berhasil memasuki Desa Wadas, menggunakan mobil, motor, maupun jalan kaki. Pada pukul 12.00 WIB, aparat kepolisian mengepung dan menangkap warga yang sedang melakukan mujahadah mesjid, di Dusun Krajan. Sementara polisi melakukan pengepungan, proses pengukuran lahan yang dilakukan di hutan terus berlanjut.
Aparat kepolisian juga mendatangi ibu-ibu yang sedang membuat besek di posko-posko jaga. Aparat kepolisian ini merampas besek, pisau, dan peralatan untuk membuat besek. Polisi melakukan teror dan kriminalisasi terhadap Warga Desa Wadas. Informasi terakhir yang dirilis melalui Instagram Wadas_Melawan, ada 63 orang warga Wadas yang ditangkap, 13 di antaranya adalah anak-anak.
Heron melanjutkan, aparat kepolisian berkeliling ke setiap rumah dan merangsek masuk ke rumah-rumah warga tanpa seizin pemilik rumah. Polisi juga menangkap pemuda yang hendak shalat ke mesjid. Warga pun sulit mendapatkan sinyal karena ada indikasi sinyal di take-down.
Hingga sore hari, banyak di antara ibu-ibu Wadas yang masih terjebak di Masjid Dusun Krajan, meskipun sudah ada yang berhasil keluar. Walaupun ibu-ibu yang berhasil keluar masjid turun digelandang oleh aparat. Di tengah kepungan aparat kepolisian, warga yang di luar mesjid mencari cara untuk mengantarkan minuman dan makan kepada warga yang terjebak di dalam Mesjid.
Heron menyatakan, ada tuduhan bahwa warga membawa senjata tajam. Namun menurut dia, jika menilik dari kronologi, tidak ada warga yang membawa senjata tajam dan tuduhan tersebut tidak berdasar. Yang ada adalah polisi masuk ke rumah warga dan mengambil peralatan seperti parang warga di dapur dan sebagainya.
“Jadi tuduhan itu tidak berdasar. Bagi kami polisi yang bilang bahwa warga membawa senjata tajam itu tidak berdasar. Karena kepolisian sendirilah yang masuk ke rumah warga dan merampas barang mereka, bahkan alat untuk membuat besek. Jadi argumen polisi tidak berdasar,” lanjut Heron.
Selain itu kabar bahwa warga melakukan aksi dan memicu ricuh. Heron menyebut bahwa kabari ini juga tidak berdasar. Sebab, bagaimana warga Wadas mau melalukan aksi sedangkan pihak kepolisian sudah datang dari pagi, menyebar di berbagai titik, mengelilingi rumah-rumah dan mengepung masjid. Warga Desa juga mencari lokasi aman karena dikejar oleh preman atau intel, Heron tidak bisa memastikan siapa karena tidak memakai seragam.
Heron mewakili warga wadas dan jaringan solidaritas menyampaikan tiga tuntutan kepada Gubernur Jawa Tengah dan Kapolda Jateng, untuk:
- Menghentikan pengukuran tanah dan rencana pertambangan di Desa Wadas, Bener, Purworejo.
- Menarik aparat kepolisian dari Desa Wadas serra menghentikan kriminilisasi dan intimidasi aparat terhadap warga Wadas
- Bebaskan warga Wadas yang ditangkap oleh Polresta Purworejo
Kabid Advokasi Walhi Jogjakarta, Adi menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Wadas memang sudah disiapkan oleh pihak kepolisian. Pihak kepolisian juga masuk secara sepihak ke pekarangan warga, merampas alat-alat pertanian. Adi menyebutkan, bahwa informasi tadi pagi polisi masih berjaga di Wadas dan melalukan sweeping handphone warga.
“Sampai saat ini warga juga masih trauma di desanya sendiri. Kalau kita liat dari kejadian-kejadian sebelumnya, hari ini kemudian terulang. Ini menjadi problem bagi negara, karena negara tidak mendengarkan aspirasi dari warganya yang dari dulu menolak pertambangan di Wadas. Kalau sekarang juga warga tidak merasa nyaman tinggal di rumah sendiri, ini menjadi pertanyaan, kepolisian berpihak kepada siapa sebenarnya?” Ungkapnya dalam konferensi pers.
Adi menyebutkan, bahwa secara organisasi pihaknya mengecam perbuatan intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada warga Wadas. Ia menyebut, intimidasi ini merupakan kebengisan negara dalam bertindak, dengan alasan pembangunan, proyek infrastruktur, dan sebagainya.
Baca Juga: PT. KAI Bongkar 25 Rumah di Jalan Anyer Dalam, Warga Mengungsi ke Masjid dan Kantor Kelurahan
Warga Jalan Anyer Dalam Memperpanjang Harapan di Pengadilan
Satu yang Bertahan dari Gusuran Rumah Deret Tamansari
Kekerasan dan Intimidasi
Perjuangan warga Wadas yang mempertahankan ruang hidupnya terbukti direspons dengan kekerasan dan intimidasi oleh negara. Staf Media Solidaritas Perempuan Kinasih, Aniati menyebutkan bahwa perjuangan perempuan di Wadas menolak tambang sudah dilakukan sejak 2015. Bagi perempuan di Wadas, tanah adalah ibu, darah daging, sumber kebahagiaan, sumber keselamatan, dan sumber kebijaksanaan hidup.
“Menganyam besek merupakan simbol perlawanan perempuan yang bertekad mempertahankan vegetasi bambu yang terancam penambangan. Tidak hanya itu, menganyam juga mencerminkan tradisi yang dijaga oleh perempuan wadas dalam merajut kebersamaan dan perjuangan merawat alam, termasuk di dalamnya perjuangan merawat air,” terang Aniati dalam konferensi pers.
Selain perampasan alat besek dan peralatan milik warga lainnya, apparat kepolisian juga ada yang mencoba menghambat kerja jurnalis dalam meliput pengukuran tanah yang diikuti dengan tindakan intimidasi yang dilakukan polisi. Jurnalis Sorot.co dan beberapa rekan jurnalis lain sedang meliput peristiwa di Wadas, Selasa kemarin.
Waktu itu, Jurnalis Sorot melihat situasi mulai memanas saat polisi menangkap beberapa warga Wadas sehingga membuat banyak ibu-ibu histeris. Ia kemudian merekam beberapa aksi polisi saat masuk ke rumah warga untuk mengejar beberapa orang. Salah seorang polisi yang berpakaian preman kemudian mendekatinya dan menanyakan identitasnya.
Jurnalis Sorot pun menjawab bahwa dia adalah wartawan dari Sorot. Ia juga memakai ID Pers lengkap dengan rompi PWI. Ia pun digiring ke bagian belakang salah satu rumah warga. Di sana ia diintergoasi oleh beberapa orang polisi berpakaian preman.
“Saya ditanya-tanya lagi. Mereka minta dilihatkan video yang saya rekam. Mereka mau pegang ponsel saya, tetapi saya tolak. Ada yang meminta video itu dihapus," ujar jurnalis Sorot dalam Pernyataan Sikap Bersama AJI Yogyakarta, AJI Semarang, AJI Purwokerto, dan LBH Pers Yogyakarta.
Beberapa rekan jurnalis lain yang melihat kejadian tersebut kemudian mendekati korban. Mereka meyakinkan polisi, korban tersebut adalah benar jurnalis Sorot.co. Anngota polisi itu pun meninggalkan korban dan jurnalis lainnya. Aksi intimidasi yang dilakukan apparat polisi tersebut merupakan tindakan penghalangan kerja-kera jurnalistik yang dilindungi undang-undang.
Selain itu, akun Instagram LBH Yogyakarta mendadak hilang selepas mengunggah berbagai informasi mengenai represi apparat Wadas. “Kami kehilangan akses ke akun Instagram 19 menit setelah unggahan terkait represi aparat di Desa Wadas. Tepatnya pada pukul 23.20 WIB," demikian cuitan @LBHYogyakarta di Twitter, Rab, 9 Februari 2022.
Saat konferensi pers tersebut, disebutkan juga bahwa polisi melakukan sweeping handphone milik warga. Hal ini tidak bisa dibenarkan karena tidak ada landasan hukumnya. “Bahkan tindakan aparat kepolisian tersebut diduga melanggar hak kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diatur dalam Pasal 28F UUD 1945,” tulis dalam Pernyataan Sikap Bersama tersebut.
Tidak hanya itu, pelambatan jaringan internet di Wadas juga sangat disayangkan. Pelambatan internet ini mulai terjadi menjelang ribuan polisi dan BPN mengukur tanah lokasi penambangan. Pelambatan internet ini juga masih terjadi hingga hari ini.
“Kami menduga ada unsur kesengajaan dalam pelambatan jaringan internet untuk melancarkan pengukuran tanah untuk penambangan batuan andesit yang ditolak warga Wadas,” terang dalam Pernyataan Sikap. Padahal kasus yang sama pernah diputus bersalah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta tentang pemblokiran akses internet di Papua pada 2019.
Dalam putusan bernomor 230/6/2019/PTUN-Jakarta tersebut, majelis hakim meminta Presiden Joko Widodo dan Menkominfo sebagai tergugat, tidak mengulangi perbuatan tersebut. Namun dugaan pelambatan internet ini pun terulang lagi di Wadas. Atas kasus-kasus represif apparat kepolisian ini, AJI Yogyakarta, AJI Semarang, AJI Purwakerto, dan LBH Pers Yogyakarta menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mengecam intimidasi yang dilakukan oleh beberapa anggota kepolisian terhadap jurnalis Sorot.co
- Meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memerintahkan jajarannya di Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri untuk memproses intimidasi tersebut sesuai dengan UU Pers.
- Mendesak Kapolri dan Kapolda Jawa Tengah untuk menegaskan kepada anggota kepolisian agar tidak menghalang-halangi tugas jurnalis saat melakukan peliputan di Desa Wadas.
- Mengecam aksi peretasan terhadap akun media sosial LBH Yogyakarta.
- Mengecam dugaan tindakan pelambatan akses internet di Wadas dan sweeping alat komunikasi warga Wadas
- Mendesak Kapolri dan Kapolda Jawa Tengah untuk menghentikan tindakan intimidatif dan represif yang dilakukan terhadap warga Wadas dan tim kuasa hukum LBH Yogyakarta
- Mengimbau kepada semua pihak untuk menghargai kerja-kerja jurnalistik dan menghormati kebebasan pers di Indonesia. Jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh hukum sesuai Pasal 8 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Apa yang terjadi di Wadas segera menjadi perbincangan publik, sekaligus melahirkan banyak solidaritas di tengah masyarakat lintasdaerah. Di Bandung, jejaring masyarakat sipil menunjukkan dukungan mereka bagi warga Wadas dengan berbagai cara. Salah satunya lewat unggahan-unggahan di media sosial masing-masing.